Ironi Korupsi Di Perguruan Tinggi
Sungguh ironi dan miris ketika menyaksikan "ketidakbersihan"
kehidupan Perguruan Tinggi di Indonesia. Bagaimana tidak, Perguruan Tinggi
seharusnya mencetak generasi yang memiliki Integritas dan nilai-nilai luhur
serta mencerminkan orang-orang yang berfikiran kritis dan cerdas, malah
menciptakan segerombol kasus korupsi yang mencoreng nama baik Universitas
terpandang negeri ini dengan melibatkan oknum "Tikus" tidak
bertanggung jawab, menyalahgunakan kekuasaan yang bersembunyi dibalik gelar
Doktor dan Profesor, mereka berkamuflase bak pemimpin bijaksana dan tegas serta
lugas namun memiliki sifat kerakusan dengan cara menggerogoti ekonomi
masyarakat, berdalih demi kepentingan bersama namun meraup untung yang dinikmati
sendiri. Korupsi secara garis besar memiliki arti merusak atau menghancurkan,
juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran dan penyimpangan
dari kesucian. Menurut perspektif hukum, difinisi korupsi secara gamblang telah
dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun
2001, berdasarkan pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai
perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAN) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, ada berbagai akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi. Antara lain merusak harga pasar, dan persaingan usaha yang ketat, meruntuhkan hukum, penurunan kualitas hidup dalam membangun berkelanjutan, merusak proses demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan kejahatan lain berkembang. Korupsi kini tak hanya dilakukan oleh politisi, kepala daerah, birokrasi dan pihak swasta, tetapi korupsi juga bersarang dan tumbuh dalam perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi terjadi disemua lembaga dan profesi, Korupsi bak penyakit menular yang menggerogoti hati nurani manusia seperti tidak ada penawar yang mampu menyembuhkannya. Sedangkan menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan negara merugi Rp 1,6 Triliun dari korupsi disektor pendidikan sepanjang 2016 hingga 2021, terdapat 240 kasus korupsi pendidikan yang ditindak Aparat Penegak Hukum dalam waktu enam tahun terakhir. Kebanyakan para "Tikus" ini memanfaatkan masyarakat yang ingin mendaftar di Perguruan Tinggi melalui jalur mandiri, dugaan patokan harga sekitar Rp. 100-350 juta untuk meloloskan mahasiswa masuk ke Kampusnya. Penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UUPT). Tujuannya agar PTN memiliki jalur alternatif selain SNMPTN dan SBMPTN untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa tiap institusi. Jalur mandiri ini dilaksanakan secara transparan. Namun, UU PT memberi ruang bagi PTN untuk mengatur seleksinya sesuai kepentingan pribadi institusi sehingga bisa memiliki subjektivitas tinggi dan kerap mengabaikan kriteria kompetensi.
Subjektifitas dapat dilihat dari kasus suap Universitas Negeri Lampung (UNILA) yang terjadi pada September 2022 lalu melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK yang melibatkan Rektor UNILA periode 2020-2024 serta 7 orang lainnya, ia memerintahkan bawahannya untuk menyeleksi calon mahasiswa baru secara personal, salah satunya dengan menimbang gaji dan kesanggupan orang tua mereka untuk membayarkan sejumlah uang. Ditambah dengan kuota yang terbatas dan peminat yang membludak, penerimaan mahasiswa pada jalur ini seringkali berdasarkan favoritisme, kekerabatan dan potensi pundipundi uang keluarga pada mahasiswa. Ia mengantongi total dana suap hingga Rp 5 miliar, semua uang tersebut telah dialih bentuk menjadi tabungan deposito dan emas batangan. Pada tahap ini sejatinya pintu korupsi mulai terbuka, melalui maladministrasi penyimpangan prosedur serta permintaan imbalan uang dan jasa. Secara garis besar Maladministrasi merupakan prilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam proses administrasi pelayanan publik. Maladminstrasi dikategorikan dalam beberapa aspek seperti penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan dan lainnya, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Sebagai penyelenggara layanan pendidikan sudah seharusnya Perguruan Tinggi Negeri memberikan pelayanan publik yang berasaskan kepada kepentingan umum, memiliki kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan antara hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, keterbukaan atau transparan dari segi administratif, akuntabilitas, memberikan fasilitas dan perlakuan khusus bagi penyandang disabilitas dan kaum rentan, disiplin dan kecepatan, kemudahan, serta keterjangkauan. Semua aspek tersebut haruslah dijunjung tinggi oleh penyelenggara pelayanan publik sektor pendidikan.
Maraknya aksi "Tikus" intelektual dibalik kasus korupsi penerimaan mahasiswa baru PTN, salah satunya akibat perguruan tinggi di Indonesia yang kini makin neoliberal atau paham yang menekankan pada tuntutan pasar untuk menjadi "Kampus Kelas Dunia". Orientasi pendidikan yang hanya terfokus untuk mendapatkan pekerjaan memiliki andil dalam pelanggengan praktik korupsi. Perguruan tinggi juga tersandera oleh budaya pemeringkatan global yang mendorong mereka pada praktik perlombaan kosong untuk seakan-akan menaikan daya saing.
Korupsi tumbuh dalam kegelapan dan kerahasiaan, modus korupsi dibeberapa jajaran Universitas merupakan fenomena gunung es di Indonesia. Hal ini tidak akan bisa berhenti hanya dengan menangkap satu atau dua individu atau hanya kasus per kasus. Jika ingin memberantas kasus korupsi maka pemerintah harus menguras sampai keakar dari kasus korupsi ini. Dalam hal ini penulis sangat mengapresiasi KPK yang terus mengamati dan mencari model bagaimana mencegah bertambahnya perkara korupsi di Indonesia, beberapa aplikasi diluncurkan untuk masyarakat dan pemerintah guna mendorong partisipasi, akuntabilitas, respon dan transparansi dari pemerintah dan masyarakat melalui situs resmi platfom JAGA dan portal informasi publik mengenai Pencegahan Korupsi.
Penanganan hukum kasus korupsi di Indonesia mampu mengajak kalangan birokrasi perguruan tinggi untuk beradaptasi terhadap nilai-nilai dan semangat antikorupsi, mendorong jajaran pemerintah untuk bekerja dalam azas transparansi dan akuntabilitas berdasarkan prinsip-prinsip dunia pendidikan yang bersih dan tatakelola yang baik, tunjangan kinerja yang memadai dalam skema yang telah disarankan oleh KPK. Sebagai kejahatan luar biasa, pencegahan korupsi sudah seharusnya ditanamkan sejak anak usia dini, seperti prilaku menyontek dalam ujian, tidak disiplin, tidak tepat waktu yang bisa dimaknai sebagai bibit perilaku korup. Pentingnya mengajarkan Pendidikan Etika dan Budi Pekerti dapat menciptakan generasi yang memiliki integritas tinggi, serta nilai kejujuran tinggi dan bertanggung jawab atas amanah yang diberikan kepada generasi Indonesia selanjutnya.