• ,
  • - +

Artikel

Jalan Berliku Pelayanan Publik Disabilitas
• Selasa, 25/07/2023 •
 
Asisten Ombudsman RI Provinsi Kalsel, Maulana Achmadi

Pernah puluhan penyandang disabilitas netra yang tergabung dalam oganisasi Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) di salah satu daerah, berkeluh kesah kepada Perwakilan Ombudsman RI Kalsel tentang berbagai permasalahan mereka dalam mengakses pelayanan publik. Salah satu yang menjadi keluhan mereka adalah kesulitan mereka ketika mencoba mengurus dokumen pernikahan atau buku nikah. Selain berbagai persyaratan yang cukup banyak, prosesnya juga perlu diurus ke beberapa pihak, semua itu ditambahkan dengan kondisi mereka sebagai penyandang disabilitas, membuat buku nikah seolah sangat rumit dan nyaris mustahil bisa mereka dapatkan.

 

Hampir seluruh anggota Pertuni yang ada di daerah tersebut tidak memiliki buku nikah sebagai dokumen resmi pernikahan. Mayoritas pernikahan mereka dilakukan secara siri, belum tercatat resmi. Belum lagi karena keterbatasan lingkungan pergaulan mereka yang hanya mampu bergaul dengan rekan-rekannya sesama tunanetra. Bahkan tidak jarang diantara mereka juga mengalami pengucilan dari pihak keluarga. Itulah sebabnya mereka lebih memilih menikah dengan cara yang paling memungkinkan mereka lakukan, yakni secarasiri, yang penting pernikahan mereka sah secara agama.

 

Sebagai penyandang disabilitas netra, selama ini mereka berfikir mengurus administrasi pernikahan mereka tidak terlalu penting, sehingga cukup dengan pernikahan secara siri atau secara agama saja. Apalagi dengan keterbatasan kondisi mereka, semakin membuat mereka enggan mengurus dokumen pernikahan secara resmi.

 

Bayangkan saja, kelengkapan berkas yang diurus setidaknya mulai dari Salinan KTP suami/istri, wali, dan dua orang saksi, Kartu keluarga, akta kelahiran, ijazah, pas foto dari kedua calon suami/istri, surat pernyataan/keterangan nikah siri. Seluruh berkas tersebut diajukan ke kelurahan untuk dibuatkan surat pengantar ke Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Selanjutnya KUA akan melakukan verifikasi berkas tersebut, jika sudah lengkap, maka KUA akan membuatkan surat keterangan pernikahan belum tercatat.

 

Apakah cukup sampai disitu? Ternyata tidak. Pernikahan siri yang belum tercatat tadi ternyata harus dilakukan sidang Isbat oleh Pengadilan Agama setempat, agar nantinya diperoleh putusan apakah pernikahannya diterima atau ditolak. Jika diterima, selanjutnya putusan tersebut dapat digunakan untuk melanjutkan proses pengurusan buku nikah di KUA. Selanjutnya dapat mengajukan perubahan status pernikahan pada kartu keluarga ke Disdukcapil setempat.

 

Melihat panjangnya proses tersebut, bagi kita yang bukan disabilitas saja rasanya cukup rumit dan merepotkan, apalagi bagi saudara-saudari kita penyandang disabilitas netra. Mereka selain harus mencari dokumen-dokumen yang dipersyaratkan tanpa bisa melihat, juga mengalami kesulitan dalam mengakses rangkaian layanan tersebut.

 

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa asas pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas antara lain: aksesibilitas, tanpa diskriminasi, inklusif; perlakuan khusus dan perlindungan lebih. Selanjutnya di Pasal 19 Undang-Undang yang sama, mengatur bahwa Hak Pelayanan Publik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak untuk   memperoleh Akomodasi yang Layak dalam Pelayanan Publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa Diskriminasi; dan hak mendapatkan pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya.

 

Pada kenyataannya, berdasarkan fakta yang terjadi pada keluhan penyandang disabilitas netra di atas, asas-asas dan hak pelayanan publik untuk penyandang disabilitas tersebut belum terimplementasi dengan baik. Penyandang disabilitas memang tidak secara langsung mengalami diskriminasi, tetapi ketika mereka tidak memiliki cukup pengetahuan tentang prosedur pengurusan suatu layanan, dan tidak memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan pelayanan tersebut, maka praktis asas aksesibilitas, tanpa diskriminasi, inklusif dan perlindungan lebih menjadi tidak terpenuhi. Perlakuan khusus pun baru akan mereka dapatkan jika bertemu dengan petugas layanan yang paham akan kewajiban penyelenggara memberikan pelayanan khusus bagi mereka.

 

Setelah selama hampir dua bulan mendapatkan pendampingan dari Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan, mereka berhasil mendapatkan buku nikah. Dengan pendampingan tersebut, akhirnya terbuka jalur komunikasi dengan beberapa instansi penyelenggara pelayanan publik, yang dapat memudahkan penyandang disabilitas netra mengakses layanan jika selanjutnya kembali memerlukan akses layanan tersebut. Ada yang berupa layanan prioritas saat mereka datang langsung ke kantor penyelenggara layanan, ada pula layanan jemput bola dari instansi yang datang langsung ke perumahan mereka.

 

Cerita permasalahan yang dihadapi puluhan penyandang disabilitas di atas hanyalah potret kecil dari permukaan gunung es permasalahan pelayanan publik bagi penyandang disabilitas. Faktanya di luar sana masih banyak di antara mereka yang belum memiliki berbagai dokumen administratif, bahkan beberapa diantaranya belum pernah terjamah bantuan sosial. Hal ini karena sebagian diantara mereka masih ada yang belum punya KTP, atau mereka sudah mempunyai KTP, tetapi walaupun sudah pindah domisili, mereka belum mengurus administrasi perpindahan domisilinya, sehingga alamat yang tertera pada KTP mereka masih alamat yang lama, sehingga saat dilakukan pendataan untuk diberikan bantuan sosial, mereka tidak terdata.

 

Peningkatan kepekaan dan perhatian penyelenggara layanan terhadap disabilitas harus terus ditingkatkan. Tidak hanya sarana dan prasarananya yang harus mudah diakses oleh penyandang disabilitas, tetapi juga kualitas Sumber Daya Manusia atau petugas pemberi layanan juga harus ditingkatkan kompetensi dan pemahamannya terhadap kewajiban pemenuhan hak bagi disabilitas. Hal tersebut perlu dilakukan, agar sebutan Kota atau Kabupaten Inklusif tidak hanya sekedar formalitas belaka, tetapi benar-benar dapat dirasakan manfaatnya bagi penyandang disabilitas.

 

 

Penulis

Asisten Ombudsman RI Provinsi Kalsel, Maulana Achmadi





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...