Lalai Bangunan Terbengkalai
Tak terasa hampir tiga tahun sejak 2019, hasil kajian Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan atau Rapid Asessment mengenai bangunan
terbengkalai berlalu, dari hasil monitoring tim Pencegahan Ombudsman Kalsel di
tahun 2022 ini, sebagian saran korektif yang disampaikan Ombudsman beberapa
tahun lalu masih belum dijalankan secara maksimal.
Buktinya masih saja ditemui sejumlah bangunan terbengkalai, yang hingga hari ini masih terlantar, tak terurus dengan menyisakan pertanyaan yang kian banyak oleh publik. Sudah berapa anggaran daerah yang habis oleh pembangunan yang tak berdampak apapun bagi maslahat orang banyak.
Untuk menyegarkan ingatan publik, Ombudsman Kalsel di tahun 2019 lalu menemukan total 32 bangunan terbengkalai di Kalimantan Selatan, yakni lima bangunan terminal, 13 bangunan pasar, dua bangunan rumah sakit, tiga gedung perkantoran, bangunan Pusat Pelelangan Ikan, dan bangunan publik lainnya.
Bangunan-bangunan terbengkalai tersebut ditemukan dalam waktu penelusuran terbatas, belum lagi bangunan lainnya yang kami yakini masih banyak terdampar, terbengkalai di sejumlah titik pemerintah daerah.
Padahal, bukan hanya jutaan rupiah yang dikeluarkan untuk bangunan terbengkalai, tetapi sudah mencapai ratusan milyar rupiah uang rakyat menguap. Bayangkan, apabila dana tersebut digunakan untuk program kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik, maka akan lebih berdampak pada kemaslahatan rakyat.
Dalam kajiannya Ombudsman telah mendeteksi sejumlah penyebab yang menjadi faktor terjadinya potensi maladministrasi tinggi akan terjadinya problem bangunan terbengkalai diantaranya, pertama, partisipasi masyarakat. Unsur penting ini acap kali dianggap angin lalu oleh oknum penyelenggara pemerintahan, padahal peran publik dan partisipasinya dalam proses perencanaan aset dan bangunan adalah unsur utama. Akibat diabaikannya hak publik ini, menjadikan bangunan yang telah dibuat mendapatkan penolakan karena akhirnya tidak sesuai dengan kebutuhan, tidak strategis dan tidak akomodatif.
Kedua, pengadaan aset atau bangunan oleh SKPD teknis tidak melibatkan serta berkonsultasi dengan SKPD yang membidangi persoalan konstruksi bangunan, akhirnya spesifikasi bangunan tidak sesuai, belum lagi melanggar ketentuan pengadaan barang dan jasa yang ujungnya macet di tengah jalan dan berdampak menjadi objek hukum pidana dan perdata. Termasuk lemahnya kontrol dan abainya pejabat pengelola barang negara dengan tidak melakukan evaluasi, inventarisasi, pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan barang milik daerah.
Ketiga, kita sebut unsur politik kepemimpinan, beda pemimpin beda kebijakan, sehingga saat ada program pembangunan di ujung pemimpin sebelumnya. Maka, karena ego dan ketidakpahaman, akhirnya, bangunan tersebut menjadi terhenti. Ada juga karena kepala daerah yang berganti, visi misi dan prioritas pembangunan berbeda. Hal ini juga salah satu pemicu kuat yang menyebabkan bangunan terbengkalai makin merajalela, termasuk kebijakan yang tanpa mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah.
Maka dari itu, Ombudsman Kalsel akan terus melakukan evaluasi dan monitoring serta memberikan catatan penting, khususnya pada poin partisipasi masyarakat. Hal ini sebagaimana makna dari UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan PP Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Hal ini penting agar pembangunan menjadi efektif, bukan malah jauh dari sisi kebermanfaatan publik.
Selain itu Ombudsman juga akan terus menagih upaya dan solusi konkret, baik dari kepala daerah yang merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah dan selaku pemegang kekuasaan atas pengelolaan barang, termasuk sekretaris daerah selaku pengelola barang.
Pejabat penyelenggara pelayanan publik tersebut wajib melakukan inventarisasi rutin terhadap aset dan bangunan di daerahnya. mengetahui data secara konkret terhadap aset daerah, baik dari sisi jumlah, nilai, status barang sampai kepada penggunaan oleh SKPD teknis, sehingga ada akuntabilitas dan pertanggungjawaban.
Dari sisi DPRD menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan secara maksimal. Untuk terlibat aktif mengawasi penyelenggaraan pemerintahan, dan mampu mengakomodasi anggaran terhadap aset dan bangunan publik yang menjadi prioritas pelayanan publik. Selain fungsi legislasi yang mendukung hal tersebut.
Terakhir, membangun kolaborasi dan koordinasi baik antarinstansi maupun antarkabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat. Agar persoalan bangunan terbengkalai yang diawali permasalahan hibah, kepemilikan lahan dan bangunan yang berbeda, serta persoalan sharing dana, agar bisa direncanakan dengan matang dan diesekusi dengan benar.
Semua itu dimaksudkan agar pengelolaan aset dan bangunan publik di daerah bisa transparan, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, dan berkeadilan serta bermanfaat. Jangan lagi lalai terhadap bangunan terbengkalai, karena sama saja "pemerintah hanya ingin berkuasa tanpa membuat rakyat sejahtera."
Muhammad Firhansyah, Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan