Kotak Pemberian Treatment Pada Pelayanan Kesehatan
Kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia dan merupakan modal individu untuk meneruskan kehidupannya. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menjamin setiap warga Negara mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhannya. Dikarenakan kondisi kemampuan sumber daya Pemerintah Daerah berbeda beda setiap wilayahnya, maka perlu diterapkan standar pelayanan minimal di bidang kesehatan untuk memastikan ketersediaan layanan bagi warga negara Indonesia. Standar pelayanan minimal di bidang kesehatan adalah ketentuan jenis dan mutu pelayanan dasar yang berhak didapatkan oleh warga Negara dan termasuk dalam urusan pemerintahan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang standar teknis pemenuhan mutu pelayanan dasar pada standar pelayanan minimal bidang Kesehatan, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menerapkan standar pelayanan minimal kesehatan. Jenis pelayanan kesehatan daerah kabupaten/kota meliputi: pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bayi baru lahir, balita, pelayanan kesehatan pada usia pendidikan dasar, pelayanan kesehatan usia produktif, pelayanan kesehatan usia lanjut, pelayanan kesehatan penderita hipertensi, pelayanan kesehatan penderita diabetes mellitus, pelayanan kesehatan jiwa ODGJ berat, Pelayanan kesehatan orang terduga tuberculosis dan pelayanan kesehatan orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan daya tahan tubuh manusia (Human Immunodeficiency Virus).
Selanjutnya, dalam pasal 4 dijelaskan bahwa capaian kinerja Pemerintah Daerah dalam pemenuhan mutu pelayanan setiap jenis pelayanan dasar pada SPM Kesehatan harus 100%. Penerapan standar pelayanan bidang kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena sifat saling melengkapi dan sinergisme. Penerapan standar pelayanan bidang kesehatan berfokus pada pelayanan promotif dan preventif, sementara program Jaminan Kesehatan Nasional berfokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif.
Menurut BPJS Watch, mencatat sebanyak 109 kasus diskriminasi yang dialami oleh pasien BPJS sepanjang tahun 2022 terkait re-admisi, pemberian obat dan kepesertaan yang di nonaktifkan. Tindakan diskriminasi bermula dikarenakan tarif Inasibijis atau Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) di rumah sakit dan kapasitas puskesmas sangat rendah serta tidak ada kenaikan sejak 2016 hingga 2022. Dilingkup Puskesmas diskriminasi yang biasa dilaporkan pasien kepada lembaga, terkait pemberian obat yang tidak sesuai dengan jatah setiap pasien sehingga harus membeli kekurangan obat dengan biaya sendiri. Sedangkan dilingkup Rumah Sakit, kasus yang banyak diadukan kepada lembaga terkait dengan re-admisi yang berkaitan dengan perawatan pasien yang belum sembuh total namun harus kembali ke rumah dikarenakan masa perawatan atau jatah rumah sakit sudah habis. Kecurangan yang biasa terjadi terhadap pasien BPJS dilakukan untuk mengakali pembengkakan keuangan. Perlakuan diskriminasi lainnya terkait antrean pasien BPJS ke poli umum hingga berjam-jam sering terjadi.
Sedangkan, data temuan dari Ombudsman RI mencatat 700 pengaduan sepanjang tahun 2021-2022 dengan kasus mayoritas penolakan pasien BPJS Kesehatan di rumah sakit dengan alasan kuota terbatas. Berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan pihak rumah sakit terkait kuota terbatas cukup melanggar aturan. Kendati demikian, diskriminasi terhadap pasien BPJS masih sering terjadi hingga saat ini. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi kasus diskriminasi yaitu dengan membuka dan mengubungi nomor pengaduan BPJS agar segera ditindak lanjuti dan mandapatkan efek jera.
Tenaga kesehatan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat sehingga dapat terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab dan memiliki etik dan moral yang tinggi. Kewenangan dan keahlian harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, serta pembinaan, pengawasan dan pemantauan.
Hal ini diupayakan agar penyelenggaraan kesehatan memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Selanjutnya, Pasal 59 menjelaskan bahwa tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama pada pasien yang gawat darurat ataupun pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Kewajiban tenaga kesehatan terdapat pada pasal 58 Undang-Undang No 36 Tahun 2014 tentang tenaga Kesehatan yaitu: memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan penerima pelayanan Kesehatan, memperoleh persetujuan dari penerima pelayanan kesehatan atau keluarganya atas tindakan yang diberikan (hanya berlaku pada pelayanan kesehatan perorangan), menjaga kerahasian kesehatan penerima pelayanan kesehatan, membuat dan menyimpan catatan dan atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan dan tindakan yang dilakukan (hanya berlaku pada pelayanan kesehatan perorangan), dan merujuk penerima pelayanan kesehatan ke tenaga kesehatan lain yang mempunya kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
Salah satu bentuk peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan oleh Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan dengan menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan dan RSUD Ulin Banjarmasin, meliputi percepatan penanganan dan penyelesaian laporan masyarakat, pencegahan maladministrasi, pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah provinsi Kalimantan Selatan, Pertukaran informasi/data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, peningkatan dan pengembangan kompetensi sumber daya manusia terkait peningkatan kualitas layanan publik, pendampingan secara berkala dalam peningkatan kualitas layanan publik, dan hal-hal lain berdasarkan kesepahaman.
Kiranya dalam peningkatan kualitas pelayanan publik di bidang Kesehatan, tenaga Kesehatan sebagai pelaksana penyelenggara pelayanan publik dan instansi Kesehatan baik dari tingkat kementrian sampai tingkat desa juga pengawasan internail baik IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Lembaga pengawas pelayanan publik yaitu Ombudsman RI serta masyarakat sebagai pengguna layanan dapat bekerja sama guna pelayanan Kesehatan yang lebih baik dan dapat dirasakan setiap lapisan masyarakat.