Komplain Layanan Obat JKN di NTT
Oleh: Darius Beda Daton (Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTT)
Tanpa terasa, tahun ini pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memasuki tahun ke-10. Selama 10 tahun berjalan, program ini tentu memberikan banyak manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat NTT. Hingga akhir Desember 2023, jumlah peserta JKN tercatat sebanyak 267.311.566 orang. Jumlah ini termasuk pekerja asing yang sudah bekerja minimal 6 bulan di Indonesia. Total pemanfaatan pada tahun 2023 baik layanan sakit maupun sehat sebanyak 606.65 juta layanan atau 1.66 juta layanan per hari. Total beban jaminan selama 10 tahun tersebut adalah sebesar Rp 912.4 triliun. Pembiayaan penyakit katastropik terus meningkat tahun 2023 sebanyak 44.4 % dengan total pembiayaan sebesar Rp 34.75 triliun. 50.07 % diantaranya untuk penyakit jantung. Program JKN telah mencatatkan aset bersih akhir tahun 2023 mencapai Rp 57.75 triliun. (Timboel Siregar: Kompas 30/1).
Substansi Komplain
Meski demikian, komplain layanan JKN tidak pernah berhenti. Beberapa substansi keluhan layanan JKN secara nasional antara lain; penonaktifan Peserta Bantuan Iuran (PBI) APBN/APBD secara sepihak, peserta mandiri yang menunggak iuran dan denda jika berobat ke fasilitas kesehatan, ketersediaan obat serta fraud di fasilitas kesehatan. Tulisan ini akan mengulas substansi komplain khusus ketersediaan obat JKN pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) atau rumah sakit di NTT. Selama tahun 2023, saya telah mengunjungi dan berbincang-bincang secara langsung dengan para pasien di loket pendaftaran pasien dan apotik rumah sakit, petugas apotik serta manajemen rumah sakit milik pemerintah daerah di berbagai daerah antara lain; RSUD Kota Kupang, RSUD Oelamasi, RSUD Rote Ndao, RSUD Sabu Raijua, RSUD Soe, RSUD Kefamenanu, RSUD Atambua, RSUD Lewoleba, RSUD Larantuka, RSUD Bajawa, RSUD Ruteng dan RSUD Waikabubak.
Dalam berbagai interaksi langsung tersebut saya memperoleh informasi dan komplain sebagai berikut, pertama; tidak tersedia atau kekosongan jenis obat tertentu bagi pasien peserta program JKN di apotek RSUD sehingga pasien dan keluarganya diminta untuk membeli obat dengan biaya sendiri di luar apotek rumah sakit. Kedua; RSUD belum bekerja sama dengan apotek jejaring/penyangga di luar apotek rumah sakit guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu jenis obat tertentu tidak tersedia di apotek rumah sakit. Ketiga; RSUD belum menyiapkan tata cara dan mekanisme pengembalian uang peserta Program JKN yang membeli obat pada apotek atau fasilitas kesehatan di luar rumah sakit dengan biaya sendiri. Keempat; RSUD yang berstatus non Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) mengalami hambatan dalam fleksibilitas dan efektifitas pengadaan obat. (RSUD Rote Ndao, RSUD Flores Timur dan RSUD Sabu Raijua). Yang sering terjadi, anggaran pengadaan obat yang ditetapkan Pemerintah Daerah tidak sesuai dengan Rencana Kebutuhan Obat di RSUD selama 1 tahun sehingga berpotensi menimbulkan kekosongan stok obat tertentu. Kelima; RSUD tetap melayani pasien tanpa jaminan Program JKN atau hanya menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa/kelurahan dengan biaya operasional rumah sakit karena Pemerintah Daerah tidak menyediakan alokasi anggaran khusus untuk pasien tidak mampu berupa dana talangan atau dana pengaman bagi warga tidak mampu sebagai belanja bantuan sosial atau pos belanja lain fungsi kesehatan pada APBD. Keenam; bagi RSUD yang berada di kabupaten-kabupaten yang belum menandatangani kesepakatanUniversal Healt Coverage (UHC) bersama BPJS Kesehatan, terkadang terjadi penolakan pasien non JKN karena tidak ada jaminan apapun.
Rumah sakit menjadi dilematis antara terus melayani atau tidak sebab jika terus melayani pasien non JKN dalam jumlah banyak berpotensi menjadi temuan pengawasan karena merugikan rumah sakit. Data BPJS Kesehatan awal tahun 2024 menunjukan, 18 kabupaten di NTT telah menandatangani kesepakatanUniversal Healt Coverage (UHC) dengan BPJS Kesehatan. Dari data ini, Kota Kupang, Kabupaten Ende dan Kabupaten Rote Ndao belum mencapai UHC. Hemat kami, komitmen Pemerintah Daerah mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat terlihat dari tercapainya predikat Universal Health Coverage (UHC)di daerahnya.
Wajib Menyiapkan Obat JKN
Berbagai regulasi berikut ini mewajibkan rumah sakit untuk menyiapkan obat JKN di apotik rumah sakit. Pasien tidak seharusnya mencari dan membeli obat dengan biaya sendiri. Pertama; Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN bahwa setiap peserta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Pelayanan obat, Alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai pada Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan merupakan salah satu komponen yang dibayarkan dalam paketIndonesian Case Based Groups (INA-CBG's). Kedua; Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program JKN Bab IV Pelayanan Kesehatan huruf D angka 2 bahwa pembayaran klaim ke rumah sakit dilakukan dengan sistem paket yaitu biaya ruangan, biaya obat, jasa dokter dan lain-lain sehingga menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyiapkan semua jenis obat sesuai formularium nasional. Apabila dengan alasan indikasi medis dokter meresepkan obat yang belum tercantum dalam formularium nasional, maka hal ini hanya dimungkinkan setelah mendapat rekomendasi dari Ketua Komite Farmasi dan Terapi dengan persetujuan Komite Medik atau Kepala/Direktur Rumah Sakit yang biayanya sudah termasuk dalam tarif INA CBGs dan tidak boleh dibebankan kepada peserta. Ketiga; Peraturan Presiden Nomor: 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terkait manfaat jaminan kesehatan ditegaskan bahwa Fasilitas Kesehatan wajib menjamin peserta mendapatkan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang dibutuhkan sesuai dengan indikasi medis.
Khusus pelayanan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan fasilitas kesehatan bertanggung jawab atas ketersediaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan sesuai kewenangannya. Dalam hal terjadi permasalahan pengadaan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dapat berpotensi terjadinya kekosongan obat maka pemerintah pusat, pemerintah daerah atau fasilitas kesehatan melakukan upaya penyelesaian sesuai dengan permasalahan dan kewenangan. Fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dilarang menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta selama peserta mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan sesuai haknya.
Saran Perbaikan
Untuk itu kami memandang perlu menyampaikan beberapa saran perbaikan yang mesti dilakukan rumah sakit dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan obat JKN antara lain, pertama: agar semua rumah sakit bekerja sama dengan apotik jejaring/apotik penyangga di luar apotik rumah sakit guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu jenis obat tertentu tidak tersedia di apotik rumah sakit karena alasan-alasan tertentu. Hal ini telah diatur pula dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) BPJS Kesehatan dan rumah sakit pada point pelayanan obat rumah sakit selaku pihak kedua yang menegaskan bahwa penyediaan obat yang termasuk dalam paket INA-CBG dilakukan oleh instalasi farmasi rumah sakit selaku pihak kedua atau apotik jejaring. Kedua; bilamana mengalami kendala ketersediaan obat sebagaimana yang tercantum pada e-katalog maka dapat menghubungi Direktorat Bina Obat Publik dengan alamat email: e_katalog@kemkes.go.id atau 081281753081 dan (021)5214872. Ketiga; guna mencegah kecurangan (Fraud) dalam pelaksanaan program JKN khusus ketersediaan obat sebagaimana Pasal 92 Peraturan Presiden Nomor: 82 tahun 2018 tentang jaminan Kesehatan, RSUD agar menetapkan Tata Cara Pengembalian Uang peserta JKN yang membeli obat pada apotek atau fasilitas kesehatan di luar rumah sakit. Dalam hal tidak tersedia obat formularium nasional dan bahan medis habis pakai dan peserta Jaminan Kesehatan Nasional membeli pada fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan maka wajib diberikan kompensasi oleh penyelenggara pelayanan kesehatan dalam bentuk penggantian uang tunai.