Mediasi dan Konsiliasi, Bukan Halusinasi
Dalam beberapa waktu terakhir, kata 'halusinasi' menjadi semakin populer dan menambah khasanah penggunaan Bahasa Indonesia di jagat media sosial, terutama apabila disebut pendek 'halu'. Cek saja, seringkali kita menemukan komentar, status atau unggahan, khususnya yang berasal dari kalangan muda atau kaum milenial, yang menyebut kata 'halu'. Halusinasi sendiri berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia berarti keadaan seolah-olah melihat atau mendengar sesuatu yang seolah-olah tidak ada. Sederhananya, halu atau halusinasi merujuk pada kondisi mengkhayal, tidak nyata atau bahasa lainnya "in your dream".
Ombudsman hadir nyata di Republik ini. Kiprahnya sudah merentang lebih dari dua dasawarsa. Fungsinya pun jelas, sebagai lembaga negara yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik sesuai amanat Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Dalam melaksanakan fungsinya, Ombudsman memiliki kewenangan salah satunya menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi. Dalam konteks mediasi, Ombudsman membantu memfasilitasi proses penyelesaian konflik pelayanan publik dengan kerangka penyelesaian diutamakan berasal dari para pihak yang berkonflik. Sementara dalam konsiliasi, proses penyelesaian konflik pelayanan publik yang dapat diterima kedua belah pihak juga ditandai dengan kerangka penyelesaian yang diusulkan secara proaktif oleh Ombudsman.
Mediasi dan konsiliasi merupakan metode resolusi konflik dan mekanisme alternatif selain pemecahan masalah melalui pendekatan hukum yang banyak dikeluhkan masyarakat selama ini karena lama, melelahkan dan berpotensi koruptif. Melalui kedua metode tersebut, Ombudsman berperan penting sebagai penengah sekaligus mendorong munculnya solusi atau titik temu terhadap konflik dalam pelayanan publik yang biasanya terjadi ketika terdapat ketidaksamaan persepsi dan pengetahuan di antara pemberi dan penerima layanan terkait proses dan hasil akhir dari penyelenggaraan pelayanan publik.
Konflik ada di keseharian kita. Tidak bisa dihindari atau dihilangkan. Sepanjang dikelola dengan baik, konflik acapkali diperlukan terutama untuk memacu perubahan dan pengembangan. Ini disebut konflik yang konstruktif, yang menghasilkan berbagai keuntungan seperti timbulnya inovasi, perbaikan sistem serta peningkatan kerja sama. Sebaliknya, konflik yang tidak terkelola dapat berujung destruktif atau menyebabkan kerugian materiil maupun immateriil bagi banyak pihak. Dalam konteks pelayanan publik, konflik destruktif yang terjadi sebagai akibat dari pengelolaan administrasi yang buruk dan tidak berorientasi kepada kepentingan pengguna layanan melainkan hanya fokus pada kepentingan penyelenggara atau pelaksana, artinya ada maladministrasi. Maka sebelum berujung pada maladministrasi, konflik dan penyebabnya harus bisa diidentifikasi, kemudian diambil berbagai langkah resolusi yang paling memungkinkan agar dimensi positifnya tidak hilang. Contohnya adalah melalui mediasi dan konsiliasi.
Mediasi dan konsiliasi bukan halu, tidak bermain di ranah khayalan atau dunia mimpi. Ombudsman sudah sering mempraktikkan hal tersebut. Salah satu kasus di Kalimantan Selatan (Kalsel) misalnya, Ombudsman melakukan upaya mediasi dan konsiliasi ketika ada permasalahan dalam pemberian izin pemindahan Taman Kanak-Kanak (TK) di suatu daerah. Ombudsman mempertemukan pihak pemerintah daerah setempat melalui beberapa dinas terkait dengan pihak yayasan dan pengurus TK dimaksud, serta turut menghadirkan pihak mediator/konsiliator dari internal maupun eksternal. Juga kasus lainnya, sewaktu Ombudsman memanggil dan mengumpulkan para Terlapor yang sulit berkomunikasi dan saling lempar permasalahan dalam satu ruangan. Kasusnya terkait dengan penonaktifan Kartu BPJS Kesehatan yang dialami para Guru dan Tenaga Kependidikan Non PNS di salah satu kota di Kalsel. Akibatnya para Pelapor kesulitan untuk berobat karena kartunya tidak bisa digunakan. Melalui pertemuan yang digagas Ombudsman, dihasilkan solusi atau kesepakatan untuk mengakhiri klaim kebenaran dari masing-masing pihak yang menjadi Terlapor.
Agar efektif dan berdampak konstruktif, mediasi dan konsiliasi jangan dilaksanakan seadanya atau sekedar formalitas. Harus ada langkah-langkah persiapan dan perencanaan yang matang, sehingga kemungkinan berhasil lebih besar. Dalam hal ini, pertemuan pendahuluan adalah opsi yang patut dicoba. Ketahui dan pahami kondisi masing-masing pihak secara terpisah untuk kemudian dirajut dalam satu kerangka penyelesaian. Tawarkan pelaksanaan mediasi atau konsiliasi dan tujuan atau hasil yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Waktunya fleksibel sesuai ketersediaan waktu para pihak namun jangan sampai berlarut-larut atau malah tidak ada kepastian pelaksanaannya.
Dalam hal mediasi atau konsiliasi disetujui para pihak, maka penting dipastikan Pelapor dan Terlapor hadir. Biasanya Pelapor datang, jarang diwakilkan, sedangkan pimpinan instansi yang menjadi Terlapor belum tentu datang. Padahal kualitas hasil pertemuan sangat dipengaruhi oleh figur yang datang. Oleh karenanya konfirmasi kehadiran sebelum pelaksanaan perlu dilakukan serta perwakilan yang hadir memiliki surat tugas atau surat kuasa yang sah. Semakin tinggi level jabatan, kewenangan atau kemampuan dalam mengambil keputusan, khususnya di pihak Terlapor, komitmen dan eksekusi terhadap hasil pertemuan atau kesepakatan penyelesaian akan lebih kuat, mengikat dan cepat.
Pada saat pelaksanaan mediasi atau konsiliasi, sangat dianjurkan untuk mengedepankan pendekatan yang humanis dan persuasif serta menciptakan iklim pertemuan yang kondusif dan nyaman. Kuncinya komunikasi yang baik dimana mediator/konsiliator banyak mendengar dan para pihak memiliki kesempatan yang sama dan seimbang untuk bicara serta mengeluarkan posisi dan keinginannya masing-masing, tidak pasif atau berdiam diri. Para pihak kemudian didorong untuk bersikap kooperatif sekaligus asertif, tidak berlama-lama membahas permasalahan namun fokus pada kolaborasi atau pemecahan masalah. Masalah yang dipecahkan hasilnya dituangkan secara tertulis dalam kesepakatan bersama dan ditandatangani para pihak. Kesepakatan dimaksud bukan berisi pengakuan dosa, rincian kesalahan Terlapor atau daftar pengharapan Pelapor, akan tetapi wajib bersifat lebih substantif, konkret dan terukur mengenai uraian aksi atau tindakan yang akan dijalankan masing-masing pihak disertai jangka waktu yang jelas.
Akhirnya, janganlah ragu, takut atau antipati terhadap mediasi dan konsiliasi. Keduanya adalah mekanisme yang sah dan dilindungi UU. Merupakan cerminan dari cara kerja Ombudsman yang khas dan khusus atau Ombudsman Ways, nyata adanya dan hasilnya, bukan halusinasi.
Penulis
Hadi Rahman
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan