• ,
  • - +

Artikel

Magistature of Influence: Bukan Sekedar Output Tanpa Sanksi
• Kamis, 16/01/2025 •
 
Kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepri

Sudah menjadi suatu doktrin yang ditanamkan bersama atas insan Ombudsman di seluruh wilayah Republik Indonesia bahwasanya Ombudsman Republik Indonesia merupakan lembaga negara yang berstatus independen serta imparsial dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengawas penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Hal-hal demikian berhubungan langsung atas keberadaan Ombudsman Republik Indonesia yang memiliki pengaruh kelembagaan atas pelaksanaan tindakan korektif ataupun hal-hal serupa yang berkenaan dengan penyelesaian masalah administrasi pada setiap penyelenggara pelayanan publik yang terbukti secara jelas melakukan maladministrasi dalambusiness processnya. Hal-hal demikian menunjukan bahwasanya adanya suatu kekuatan pengaruh bagi Ombudsman dalam rangka menjawab persoalan seputar bagaimana seharusnya maladministrasi dientaskan dan bagaimana bentuk pengentaskan dari maladministrasi itu sendiri secara patut.

 

Berkenaan dengan apa yang disebut pengaruh, sepatutnya mudah untuk dipahami bahwasanya asas kepastian hukum di Indonesia lah yang memberikan kekuatan pengaruh progresif tersebut kepada lembaga negara yang berakar pada mimpi-mimpi reformasi yang berorientasi kepada pengejawantahan hak-hak sipil rakyat Indonesia. Sebuah asas yang menentukan kelembagaan Ombudsman secara runut dan absolut dalam suatu Undang Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Adanya regulasi tersebut bahkan mendahului regulasi hukum atas objek tugas dari Ombudsman Republik Indonesia sendiri yakni pelayanan publik dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009. Namun sejauh apa lembaga ini menggunakan pengaruhnya terhadap penyelenggaraan pelayanan publik sebagai suatu sistem yang tak bisa dilepaskan dari adanya pembangunan hukum progresif serta perubahan kebutuhan pelayanan publik masyarakat Indonesia yang senantiasa berkembang dan berorientasi kepada pemenuhan standar pelayanan itu sendiri? Hal ini dapat dijawab oleh adanya pemahaman/doktrin awal yang sudah penulis sebutkan tadi bahwasanya ruh Ombudsman sendiri adalah sejatinya merupakan magistature of influence dan bukan magistature of sanction yang berorientasi kepada penjatuhan sanksi atas akibat hukum ditemukannya maladministrasi itu sendiri.

 

Kebanyakan awam, bahkan akademisi salah kaprah dalam menentukan bahwasanya Ombudsman Republik Indonesia sendiri diharuskan untuk memiliki kewenangan dalam menjatuhkan sanksi atas suatu lembaga penyelenggara pelayanan publik atas bentuk maladministrasi yang terjadi keatasnya sebagaimana upaya hukum kepada aparat penegak hukum pada rumpun hukum pidana maupun hukum administrasi negara. Hal ini juga bukan berarti bahwa "pengaruh" Ombdusman sendiri merupakan suatu hal sia-sia dengan output yang tidak memiliki daya ikat atas konsekuensi hukum yang melakukan suatu maladministrasi. Lebih jauh dilihat, produk-produk turunan (output) dari penyelesaian maladministrasi Ombudsman sendiri yakni tindakan korektif maupun rekomendasi yang harus dilaksanakan merupakan suatu bentuk produk hukum terbarukan yang tidak selalunya untuk berorientasi kepada penekanan sanksi dan akibat hukum mengikat lain laksana pemidanaan ataupunbeschikking konkret-individual seperti pemecatan, mutasi, penurunan pangkat, dan hal-hal kepegawaian lainnya. Secara lugas harus dikatakan, apalah artinya sanksi yang diberikan berulang-ulang jika hakikat sanksi tersebut akan selalu ditemukan berulang kali sebagaimana anak kecil yang dihukum berdiri satu kaki karena tidak mengejarkan PR seni budaya lalu tidak mengerjakan PR Bahasa Indonesia karena lupa atau mati lampu.

 

Ombudsman, sebagai lembaga negara yang lahir dari progresivitas hukum di Indonesia meletakan pengaruhnya sebagai bagian tak terlepaskan dari pembangunan budaya sadar hukum dan tertib pelayanan publik secara maksimal. Budaya hukum ini tentunya tidak serta merta menjadi suatu sistem yang menitikberatkan bahwa pelayanan publik adalah sistem saklek yang mengunci dirinya atas aturan-aturan normatif. Namun lebih dari itu, untuk menentukan apakah budaya hukuk itu telah menjadi suatu sistem kelembagaan yang mendukung pelayanan publik sendiri maka harus dipastikan bahwasanya penyelenggara pelayanan publik telah patuh serta taat kepada aturan hukum, asas-asas umum pemerintahan yang baik, kebutuhan masyarakat, serta standar operasional pelayanan yang dibuat sebagai teknis penyelenggaraan pelayanan publik itu sendiri.

 

Oleh karena itu, pengaruh dari kelembagaan Ombudsman hadir dalam rangka menuntun, mengarahkan, membina, serta memberikan saran perbaikan dan masukan atas hal-hal apa saja yang perlu dievaluasi baik secara kualitas, sistemik, maupun harapan masyarakat baik skala individu maupun masyarakat luas. Namun kembali penulis tegaskan, pengaruh darioutputproduk hukum kelembagaan ombudsman sendiri mendikte lembaga agar "ikut maunya" ombudsman. Bagaimana mungkin sebuah lembaga yang lahir dari semangat demokratis berwawasan Pancasila harus bertindak layaknya diktator dan membuat suatu kebakuan pelayanan yang sama tanpa mempertimbangkan keberagaman sektor pelayanan publik sendiri.

 

Dalam hal evaluasi sistem dan monitoring terhadap upaya-upayabeschikking yang dilakukan suatu lembaga pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia menitikberatkan kepada suatu bentuk inovasi dan pengembangan berlanjut sebagaimana yang telah diatur menurut Undang Undang Pelayanan Publik yang dapat menjangkau serta meningkatkan aksesibilitas bagi masyarakat dalam memenuhi hak-haknya atas pemenuhan sektor barang, jasa, dan administrasi dalam suatu sistem pelayanan publik sendiri.

 

Adanya pemenuhan tindakan korektif dan rekomendasi ini, secara mutualis menunjukan bahwasanya lembaga tersebut memiliki kepatuhan hukum bukan saja kepada Ombudsman Republik Indonesia namun lebih lanjut kepada tanggungjawab hukum dan moriil kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia sendiri. Pemenuhan tindakan korektif tersebut juga menunjukan keberhasilan bagi Ombudsman Republik Indonesia dalam mengawasi pelayanan publik di Indonesia agar berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebutuhan masyarakat secara progresif.

 

Magistature of Influence, istilah asing yang melembaga menjadi upaya hukum penegakan hukum administrasi negara tanpa harus terpaku pada sanksi administrasi itu sendiri. Adanya pengaruh dalam evaluasi penyelenggaraan publik merupakan suatu terobosan yang sejatinya dapat dipahami bahwasanya hukum, keadilan, dan hak-hak masyarakat terhubung dalam suatu sistem yang diejawantahkan oleh pelayanan publik yang senantiasa menjadi harapan besar bagi Bangsa Indonesia dalam memajukan peradabannya menuju bangsa yang merdeka seutuhnya.

 

Harapan ini juga melahirkan suatu tantangan baru mengenai apakah pelayanan publik yang dibina dan dituntut dalam genggamanmagistature of influenceitu mampu untuk setidaknya mewujudkan hakikat paling mendasar bagi suksesi pelayanan publik masa mendatang di Indonesia berbagai indikator tata kelola (governance indicator) mempengaruhi dan mendorong perwujudan tata kelola pemerintahan yang berdasarkan prinsipgood governance. Ombudsman Republik Indonesia, dalam menjawab tantangan berikut haruslah senantiasa meningkatkan kompetensi kelembagaannya melalui pengembangan sumber daya manusia dari insan Ombudsman itu sendiri sebagai motor penggerakan Ombudsman.

 

Ombudsman Republik Indonesia

Not only rule of law but also public's influences on public services

 

Oleh: Muhammad Addin Nur Prasatia

Calon Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Riau





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...