LPG Langka Lagi
Konversi minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) dimulai sejak tahun 2007. Program ini diterapkan dengan tujuan mengurangi konsumsi penggunaan minyak tanah, mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi, penghematan anggaran pemerintah untuk pemberian subsidi minyak tanah, serta menyediakan bahan bakar yang praktis dan bersih untuk rumah tangga dan usaha mikro. Pemerintah perlahan mencabut subsidi minyak tanah dan mengalihkan ke subsidi LPG tabung 3 kg.
Di Kalimantan Selatan, program ini sudah dijalankan oleh 13 Kabupaten/Kota. Dulunya sempat ada penolakan, masyarakat takut menggunakan, karena sering meledak. Sekarang LPG, khususnya tabung 3 kg, jadi kebutuhan dasar. Penggunaan minyak tanah untuk memasak, sangat jarang digunakan. Minyak tanahpun sangat sulit dicari. Sekarang, masyarakat lebih nyaman menggunakan LPG dari pada kompor minyak tanah atau memasak menggunakan kayu bakar.
Namun setelah masyarakat beralih ke LPG, justru LPG 3 kg susah dicari. Kerap terjadi kelangkaan LPG subsidi di berbagai daerah, apalagi saat Ramadhan dan tahun baru. Di Kalimantan Selatan, Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG tabung 3 kg ditetapkan Rp. 17.500. Ketika terjadi kelangkaan, harganya meroket, bahkan bisa menyentuh Rp. 60.000 per tabung.
Berdasarkan pemantauan Ombudsman Kalsel banyak faktor pengikut yang menyebabkan kelangkaan tersebut. Pertama, terjadi disparitas harga yang cukup tinggi, antara LPG 3 kg dengan LPG isi 12 kg, akibatnya muncul penyalahgunaan LPG subsidi dengan cara memindahkan isi tabung LPG 3 kg ke tabung LPG 12 kg. Di samping itu, terjadi migrasi konsumsi masyarakat kalangan menengah atas, yang sebelumnya menggunakan LPG tidak bersubsidi, pindah ke LPG bersubsidi. Begitu juga dengan usaha rumah makan besar, yang menggunakan LPG subsidi. Satu rumah makan bisa menyimpan sampai 20 tabung. Tabung tersebut dipinjami oleh pengecer. Di sisi lain, masih banyak Aparatur Sipil Negara yang menggunakan LPG isi 3 kg. Satu keluarga bisa sampai memiliki 5 tabung. Padahal jelas-jelas, program itu diperuntukan bagi usaha mikro dan rakyat yang penghasilannya dibawah 1,5 juta/bulan. Adanya migrasi tersebut, tentunya menambah pengguna LPG bersubsidi. Sedangkan data dari Pertamina tidak berubah. Distribusi ke agen penyalur masih menggunakan data yang belum akurat.
Kedua, banyaknya agen penyalur yang bermental rente. Distribusi LPG subsidi dialihkan ke industri-industri. Industri menengah yang dulunya menggunakan LPG 12 kg, kini beralih ke LPG bersubsidi, karena disparitas harga yang begitu jauh. Agen penyalur bahkan menaikkan dari harga eceran yang diperbolehkan. LPG subsidi dijual kepada orang yang mampu membeli dengan harga tinggi. Biasanya, LPG distok, kemudian dijual dengan harga di atas HET.
Ketiga, terhambatnya pasokan dari Pertamina. Pasokan LPG yang terhambat, salah satunya disebabkan rusaknya infrastruktur jalan dan jembatan. Kerusakan infrastruktur ini, jika tidak cepat diatasi, menyebabkan kelangkaan LPG subsidi. Apalagi saat kondisi banjir, banyak jalan dan jembatan yang tidak bisa dilewati. Sementara, jarak pengisian Depo LPG sangat jauh, dibutuhkan waktu 3-4 hari.
Agar program ini berjalan sesuai dengan harapan, maka perlu kebijakan pemerintah. Di antaranya diiringi dengan kesiapan untuk membangun Depo LPG atau Stasiun Pengisian Bahan Elpiji (SPBE) di setiap kabupaten/kota yang melaksanakan konversi, agar jarak suplai tidak terlalu jauh. Program jangka panjang ini tentunya memerlukan modal besar. Namun ke depan, kelangkaan LPG subsidi, lambat laun akan teratasi. Selain itu, Pertamina juga harus terus memperbarui data kebutuhan agen penyalur. Hal ini dilakukan, untuk mengetahui jumlah penerima dengan LPG yang disalurkan. Jumlah tabung yang disalurkan, sering tidak sinkron dengan kebutuhan di wilayahnya. Bahkan, jatah yang diterima agen penyalur, kurang dari kebutuhan.
Ketiga, melakukan operasi pasar. Program operasi pasar dengan dukungan dari dinas terkait, sangat membantu mengatasi kelangkaan LPG di masyarakat. Program ini juga dapat menekan harga LPG yang dijual di atas HET. Setidaknya, operasi pasar tidak hanya dilakukan pada saat terjadi kelangkaan, namun dilakukan secara rutin. Tentunya dengan tetap melakukan pembatasan pembelian, misalnya menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu atau Kartu Prasejahtera, agar penyalurannya tepat sasaran.
Keempat, penindakan terhadap oknum yang menyelewengkan LPG subsidi. LPG subsidi kerap dioplos ke tabung 12 kg, begitu juga dengan agen penyalur yang menjual di atas HET dan menstok, kemudian dijual dengan harga tinggi. Oleh karena itu, perlu ada penindakan tegas dari aparat terhadap oknum yang menyelewengkan LPG subsidi. Koordinasi lintas sektor antara kepolisian, Pertamina dan pemerintah daerah, perlu dibangun. Misalnya dengan membetuk Tim Terpadu Pengawasan Penyaluran LPG Bersubsidi. Pertamina harus gencar melakukan sosialisasi kepada rumah makan dan industri yang menggunakan LPG bersubsidi. Begitu juga pengawasan terkait penerapan Harga Eceran Tertinggi LPG 3 kg.
Peran dari pemerintah daerah juga sangat diperlukan. Di beberapa kabupaten/kota, pengambilan jatah LPG harus menggunakan kartu kendali. Sehingga distribusi dari agen penyalur ke masyarakat tepat sasaran. Selain itu, perlu dibuat aturan mengenai larangan ASN menggunakan LPG subsidi, karena saat ini, hanya sebatas himbauan. Terakhir, percepatan perbaikan infratruktur jalan dan jembatan, untuk menjamin kelancaran distribusi. Peran dari Balai Pelaksana Jalan Nasional sangat vital, mengingat jalur distribusi LPG paling sering menggunakan jalan nasional. Lambanya penanganan jalan yang rusak, turut menyumbang masalah kelangkaan LPG.
Sopian Hadi, S.H., M.H.