• ,
  • - +

Artikel

Komite Sekolah Dan Problematikanya
• Senin, 10/06/2024 •
 
Sopian Hadi - Asisten Pemeriksaan Laporan Perwakilan Ombudsman RI Kalsel

Hampir setiap tahun, laporan tentang pungutan liar oleh komite sekolah kerap dilaporkan ke Ombudsman RI. Mulai dari komite sekolah dasar, menengah pertama hingga sekolah Menengah Atas atau SMKN. Merujuk ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022, Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Masyarakat dalam hal ini adalah peserta didik, orang tua atau wali peserta didik serta pihak lain selain yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Sumber pendanaan pendidikan yang berasal dari pungutan, hanya boleh dilakukan oleh sekolah. Namun, tentunya harus memperhatikan rambu-rambu yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain pungutan harus didasarkan pada perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Perencanaan diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan, dana yang diperoleh disimpan dalam rekening atas nama satuan pendidikan, tidak dipungut dari peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomi, menerapkan sistem subsidi silang, diaudit oleh akuntan publik apabila jumlahnya melebihi ketentuan, dipertanggungjawabkan secara transparan kepada publik.

Pungutan Pendidikan adalah penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orangtua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan. Selain pihak sekolah, maka tidak boleh ada pihak lain yang melakukan pungutan. Pihak lain hanya boleh melakukan sumbangan. Namun dalam tataran praktik, ada saja pihak yang melakukan pungutan tidak sesuai dengan ketentuan, termasuk dalam hal ini yang dilakukan oleh komite sekolah.

Bentuk partisipasi pendanaan pendidikan dari masyarakat bisa dilakukan melalui komite sekolah, dalam bentuk sumbangan pendidikan. Dalam kenyataan di lapangan, komite sekolah cenderung salah dalam mengartikan partisipasi pendidikan tersebut. Partisipasi pendidikan yang dikehendaki oleh aturan adalah bentuknya sumbangan, bukan pungutan. Berkaca dari laporan masyarakat yang disampaikan ke Ombudsman RI, praktik pungutan kepada peserta didik yang dilakukan komite sekolah, marak terjadi. Tentunya, praktik demikian, tidak seperti yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang, karena sumbangan pendidikan merupakan pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orangtua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan. Frasa "pemberian" dapat dimaknai bahwa inisiatif untuk melakukan sumbangan adalah dari si pemberi.

Pasal 12 huruf b Permendikbud 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, dengan tegas melarang komite sekolah, baik secara kolektif atau persorangan melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Kenapa selama ini komite sekolah dikatakan melakukan pungutan, karena berdasakan keluhan orang tua siswa, komite sekolah menentukan jumlah dan waktu pembayarannya. Esensi dari sumbangan adalah pemberian secara sukarela.

Ada mekanisme pengumpulan sumbangan yang keliru yang dimaknai oleh komite sekolah. Dalih-dalihnya sumbangan, tapi isinya pungutan. Walaupun sebenarnya sudah dilakukan pembahasan dengan orang tua atau wali peserta didik. Tetap saja, bentuknya pungutan, karena ada penetapan jumlah yang harus "disumbangkan" ke komite sekolah.

Kita sangat menyadari, tentunya sumbangan dari peserta didik atau masyarakat sangat dibutuhkan oleh sekolah. Ada biaya-biaya yang bisa yang tidak cukup dicover oleh dana BOS atau BOSDA. Oleh karena itu, partispasi masyarkat dalam bentuk sumbangan sangat diperlukan untuk menutupi kekurangan biaya yang dikeluarkan oleh sekolah. Misalnya menggaji guru honorer, pengembangan sarana prasara pendidikan, program peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan, biaya mengikuti berbagai lomba dari peserta didik, pembiayaan kegiatan operasional yang mendesak dan biaya lain-lainnya.

Namun demikian, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh komite sekolah dalam melakukan penggalangan dana pendidikan, antara lain membuat proposal diketahui oleh sekolah, dibuat rekening  bersama antara sekolah dan komite sekolah untuk menampung hasil penggalangan dana, penggalangan dana tidak boleh bersumber dari perusahaan rokok dan minuman beralkohol maupun dari partai politik, serta menyampaikan laporan penggalangan dana kepada orang tua/wali peserta didik secara berkala.

Komite sekolah dituntut inovatif dan kreatif dalam melakukan pengumpulan sumbangan. Misalnya mengajukan proposal kepada perusahaan atau alumni di sekolah itu. Mengadakan event-event atau bazar amal di sekolah, mengadakan lomba-lomba, sehingga lebih mudah menggalang dana dari pihak sponsor. Upayaupaya kreatif inilah yang dibutuhkan oleh komite sekolah.

Penggalangan dana sumbangan oleh komite sekolah, selama ini hanya berputar pada peserta didik saja. Apalagi ada keluhan, komite sekolah membebankan pungutan kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi serta peserta didik tersebut penerima bantuan Program Indonesia Pintar.

Padahal, seperti yang disampaikan di atas, Permendikbud membuka peluang komite sekolah untuk mengumpulkan sumbangan dari pihak-pihak manapun, termasuk perusahaan sepanjang dia bukan perusahaan rokok atau minuman beralkohol.

Jika merujuk Permendikbud 75 tahun 2016, komite sekolah itu kedudukannya di atas sekolah. Karena komite sekolah bertugas mengawasi pelayanan publik yang ada di sekolah. Komite sekolah juga bertugas untuk menerima dan menindaklanjuti keluhan-keluhan dari peserta didik, kemudian menyampaikannya kepada pihak sekolah. Pendeknya, komite sekolah mengawasi kinerja sekolah. Karena merupakan reprentasi dari peserta didik dan masyarakat.

Praktik yang terjadi selama ini, komite sekolah terkesan sebagai perpanjangan tangan dari sekolah untuk melakukan penggalangan dana. Kepala Sekolah berlomba untuk meninggalkan legacy, misalnya dengan melakukan pembangunan fisik. Memang, ada kebanggaan tersendiri bagi kepala sekolah, ketika melakukan sarana pembangunan di sekolah, harapannya bisa dikenang oleh generasi-generasi berikutnya.

Padahal pembangunan fisik itu tugasnya pemerintah. Ajukan usulan kepada Dinas Pendidikan, jika ingin melakukan pembangunan fisik. Namun, yang terjadi dalam praktik, dibebankan kepada peserta didik melalui komite sekolah. Bahkan ada sekolah, yang dalam rencana kerja dan anggaran sekolah (RKAS), menganggarkan kegiatan hingga mencapai ratusan juta dalam satu tahun anggaran. Dalam laporan masyarakat yang disampaikan ke Ombudsman RI, ada sekolah dalam RKAS-nya, menganggarkan program kegiatan 800 sampai 900 juta per tahun. Kemudian kekurangan anggaran tadi, dibagi dengan jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut. Sehingga dapatlah angka kisaran pungutan persiswanya, yang kemudian dibebankan kepada peserta didik setiap bulannya selama satu tahun.

Sekolah selalu berdalih bahwa tidak mengetahui perihal adanya pungutan yang dilakkukan oleh komite sekolah. Tidak jarang ditemui, dalam surat edaran pungutan yang dilakukan oleh komite sekolah, kepala sekolah turut tanda tangan dalam surat edaran pengumpulan dana dimaksud. Semestinya, pihak sekolah sebagai representasi dari pemerintah, melakukan pembinaan kepada komite sekolah, agar dalam melakukan penggalangan dana komite sekolah tadi tidak mengarah pungutan, namun bentuknya adalah sumbangan sukarela.

Untuk mengatasi problematika penggalangan dana yang dilakukan oleh komite sekolah, maka penting agar kepala daerah melakukan pembinaan terhadap komite sekolah sesuai dengan kewenangannnya. Pembinaan ini, setidaknya dilakukan secara berkala, paling tidak satu tahun sekali. Selain itu, optimalisasi peran dari Dewan Pendidikan, Camat dan Lurah/Kepala Desa sebagai pembidang komite sekolah. Sangat jarang kita dengar peran dari pihak yang disebutkan terakhir tadi, melakukan pembinaan terhadap komite sekolah. Komite sekolah seolah-olah berjalan sendiri, tidak ada yang menuntunnya. Konsultasi dan koordinasi dari komite sekolah sangat diperlukan oleh komite sekolah, agar dalam melakukan penggalangan dana tidak mengarah pada pungutan yang pada akhirnya merugikan peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi. Jangan sampai komite sekolah salah dalam melakukan niat baiknya untuk membantu dunia pendidikan, namun caranya keliru.

 Oleh : Sopian Hadi - Asisten Pemeriksaan Laporan Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan

 





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...