• ,
  • - +

Artikel

Masalah dan Solusi Layanan Kesehatan di Kepri
• Senin, 01/08/2022 •
 
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Riau, Lagat Siadari

Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Riau mencatat sejumlah permasalahan pelayanan Kesehatan yang terjadi di Kepulauan Riau. Masalah itu dipotret berdasarkan hasil pengawasan Ombudsman dari tahun 2012 sampai saat ini yang diselenggarakan oleh rumah sakit milik pemerintah (RSUD), rumah sakit milik swasta, dinas kesehatan, puskesmas, klinik dan lainnya.

Berdasarkan pasal 5 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa pelayanan kesehatan termasuk ruang lingkup pelayanan publik jasa,  sehingga menjadi objek  pengawasan Ombudsman yang akan mengawasi pelaksanaannya oleh penyelenggara pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan/lembaga negara, BUMN, BUMD atau lembaga swasta yang memang diberikan kewenangan melaksanakan pelayanan objek pelayanan publik barang, jasa dan administrasi sesuai dengan perintah perundang-undangan.

Berdasarkan data laporan dari aplikasi Sistem Informasi Manajemen Pelayanan Terintegrasi secara Elektronik (Simpel) Ombudsman RI, terdapat 113 akses pengaduan dengan substansi kesehatan yang diregistrasi Ombudsman  Kepri. Jumlah laporan tersebut setara dengan 5% dari 2.157 keseluruhan laporan yang masuk. Laporan terbesar adalah substansi agraria sebanyak 303 akses pengaduan, selanjutnya pendidikan sebanyak 163 dan substansi perhubungan dan infrastruktur sebanyak 154 akses.

Pada semester satu tahun ini Ombudsman Kepri juga sudah mencatatkan penerimaan pengaduan layanan publik substansi kesehatan  sebanyak 28 atau setara dengan 9% dari jumlah keseluruhan diterima sebanyak 279 laporan dan menduduki substansi laporan terbesar kedua setelah agraria. Tentunya jumlah laporan yang masuk ini dapat mengindikasikan ada persoalan pelayanan kesehatan di Kepulauan Riau.  

Adapun kelompok instansi yang dilaporkan adalah rumah sakit pemerintah sebanyak 46%, rumah sakit swasta 10%, puskesmas 23%, dinas kesehatan 15% dan klinik 6%. Bila melihat instansinya maka laporan menyangkut layanan di puskesmas yang paling dominan dikeluhkan pelapor, selanjutnya layanan RSUD Tanjungbatu Kundur Karimun, RSUD Engbung Fatimah, RSUD Ahmad Tabib, sejumlah rumah sakit swasta, layanan Dinas Kesehatan Batam dan Dinas Kesehatan Karimun.

Melihat data laporan, maka klasifikasi masalah layanan yang dikeluhkan masyarakat  di antaranya adalah kekurangan sarana prasarana kesehatan terjadi pada layanan fisioterapi di RSUP Kepulauan Riau, penolakan pasien terjadi di RSUD Dabosingkep, RSUD Embung Fatimah dan RSUD Tanjungbatu. Selanjutnya kekurangan tenaga dokter spesialis terjadi di RSUD Tanjung Batu dan RSUD Dabosingkep, lalu kekurangan ketersediaan obat-obatan di RSUD Dabosingkep dan RSUD Engbung Fatimah. Ada juga keluhan karena dokter terlambat datang yang terjadi di RSUD Engbung Fatimah.

Masalah penanganan Covid-19 juga terjadi terkait pembayaran jasa PCR bagi pasien yang meninggal dikarenakan Covid-19, pelayanan vaksin dan sertifikat vaksin terjadi pada sejumlah RS swasta, dinas kesehatan, RS Bhayangkara dan klinik pemerintah. Termasuk juga terjadinya penyimpangan atas pemotongan insentif tenaga kesehatan dalam penanganan Covid-19  di RSUD Tarempa dan puskesmas di Bintan.

Menyikapi persoalan layanan publik yang ada di Kepulauan Riau maka diusulkan solusi upaya untuk mengatasinya. Pertama,  agar menerapkan asas responsibility pelayanan publik oleh seluruh penyelenggara dan pelaksanaan atas keluhan masyarakat. Kedua, agar setiap penyelenggara (satker/unit kerja) wajib melakukan pengelolaan pengaduan pelayanan publik (bisa gunakan kanal nasional SP4N :www.lapor.go.id). Ketiga, agar pemerintah daerah melaksanakan nota kesepahaman dan rencana kerja dengan Ombudsman Kepulauan Riau yang telah ditandatangani. Keempat, melakukan penguatan pengawasan pada Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) atau pengawas internal.

Merujuk pada hasil penilaian kepatuhan Penerapan Standar Pelayanan publik yang dilakukan Ombudsman Kepulauan Riau Tahun 2021 lalu atas layanan substansi kesehatan, maka layanan substansi kesehatan di Kepulauan Riau belum sepenuhnya mematuhi ketentuan standar pelayanan publik berdasarkan UU 25/2009. Penilaian atas dua produk layanan pada Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau, yakni rekomendasi Surat Izin Praktek Tenaga Teknis Kefarmasian (SIPTTK) dan surat rekomendasi BPJS maka nilai rata-ratanya hanya 60,92 dengan predikat kepatuhan sedang atau zona kuning. Sedangkan tingkat kepatuhan penerapan standar pada layanan Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun dengan menilai 10 produk layanan mendapatkan skor nilai 65 dengan predikat kepatuhan sedang atau zona kuning. Paling buruk adalah layanan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bintan  yang hanya dinilai satu produk layanan yakni surat rekomendasi BPJS nilainya 33,72 dengan predikat kepatuhan rendah atau zona merah. Untuk Kota Batam juga dengan produk yang sama layanan rekomendasi BPJS hanya mendapat skor 57,95 dengan predikat kepatuhan sedang atau zona kuning. Satu-satunya pemerintah di Kepulauan Riau yang dinilai mendapatkan predikat kepatuhan tinggi atau zona hijau adalah layanan Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna.

Menyangkut masalah kekurangpatuhan dalam penerapan standar pelayanan substansi kesehatan di Kepulauan Riau maka solusi yang disarankan adalah perlunya komitmen kepala daerah dalam memastikan penerapan Standar Pelayanan Publik, melakukan penguatan pelaksanaan penerapan Standar Pelayanan Publik melalui anggaran, SDM, sarana prasarana. Melakukan induksi/internalisasi peningkatan kompetensi pelaksana, melakukan pengelolaan pengaduan pelayanan publik sebagai bagian rangkaian pelayanan publik, melakukan evaluasi pelaksanaan, melakukan survei kepuasan masyarakat setiap triwulan/semester/tahunan dan sebaiknya tidak terlalu sering melakukan rotasi pegawai pelaksana.

Potret lain dalam menilai persoalan pelayanan publik pada substansi kesehatan di Kepulauan Riau adalah terkait penerapan Standar Pelayanan Minum (SPM). Berdasarkan amanat Pasal 18, Pasal 298 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2018 dan sejumlah peraturan teknis kementerian terkait lainnya maka pemerintah daerah diwajibkan melaksanakan Standar Pelayanan Minimal.

Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. Adapun substansi SPM ini menyangkut beberapa hal pelayanan bidang, yakni pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat ketenteraman dan ketertiban umum dan sosial. Kewajiban pemerintah provinsi dalam SPM substansi kesehatan adalah pelayanan kesehatan bagi penduduk meliputi terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau berpotensi bencana provinsi dan layanan pada kondisi kejadian luar biasa provinsi.

Sedangkan untuk pemerintah kabupaten/kota kewajiban layanan kesehatan itu menyangkut ibu hamil, ibu  bersalin, bayi baru lahir, balita, pada usia pendidikan dasar, pada usia produktif, pada usia lanjut, penderita hipertensi, penderita diabetes melitus, orang dengan gangguan jiwa berat , orang terduga tuberkulosis dan orang dengan risiko terinfeksi HIV.

Berdasarkan penilaian hasil pelaksanaan SPM tahun 2021 lalu yang dilakukan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), didapat bahwa capaian bidang kesehatan Provinsi Kepulauan Riau telah mencapai maksimal 100%. Namun capaian bidang kesehatan se-kabupaten/kota sudah level baik meski belum maksimal karena baru mencapai nilai sekitar 74%.

Adapun klasifikasi masalah penerapan SPM di Kepulauan Riau adalah masalah teknis, kebijakan anggaran, SDM dan faktor partisipasi kelompok penerima SPM. Masalah-masalah yang ditemukan berdasarkan analisis yang dilakukan melingkupi di antaranya adalah penginputan data ke sistem aplikasi yang belum maksimal karena kurang kooperatifnya jejaring di wilayah kerja puskesmas, belum adanya juknis baku pengaturan kebutuhan/standarisasi, keterbatasan anggaran dan pengalihan anggaran untuk yang diprioritaskan dan keterbatasan sumber daya manusia. Selanjutnya masalah keterbatasan logistik, perhitungan data SPM masih menggunakan data estimasi, belum menggunakan data riil, sebagian besar lansia tidak ke Posyandu atau puskesmas terdekat untuk memeriksakan kesehatan secara rutin di masa pandemi Covid-19 karena risiko tinggi terpapar.

Kemudian masalah lainnya adalah kurangnya pemantapan peran fasilitas pelayanan kesehatan, dikarenakan adanya pandemi indikator -indikator yang seharusnya dilakukan di posyandu atau puskesmas di wilayah kerja masing-masing tidak bisa dilakukan dengan efisien, Sejumlah masyarakat yang  terdaftar BPJS  dengan status tidak  aktif/tertunggak tetap tidak dapat  dibantu dengan  Jampersal karena  terkendala oleh  Permenkes Nomor 12  Tahun 2021 tentang  Juknis DAK Non Fisik Bidang Kesehatan. Kemudian masalah lain masih terbatasnya tenaga medis (dokter) di puskesmas dan adanya masa  pandemi Covid-19  mengakibatkan  ruang gerak kegiatan  terbatas

Untuk mengatasi masalah pelaksanaan SPM ini maka perlu adanya komitmen kepala daerah dan DPRD dalam mendukung aspek anggaran, karena semua pelayanan yang diwajibkan berimplikasi pada kebutuhan anggaran. Kemudian perlu dilakukan penguatan Biro Pemerintahan Provinsi Kepri atau Bagian Pemerintahan pada tingkat kabupaten/kota sebagai koordinator monitoring pelaksana SPM agar berjalan dengan maksimal. Saran terakhir adalah agar dilakukan evaluasi pelaksanaan setiap tahunnya sehingga dapat dilakukan perbaikan mulai tahap pengumpulan data, perencanaan anggaran,  dan pelaksanaannya.


Penulis :

Dr.Lagat Parroha Patar Siadari, SE., MH.

Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Riau





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...