Maladministrasi dan Emas di Pegunungan Verbeek
Melintasi kembali pegunungan Verbeek dari poros jalan Kebun Kopi menuju Toli Toli lewat jalur Pantai Timur menanjak ke poros jalan di Cagar Alam Tinombala, Sulawesi Tengah sungguh mengasyikkan. Tak perlu saya ungkapkan perbedaan kualitas jalan Negara dengan jalan Provinsi. Yang terpenting selama melintas, kita akan disuguhi pemandangan alam dan satwa luar biasa, meski saat di Cagar Alam Gunung Tinombala masih terlihat aktivitas illegal loging kayu merah yang ditumpuk di pinggir kanan jalan antara ruas 14 jembatan di penurunan arah pertigaan Basidondo.
Sayang panorama alam yang indah mempesona ini tak mustahil beberapa tahun ke depan sulit bisa kita lihat lagi. Mengapa demikian? Sesungguhnya bukan rahasia umum lagi bahwa kawasan pegunungan Verbeek itu kaya kandungan emas sebagai mineral utamanya. Tambang ilegal di Kayuboko dan Buranga adalah salah satu contoh dan juga segera di-launching pertambangan di Toribulu, Kasimbar hingga Posona. Semuanya dalam kawasan pegunungan Verbeek, termasuk juga Cagar Alam Tinombala yang besar kemungkinan berpotensi memiliki kandungan emas.
Saya membayangkan kolaborasi pengelolaan tambang emas dari pengusaha, masyarakat, oknum kepolisian dan oknum aparat pemerintahan akan menguras Sumber Daya Alam yang ada. Mulai dari babat hutan, bongkar tanah, tanam mercury dan sianida sampai jual beli tanah berdasar Surat Keterangan Pemilikan Tanah (SKPT) dan lainnya. Semua beralasan investasi dan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Padahal sesungguhnya kolaborasi itu seperti sedang mempertontonkan modus pengelolaan tambang emas tanpa ijin atau lazim disebut PETI.
Hal ini jelas termasuk maladministrasi. Dalam hal ini Pemerintah lalai dan bertindak melawan hukum. Sumber Daya Alam berupa emas ditambang tanpa melalui mekanisme perijinan dan dilakukannya pembiaran. Bahkan Pemerintah tak melaksanakan kewajibannya untuk lakukan pengawasan. PETI di Dongi-Dongi Taman Nasional Lore Lindu dan PETI di Poboya adalah contoh jelasnya. Disebutkan sebagai tambang rakyat? Namun hal ini pun masih abu abu. Yang jelas mekanisme perijinan tidak dijalankan untuk memberi sebuah legalisasi atas usaha tambang yang ada.
Saya sepakat bila Undang-Undang Mineral dan Batu Bara memang kurang menguntungkan bagi daerah. Bahkan bisa dikatakan terjadi ketimpangan bagi hasil untuk daerah penghasil. Namun sepatutnya bila seluruh pihak utama, Pemerintah Daerah mendorong pelaku usaha tambang emas untuk menyelesaikan urusan izin tambang beserta kewajiban lain yang melekat pada izin usaha tambang sehingga semua tuntutan atau Hak Daerah bisa dipenuhi.
Banyak keuntungan bila perizinan ditegaskan. Mulai penagihan bagi hasil pendapatan Pusat dan Daerah yang lebih proporsional, perbaikan lingkungan lewat mekanisme reklamasi, pengawasan atas dampak lingkungan termasuk pemenuhan hak masyarakat atas dampak tambang dan lain-lain. Terpenuhinya mekanisme perizinan juga berharap berkah atas usaha tambang. Seluruh pendapatan benar-benar mengalir ke kas daerah, bukan ke kantong kantong oknum tertentu. Praktik erzats capitalism bisa kita hapuskan. Bila pendapatan daerah ini sehat dari sektor tambang maka dampaknya akan terlihat dari semakin berkualitasnya pelayanan publik di daerah tercinta ini.