• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Krisis Pengelolaan Limbah Medis
PERWAKILAN: KALIMANTAN SELATAN • Rabu, 29/12/2021 •
 
Sopian Hadi, Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalsel

Ombudsman RI mencatat setidaknya ada 138 juta ton limbah medis yang tidak dikelola dengan baik. Timbulan limbah medis semakin meningkat, seiring adanya pandemi Covid-19. Dalam satu hari, limbah medis yang dihasilkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) bisa mencapai ratusan kilo. Banyak kasus, limbah medis dibuang di sembarang tempat. Ada yang dibuang di jalan, sungai, laut maupun tempat pembuangan sampah.

Limbah medis, limbah cair, dan limbah pada Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dihasilkan dari kegiatan Fasyankes seperti rumah sakit, puskesmas, klinik dan sejenisnya, jika tidak dikelola dengan baik, akan berdampak pada kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan hidup.

Limbah medis merupakan limbah yang berasal dari pelayanan medis yang menggunakan bahan-bahan yang beracun, infeksius, dan berbahaya. Sedangkan Limbah B3 Medis Padat merupakan barang atau bahan sisa hasil kegiatan yang tidak digunakan kembali yang berpotensi terkontaminasi oleh zat yang bersifat infeksius. Limbah medis B3 seperti masker bekas, sarung tangan bekas, perban bekas, plastik bekas minuman dan makanan, cotton bud swab, alat suntik bekas, set infus bekas, alat Pelindung Diri bekas, sisa makanan pasien dan lain-lain, yang dihasilkan dari kegiatan medis.

Pengelolaan limbah medis harus sesuai standar. Apalagi jika limbah tersebut merupakan hasil dari penanganan pasien Covid-19, maka jika tidak terkelola dengan hati-hati, akan berpotensi menjadi media penularan Covid-19. Oleh karena itu, mulai dari hulunya, sudah harus disiapkan perangkat aturannya. Kemudian hilirnya, proses pengelolaannya harus sesuai regulasi. Mulai dari tahapan pengurangan, pemilahan, pewadahan, penyimpangan, pengangkutan, pengolahan, penimbunan, hingga penguburan.

Dari sisi regulasi, masih banyak kabupaten/kota yang belum memiliki peraturan daerah tentang pengelolaan limbah medis. Sedangkan secara internal Fasyankes, masih ada yang belum memiliki SOP dalam mengelola limbah medis. Ada beberapa kasus di mana limbah medis Covid-19, seperti masker, dibuang ke sungai atau ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal limbah tersebut harus dimusnahkan dan dilakukan penguburan agar tidak menimbulkan permasalahan terhadap lingkungan maupun makhluk hidup. Beberapa rumah sakit yang memiliki alat insinerator, juga tidak mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup. Penggunaan insinerator tidak standar. Di sisi lain, rumitnya pengajuan izin insinerator cukup menyulitkan Fasyankes. Banyak tahapan dan dokumen yang harus dilengkapi. Melengkapi dokumen perizinan ini dibatasi waktu. Jika telah lewat, maka diulang dari awal. Biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Tranportasi untuk mengurus perizinan ke pusat memakan biaya yang besar, ditambah biaya operasional lainnya.

Begitu pula izin Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL), cukup banyak Fasyankes yang belum memilikinya, sehingga pengelolaannya tidak sesuai dengan kaidah lingkungan. Bahkan ada Fasyankes yang membuang limbah cair ke dalam septic tank. Namun, tidak sedikit Fasyankes yang sudah bagus dalam mengelola limbah cair, sehingga air limbah yang sudah dikelola tidak berbahaya dan bisa digunakan, semisal untuk menyiram tanaman.

Sulitnya memperoleh izin ini dikeluhkan rumah sakit. Bisa jadi memang standar alat yang digunakan rumah sakit tidak sesuai ketentuan, sehingga izin tidak dikeluarkan. Atau kemungkinan lainnya memang dipersulit. Mau tidak mau, Fasyankes melakukan kerja sama dengan perusahaan pengolah limbah medis. Kerja sama dengan pihak ketiga mengeluarkan dana yang cukup besar, sementara anggaran pengelolaan limbah terbatas. Fasyankes yang memilih jalan pintas akhirnya melakukan penyimpangan, membuang limbah medis/LB3 ke sembarang tempat.

Kerja sama dengan pihak ketiga menyebabkan rumah sakit tidak bisa melakukan pengawasan terhadap pengolahan limbah yang diserahkan kepada badan usaha. Fasyankes hanya bisa melakukan pemantauan melalui Aplikasi Pelaporan Kinerja Pengelolaan Limbah B3 (Siraja) yang dibuat oleh Kementerian LHK.

Agar limbah medis dan LB3 tidak banyak dihasilkan, maka dari hulunya adalah proses pengurangan. Dalam proses ini, tidak sedikit Fasyankes yang belum memiliki SOP. Selain itu, tidak ada upaya untuk mengurangi timbulan dari limbah medis/LB3. Fasyankes memiliki keterbatasan SDM yang berkompeten dalam mengelola limbah medis.

Dalam tahap pewadahan, banyak limbah medis dibuat dalam wadah yang tidak sesuai ketentuan. Misalnya, jarum suntik yang sudah dipakai tidak dimasukkan dalam safety box melainkan bak sampah biasa. Bahkan ada yang dibuang ke sungai atau ke laut, paling mudah ke tempat pembuangan sampah. Mestinya pewadahan dilakukan sesuai dengan jenis limbah yang dihasilkan. Pengemasan limbah medis juga tercampur dengan yang lain, seperti jarum suntik. Jika pengemasan dilakukan sesuai dengan jenisnya, maka akan memudahkan dalam proses pengangkutan hingga pemusnahan.

Selanjutnya tahap penyimpanan. Limbah medis yang sudah dipilah, kemudian dilakukan penyimpanan. Pada proses ini, banyak Fasyankes yang belum memiliki cold storage. Limbah infeksius hanya disimpan dalam tempat yang menggunakan pendingin ruangan, mestinya disimpan dengan suhu ruangan di bawah 0 derajat celcius. Jadwal pengangkutan yang dilakukan oleh pihak ketiga juga tidak menentu. Hanya satu atau dua kali dalam sebulan, dan terjadi penumpukan. Tidak bisa membayangkan, bagaimana limbah infeksius yang tidak diangkut dalam waktu berminggu-minggu. Pihak transporter beralasan, tidak adanya jadwal pengangkutan yang tetap disebabkan pemerintah daerah (pemda) sering terlambat membayar biaya pengangkutan dan pengolahan.

Dalam tahap pengolahan hingga penimbunan, Fasyankes yang tidak memiliki alat insinerator melakukan kerja sama dengan pihak ketiga. Di Kalimantan Selatan (Kalsel), tidak ada perusahaan pengolah dan penimbun. Selain itu, hanya ada 4 badan usaha pengangkut (transporter) yang berada di wilayah Kalsel. Limbah medis dikirim ke luar daerah (Bogor, Balikpapan, Surabaya). Sedangkan Fasyankes yang mengelola limbah medis dengan menggunakan insinerator dan sterilwave, masih ada yang belum memiliki izin.

Di Kalsel, pengelolaan limbah medis membutuhkan biaya yang besar dan masih mengalami keterbatasan SDM di Fasyankes yang paham mengenai penanganan limbah medis atau LB3. Pengolahan limbah medis perlu mendapat perhatian dari pemda karena terbatasnya jumlah pengelola limbah medis, sedangkan timbulan limbah medis yang dihasilkan lebih banyak.

Untuk itu, diperlukan upaya-upaya terpadu dari berbagai pihak. Pertama, pemda membuat payung hukum di level provinsi, kabupaten dan kota mengenai pengelolaan limbah medis. Kedua, mengupayakan terbentuknya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang khusus mengelola limbah medis. Ketiga, membuat landfill untuk limbah B3, sehingga dapat mengurangi biaya pengolahan limbah medis karena tidak perlu lagi membuang ke luar Pulau Kalimantan. Di Kalsel, cukup banyak bekas galian tambang yang mungkin bisa jadi alternatif untuk menimbun abu dari residu pembakaran sepanjang telah dilakukan kajian terlebih dahulu.

Keempat, pemda mengalokasikan anggaran pengelolaan limbah medis yang cukup untuk Fasyankes, seperti pengadaan alat pengolah limbah medis, cold storage dan IPAL. Selain itu, menambah jumlah SDM yang mempunyai latar pendidikan kesehatan lingkungan serta meningkatkan kapasitas dan kompetensi SDM yang ada dalam mengelola limbah medis di Fasyankes. Dinas Lingkungan Hidup juga harus memaksimalkan fungsi pengawasan terhadap TPS dan IPAL yang tidak berizin. Proses monitoring dari Kementerian terkait perlu berkoordinasi dengan pemda, khususnya Dinas Lingkungan Hidup. Kelima, proses perizinan alat pengolah limbah medis agar didelegasikan ke pemda. Proses perizinan yang sentralistik menghambat Fasyankes dalam memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Limbah medis maupun LB3 tidak hanya dihasilkan oleh Fasyankes. Rumah tangga pun bisa menghasilkan limbah medis. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran, termasuk jangan membuang masker sembarangan.


Sopian Hadi, S.H., M.H.

Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalsel


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...