Layanan Adminduk Untuk Desa
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan bahwa administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain. Hal ini dilakukan dalam rangka tertib administrasi, sehingga negara memiliki kewajiban untuk memberikan pengakuan status pribadi dan status hukum terhadap warga negaranya, termasuk untuk warga yang berada di desa.
Bicara mengenai layanan adminduk untuk desa, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 telah mengakomodir pemerintah daerah Walikota/Bupati, untuk melaksanakan penyelenggaraan urusan administrasi kependudukan, termasuk memberi penugasan kepada desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan administrasi kependudukan, berdasarkan asas tugas pembantuan yang dilaksanakan oleh Petugas Registrasi.
Dalam praktiknya, masih banyak wilayah pedesaan yang tidak terjangkau oleh layanan administrasi kependudukan. Minimnya anggaran masih dijadikan alasan sulitnya mengakses layanan adminduk sampai ke desa. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019, memberikan solusi, agar penyelengaraan urusan administrasi kependudukan di Kecamatan dapat berjalan dengan efektif dan efisien, dapat dibentuk unit pelaksana teknis (UPT) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yang bertanggung jawab kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota, dengan memprioritaskan kondisi geografis terpencil, sulit dijangkau transportasi umum, dan sangat terbatas akses pelayanan publiknya.
Kendala layanan adminduk yang telah terjadi berlarut-larut ini, akhirnya berdampak pada timbulnya beberapa oknum yang memanfaatkan situasi sulit. Dilihat dari naiknya tren pengaduan atas layanan adminduk pada tahun 2021 di Ombudsman Kalsel, dapat disimpulkan bahwa layanan dasar administrasi kependudukan harus mendapat perhatian khusus oleh pemerintah.
Kebanyakan pada wilayah desa, masyarakat hanya mengetahui jika pengurusan dan perbaikan data kependudukan, dapat dilakukan melalui kantor desa, contoh pembuatan dan perubahan KTP elektronik, Kartu Keluarga, KIA, dan sebagainya. Di satu sisi, hampir seluruh kantor desa tidak diberikan mandat oleh Disdukcapil ataupun Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas perbantuan dalam bidang administrasi kependudukan. Sehingga, situasi seperti ini sangat rentan dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Beberapa temuan Ombudsman di lapangan, mendapati aparat desa yang tetap menerima layanan pengurusan administrasi kependudukan dengan meminta imbalan/upah pengurusan dokumen kependudukan ke masyarakat. Tarifnya ditaksir dengan tidak jelas, beragam, tergantung mood si "calo". Alasan permintaan imbalan uang, untuk biaya transportasi menuju Disdukcapil yang jaraknya cukup jauh. Namun ada pula kondisi di mana masyarakat berinisiatif memberikan imbalan/upah kepada petugas karena merasa tidak enak meminta bantuan. Tanpa disadari, perilaku ini adalah bentuk gratifikasi yang menumbuhkan kebiasaan pungli dalam lingkungan pemerintah. Padahal, beberapa inovasi dari pemerintah sudah mempermudah pengurusan administrasi kependudukan dengan membuka layanan online yang bisa diakses melalui gawai. Namun, tentu saja sosialisasi masif harus dilakukan.
Temuan yang lebih mencengangkan pun didapati dalam permasalahan rumitnya layanan adminduk untuk desa. Petugas desa yang melakukan pungli, ternyata juga dipungli oleh petugas yang ada di kantor Disdukcapil, untuk mengurus setumpuk dokumen kependudukan yang dibawa dari desa. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan "calo" meminta imbalan kepada masyarakat, karena kegiatan pungli ini terjadi secara berjenjang dari bawah sampai ke atas, seolah sudah dijadikan lahan bisnis untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Belum lagi aduan-aduan mengenai sikap layanan dan lambatnya proses layanan.
Banyak pekerjaan rumah pemerintah ke depan untuk menyelesaikan kusutnya problem layanan adminduk ini. Pertama, melakukan berbagai inovasi untuk mempermudah jangkauan layanan sampai ke pelosok desa, bisa dengan membentuk UPT, menyediakan mobil layanan keliling, menunjuk desa untuk melakukan tugas pembantuan dengan menyediakan anggaran yang memadai untuk pelaksanaan layanan adminduk di desa. Kedua, melakukan sosialisasi secara masif, terhadap inovasi yang telah dilakukan ke berbagai lapisan masyarakat, sekaligus memberikan sosialisasi mengenai larangan gratifikasi. Ketiga, meningkatkan standar layanan adminduk dengan berpedoman pada Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pada setiap tingkat layanan adminduk. Keempat, meningkatkan kapasitas SDM kepada petugas dengan memberikan pelatihan dan bimbingan teknis dan supervisi. Terakhir, melakukan kerja sama intens dan evaluasi secara berkala terhadap jalannya layanan administrasi kependudukan. Diharapkan dengan ini, dapat terjadi perubahan yang signifikan terhadap layanan administrasi kependudukan, khususnya di wilayah pedesaan.
Ita Wijayanti, S.H.