• ,
  • - +

Artikel

Masyarakat Sebagai Pemilik Demokrasi Dalam Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah
• Kamis, 17/07/2025 •
 
Ferdinan W.R Payawa

Dalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan sarana utama mewujudkan kedaulatan rakyat. Namun, seringkali pemilu hanya dipandang sebagai arena kompetisi antara para elit politik, sementara posisi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan seolah dikecilkan. Konsep ownership atau kepemilikan masyarakat atas proses pemilu kepala daerah menjadi penting untuk ditegaskan kembali guna menciptakan pemilu yang berintegritas, partisipatif, dan berkeadilan. Pemilu kepala daerah merupakan momentum strategis bagi masyarakat untuk menentukan arah pembangunan daerah. Dalam konteks ini, masyarakat tidak sekedar berperan sebagai pemilih (voters), melainkan sebagai pemilik demokrasi (owner) yang sekaligus sebagai penentu keberhasilan sebuah proses demokrasi. Artinya masyarakat memiliki hak sepenuhnya sekaligus tanggung jawab mengawasi, mengawal, dan memastikan tahapan pemilu berjalan secara jujur dan adil menuju pemilu yang berkualitas serta meletakan legacy yang baik pada sebuah proses demokrasi yang berkesinambungan.

Mengubah Paradigma Partisipasi Masyarakat

Selama ini, partisipasi masyarakat cenderung dipahami secara pasif - datang ke TPS dan memilih, padahal partisipasi aktif meliputi keterlibatan dalam :

a. Pendidikan politik; seperti menjadi agen literasi demokrasi dilingkungan sekitarnya.

b. Pengawasan pemilu; dengan melaporkan pelanggaran kepada lembaga terkait.

c. Kontrol sosial terhadap penyelenggaraan dan peserta pemilu; termasuk melalui media sosial dan forum forum publik.

Ketika masyarakat merasa memiliki (sence of ownership), maka control terhadap calon kepala daerah dan penyelenggara menjadi lebih kuat. Hal ini akan menekan praktik politik transaksional dan meningkatkan kualitas demokrasi lokal mengarah ke arah yang lebih baik.  

Peran Strategis Lembaga Penyelenggara Pemilu

KPU dan Bawaslu perlu membangun pola relasi yang inklusif dengan masyarakat. Sosialisasi pemilu harus dirancang bukan sekadar sebagai transfer informasi, tetapi sebagai dialog dua arah yang membangun kesadaran kritis. Masyarakat perlu diposisikan sebagai mitra, bukan objek. Pendidikan pemilih harus diarahkan pada peningkatan daya kritis masyarakat terhadap visi, misi, dan rekam jejak kandidat. Di sinilah peran penting organisasi masyarakat sipil, media lokal, dan tokoh adat atau agama dalam membumikan semangat demokrasi substantif.

Menumbuhkan Ekosistem Demokrasi Lokal

Demokrasi yang sehat dapat dan akan tumbuh dalam ekosistem yang sehat pula. Oleh karenanya untuk memperkuat ownership dalam pemilihan umum kepala daerah juga harus nya di ikut dengan memperluas ruang ruang dialog dengan masyarakat sebagai saluran transformasi informasi sebagai akuntabilitas publik di tingkat lokal. Pemilu bukan semata ajang lima tahunan, melainkan proses berkelanjutan yang menuntut keterlibatan warga negara secara utuh. Masyarakat sebagai ownership adalah bentuk nyata dari demokrasi berakar dan bukan prosedural semata.

Keterlibatan Masyarakat sebagai Hak Publik

Keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Hal tersebut dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi dasar pola pikir :

a. Meningkatkan legitimasi; keterlibatan masyarakat dalam pemilu dapat meningkatkan    legitimasi proses demokrasi dan pemerintahan.

b. Mengawal kepentingan publik; masyarakat dapat mengawal kepentingan publik dan memastikan bahwa kebijakan pemerintah mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

c. Meningkatkan aspirasi masyarakat; keterlibatan masyarakat dalam pemilu sendiri dapat meningkatkan transparansi proses politik dan pemerintahan.

d. Mengembangkan kesadaran politik; keterlibatan masyarakat dalam pemilu dapat    membangun kesadaran politik serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.

Tantangan Dalam Peran Serta Masyarakat

Dari berbagai ulasan di atas dapat di gambarkan sejauh mana peran serta masyarakat dalam melihat pemilu kepala daerah sendiri hak mutlak yang harus di kelolah secara gotong royong. Namun ada beberapa aspek juga yang menjadi tantangan yang perlu diatasi

a. Kurangnya kesadaran politik; banyak masyarakat yang kurang sadar akan hak dan kewajiban politik mereka.

b. Kurangnya akses informasi; masyarakat mungkin tidak memiliki akses yang cukup untuk informasi tentang proses politik dan pemerintahan.

c. Manipulasi politik; keterlibatan masyarakat dalam pemilu dapat dimanipulasi oleh pihak pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu.

Masyarakat sebagai Owner dalam Pemilu Kepala Daerah dari Perspektif Ombudsman Republik Indonesia  

Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang berwenang mengawasi pelayanan public sesuai Undang Undang Nomor 37 Tahun 2008. Ombudsman Republik Indonesia menegaskan bahwa pentingnya penyelenggaraan pemilu kepala daerah yang mengedepankan asas akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik. Dalam konteks ini masyarakat sebagai ownership atau pemilik proses demokrasi adalah kunci yang sejalan dengan prinsip prinsip pelayanan publik yang berkeadilan

a. Kepemilikan publik atas proses demokrasi, dari sudut pandang pengawasan pelayanan publik ownership masyarakat berarti masyarakat memiliki hak melekat secara penuh.

b. Mengakses informasi yang akurat dan lengkap mengenai tahapan, aturan dan kandidat pemilu.

c. Terlibat dalam proses pengawasan pemilu, baik secara formal (melalui lembaga pengawas) maupun informal (melalui komunitas/ kelompok sosial lainnya).

d. Menyuarakan pentingnya aduan dan keberatan terhadap potensi maladministrasi yang terjadi dalam proses pemilu, seperti ketidaknetralan penyelenggara, keterlambatan logistik, dan pelanggaran prosedur. Ombudsman menilai bahwa ketika masyarakat sadar akan posisinya sebagai pemilik proses pemilu, maka kontrol terhadap kualitas layanan publik di bidang kepemiluan akan semakin kuat. 

Pemilu Sebagai Layanan Publik

Pemilu kepala daerah bukan sekedar sirkulasi kekuasaan atau pergantian rezim semata, tapi juga bagian dari pelayanan publik yang harus bebas dari maladministrasi. Tindakan seperti diskriminasi dalam sosialisasi, penyalahgunaan kewenangan oleh penyelenggara pemilu atau keterlambatan distribusi logistik adalah bentuk pelayanan publik yang buruk dan berpotensi menciderai hak konstitusional warga negara. Dalam pandangan Ombudsman Republik Indonesia jika masyarakat sebagai owner dalam sistem kepemiluan khususnya pemilu kepala daerah, maka sedapat mungkin terdorong untuk menciptakan ekosistem pengawasan berbasis warga. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya penyimpangan sejak dini. Salah satu bentuk implementasi konkret adalah :

a. Keterlibatan masyarakat sipil dan politik lokal dalam forum pemantauan pemilu.

b. Peningkatan literasi pengaduan; agar masyarakat mampu menyampaikan laporan secara tepat dan sesuai prosedur.

c. Kolaborasi lintas lembaga; termasuk Ombudsman Republik Indonesia untuk tindaklanjut aduan dan potensi pelanggaran.

Penutup

Menjadikan masyarakat sebagai ownership dalam penyelenggaraan pemilu kepala daerah bukanlah sebuah pilihan, melainkan keniscayaan membangun demokrasi yang berdaya dan bermartabat. Tanpa kepemilikan masyarakat, pemilu kehilangan rohnya dan hilangnya daya hidup demokrasi. Sudah saatnya masyarakat berdiri di garda terdepan, tidak hanya memilih, tetapi juga menjaga, mengawal dan menghidupi demokrasi di tanah nya sendiri.

Ombudsman Republik Indonesia memandang bahwa menjadikan masyarakat sebagai Ownership dalam penyelenggaraan pemilu kepala daerah bukan hanya memperkuat demokrasi lokal, tetapi juga memperbaiki kualitas pelayanan publik di bidang kepemiluan yang berkualitas serta meletakan legacy yang baik pada sebuah proses demokrasi modern yang berkesinambungan. Masyarakat yang aktif, kritis, dan terlibat akan menjadi penjaga moralitas dan integritas demokrasi.


Oleh : 

Ferdinand W R Payawa

Insan Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Papua





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...