Masalah Pupuk Bersubsidi di NTT
Pada 12 Januari 2021, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan kekesalannya terhadap program pupuk bersubsidi. Presiden merasa program pupuk bersubsidi dinilai tidak memberikan hasil dan perlu dievaluasi. Sebab dalam 6 tahun terakhir tidak kurang dari 24 triliun per Tahun APBN digelontorkan untuk membiayai program pupuk bersubsidi. Â Anggaran pupuk bersubsidi pada tahun 2021 mencapai Rp25,2 triliun untuk volume pupuk sebanyak 7,2 juta ton. Namun demikian kebijakan yang berumur 52 tahun ini dinilai belum memberikan hasil yang setimpal. Meski program ini terus mengalami perbaikan dalam mekanisme pendataan, penyaluran dan penebusannya melalui introduksi e-RDKK, Kartu Tani, Simluhtan dan aplikasi T-Pubers.
Program
subsidi pupuk bagi petani merupakan salah satu bentuk
kebijakan pengentasan kemiskinan di kalangan petani dengan jalan membantu
meringankan biaya produksi. Subsidi pupuk juga untuk merespons
kecenderungan kenaikan harga pupuk di pasar internasional dan penurunan tingkat
keuntungan usaha tani. Selain juga bertujuan untuk memenuhi enam prinsip dalam penyaluran pupuk, yaitu tepat jenis,
tepat harga, tepat waktu, tepat tempat, tepat jumlah dan tepat mutu. Subsidi pupuk
diharapkan dapat meningkatkan produktifitas pertanian dan kesejahteraan petani.
Â
Hasil Kajian Ombudsman RI
Pada bulan April 2021, Ombudsman RI telah melakukan telaah awal terhadap masalah tata kelola  pupuk bersubsidi. Berdasarkan hasil telaah deteksi awal dan penelusuran informasi, terdapat lima tipologi masalah dan hambatan dalam tata kelola program pupuk bersubsidi, yaitu pertama, sasaran petani/kelompok tani penerima pupuk bersubsidi. Kedua, akurasi data penerima pupuk bersubsidi. Ketiga, mekanisme distribusi. Keempat, efektifitas penyaluran, dan kelima, mekanisme pengawasan distribusi dan penyaluran.
Kelima permasalahan tersebut berpotensi memunculkan temuan maladministrasi, dan oleh karenanya perlu dicegah. Berdasarkan serangkaian kegiatan yang dilakukan, Ombudsman RI mencatat lima potensi maladministrasi sebagai berikut, pertama penentuan kriteria dan syarat petani penerima pupuk bersubsidi saat ini tidak diturunkan dari rujukan Undang-undang yang mengatur secara langsung yaitu UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan UU 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, serta UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Kedua, pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung dengan ketidakakuratan pendataan. Hal ini berdampak pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran pupuk bersubsidi. Ketiga, terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi. Keempat, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip enam tepat. Kelima, mekanisme pengawasan belum efektif sehingga berbagai penyelewengan dalam penyaluran masih terjadi.
Â
Bagaimana dengan NTT
Kendati laporan masyarakat terkait pertanian tidak sebanyak substasi lainnya, akan tetapi permasalahan pelayanan publik di bidang pertanian banyak dijumpai dalam pemberitaan media massa. Akhir tahun 2021, ketika memasuki musim tanam, kita masih disuguhkan informasi dan pemberitaan mengenai keluhan para petani yang mengalami kesulitan dalam memperoleh pupuk bersubsidi, diantaranya yang terjadi di Kabupaten Kupang, hal mana petani mengeluhkan keterbatasan pupuk bersubsidi, Kabupaten Manggarai dengan keluhan kelangkaan pupuk bersubsidi, Kabupaten Sumba Barat Daya dengan keluhan tingginya harga pupuk bersubsidi dan masih banyak lagi yang dialami para petani yang mungkin saja belum tersampaikan ke publik.
Sulitnya mengakses pupuk bersubsidi untuk kebutuhan pertanian saat memasuki musim tanam adalah soal yang selalu dialami petani kita setiap musim. Jangankan yang belum masuk dalam kelompok tani, yang sudah menjadi anggota kelompok tani pun susah mendapatkan pupuk subsidi. Jikapun dapat pupuk  jumlahnya dibatasi. Keluhan kelangkaan pupuk pada beberapa wilayah di NTT tersebut mendorong Ombudsman Perwakilan NTT melakukan kajian singkat guna menemukenali faktor-faktor penyebab kelangkaan pupuk dan persoalan lainnya dengan wilayah kajian Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TSS).
Beberapa soal di tingkat petani yang terekam saat berinteraksi dengan Kelompok Tani di Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS antara lain, pertama masih adanya kendala dalam penerapan kartu tani di tingkat petani. Petani belum memiliki akses informasi yang cukup terkait penggunaan kartu tani. Kedua, masih terdapat permasalahan terkait dengan transparansi penyaluran pupuk subsidi di tingkat pengecer. Ketiga, petani cenderung menyalurkan pengaduannya terkait permasalahan yang dihadapi kepada para penyuluh karena dinilai lebih dekat dengan petani. Petani berharap ada kanal pengaduan yang bisa terhubung ke Dinas Pertanian untuk bisa langsung melakukan pengaduan.
Dinas belum memiliki call center yang dapat digunakan petani untuk mengadu maupun mengakses infomasi. Dinas telah menyiapkan kotak pengaduan/saran tetapi masyarakat lebih memilih berkoordinasi atau mengadu secara langsung dengan petugas. Belum tersedia mekanisme pengelolaan pengaduannya, sehingga setiap pengaduan terkait penyaluran pupuk yang masuk ke dinas tidak terinventarisir.
Beberapa persoalan berikut diduga menjadi sebab pelayanan pupuk bersubsidi di Provinsi NTT tidak berjalan dengan baik, antara lain Dinas Pertanian belum memiliki program sosialisasi tentang pupuk bersubsidi kepada masyarakat petani oleh karena keterbatasan alokasi anggaran untuk kegiatan dimaksud. Hal ini terlihat dari pemahaman dan kecakapan petani yang rendah terhadap sistem penyaluran pupuk bersubsidi yang berdampak pada ketidakmampuan dalam menyusun RDKK dan informasi terkait kartu tani.
Dinas Pertanian memiliki keterbatasan jumlah penyuluh pertanian yang bertugas melakukan pendampingan dan pembinaan bagi petani plus alokasi anggaran yang belum memadai dalam menunjang pelaksanaan tugas di lapangan. Kemudian Dinas Pertanian belum memiliki sistem pendataan kebutuhan yang memadai dalam pengusulan alokasi pupuk. Hal ini disebabkan karena informasi dan data dari tingkat petani tidak seutuhnya dapat diperoleh dinas termasuk data kepemilikan kartu tani.
Selanjutnya Dinas Pertanian belum lengkap memiliki standar pelayanan termasuk internal complain handling (sistem pengalolaan pengaduan) sehingga ketika ada permasalahan di tingkat petani yang perlu diselesaikan tidak mendapat akses dan sarana penyelesaian. Dengan demikian ketidakberdayaan petani dalam memperoleh pupuk bersubsidi tidak mendapatkan jalan penyelesaian yang memadai. Terakhir, minimnya bahkan tidak ada alokasi anggaran pupuk bersubsidi yang bersumber dari APBD  bagi petani kecil.
Â
Perbaikan Tata Kelola Pupuk Bersubsidi
Setelah mempelajari berbagai regulasi, fakta dan berbagai keterangan dari berbagai pihak maka  Ombudsman menilai perlu melakukan perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi, yakni perbaikan dalam kriteria petani penerima pupuk bersubsidi dan perbaikan dalam akurasi pendataan petani penerima pupuk bersubsidi.
Pelaksanaan program pupuk bersubsidi saat ini, belum dapat dijadikan sebagai instrumen dalam meningkatkan produksi pertanian. Tidak semua petani mendapatkan pupuk bersubsidi sesuai dengan kebutuhannya. Kriteria petani penerima pupuk bersubsidi yang diatur dalam Peraturan  Menteri Pertanian 49/2020 tentang Alokasi dan HET pupuk bersubsidi TA. 2021, menyebabkan pemberian pupuk bersubsidi belum memberikan hasil yang setimpal.
Pendataan petani penerima pupuk bersubsidi saat ini dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan rumit dan berujung dengan tidak akuratnya data penerima pupuk bersubsidi dengan indikasi tidak semua petani tergabung sebagai anggota Kelompok Tani, tidak semua anggota Kelompok Tani terdaftar dalam e-RDKK, tidak semua petani yang terdaftar dalam e-RDKK Â mendapatkan pupuk bersubsidi, tidak semua NIK petani teraktivasi oleh Dukcapil yang mengakibatkan petani tidak dapat menebus pupuk bersubsidi karena dianggap tidak dapat menunjukan identitas diri, petani dengan luas lahan diatas 2 Ha ditemukan terdaftar dalam e-RDKK, rekomendasi pemupukan belum akurat, dan terbatasnya pelibatan apartur pemerintah desa dalam penentuan petani penerima pupuk bersubsidi.
Â
Darius Beda Daton
(Kepala Perwakilan Ombudsman NTT)