Ironi Jaminan Kesehatan Berbasis Administrasi Dan Waktu
Layanan publik di bidang kesehatan termasuk pada layanan dasar yang penyelenggaraannya dijamin oleh negara, sebagaimana termaktub dalam UUD NRI 1945. Sesuatu hak yang dijamin oeh negara, idealnya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, namun masih terjadi "pembatasan? dalam akses terhadap layanan kesehatan tersebut, terlebih untuk masyarakat yang belum terdaftar secara adiministrasi dalam berbagai jenis jaminan kesehatan yang diprogramkan oleh pemerintah.
Hal tersebut terjadi pada salah satu Pelapor di Ombudsman Kalsel, seorang pria paruh baya yang menjadi korban kebakaran, di mana rumah dan isinya telah dilahap si jago merah, dan sang istri yang tengah mengandung mengalami penurunan kondisi kesehatan akibat stres dengan keadaan yang tengah dihadapinya, sehingga berdampak pada kondisi kandungannya. Kondisi istri Pelapor semakin lemah, sehingga Pelapor kemudian membawa istrinya ke puskesmas setempat, kemudian dari puskesmas dirujuk ke salah satu rumah sakit plat merah di Kota Banjarmasin.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter rumah sakit, janin yang ada dikandungan istri Pelapor dinyatakan sudah meninggal, sehingga perlu diakukan Tindakan untuk membantu proses persalinan istri Pelapor. Disaat yang bersamaan, pihak rumah sakit justru meminta Pelapor untuk melengkapi dokumen administratif terlebih dahulu ke instansi terkait, agar ada jaminan untuk menangung biaya rumah sakit, padahal hari itu adalah hari minggu, sehingga tidak memunginkan untuk mengurus administrasi karena masih hari libur dan kantor dalam kondisi tutup, dan pengurusan administrasi tersebut memiliki batasan waktu 3x24 jam dari hari pasien masuk (Jaminan Kesehatan Daerah), dan jika lewat waktu belum memenuhi administrasi, maka pasien akan menjadi pasien umum, dengan konsekuensi harus membayar secara pribadi seluruh biaya perawatan di rumah sakit.
Pelapor merasa kebingungan, sebagai korban bencana, kondisi ekonomi kurang mampu, isteri membutuhkan tindakan medis, anak dalam kandungan isteri meninggal dunia, dan masih diminta untuk mengurus persyaratan administrasi yang berjangka waktu, dan diintai dengan „ancaman? menjadi pasien umum dan harus membayar biaya sendiri jika lewat waktu pegurusan administrasi jaminan kesehatan, padahal kondisi isteri butuh pendamping, terlihat sangat ironi. Padahal Pelapor sebagai korban bencana juga membutuhkan pendampingan, karena kondisi mental belum stabil pascakebakaran, namun harus bergelut dengan proses dan waktu demi mendapatkan jaminan Kesehatan bagi isterinya.
Jika dilihat pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Kewajiban Rumah Sakit Dan Kewajiban Pasien, dalam Pasal 2 ayat (1) misalnya, disebutkan bahwa Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban untuk memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, serta menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin.
Lebih lanjut dalam Pasal 10 juga dijabarkan bahwa rumah sakit juga berkewajiban melaksanakan fungsi sosial, yang dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan pasien tidak mampu atau miskin, serta memberikan pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa. Dalam konteks kondisi yang dialami pasien, untuk tindakan awal pemeriksaan memang pihak rumah sakit sudah menjalankan kewajibannya, dengan melakukan tindakan pemeriksaan, dan melakukan diagnosa kondisi pasien. Namun disatu sisi pelayanan kesehatan tersebut nampak bersyarat, karena diiringi dengan jangka waktu, yang berkonsekuensi masalah (pembayaran mandiri) dikemudian waktu, jika Pelapor belum dapat melengkapinya.
Dalam konteks pelayanan publik, memang seluruh jenis layanan baik barang, administrasi, maupun jasa (dalam konteks layanan tindakan kesehatan oleh rumah sakit) membutuhkan syarat sebagai salah satu dari empat belas komponen standar pelayanan publik yang harus disusun oleh peyelenggara layanan, sehingga pihak rumah sakit memang telah memberlakukan persyaratan sebagaimana menjadi pintu masuk bagi peyelenggaraan pelayanan publik kesehatan di tempatnya, namun penentuan persyaratan tersebut juga perlu memperhatikan kondisi dan kebutuhan pengguna layanan (dalam hal ini pasien, khususnya paseian korban bencana), karena dalam proses pembuatan syarat dan penyusunan komponen strandar layanan lainnya harus melalui proses pelibatan mayarakat sebagai pengguna layanan. Tujuannya tentu saja untuk mewujudkan layanan publik yang berkualitas, tanpa diskriminasi, transparan, mudah, cepat dan aman, sebagaimana asas penyelenggaraan pelayanan publik pada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Oleh karena itu, ke depannya perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap persyaratan dan jangka waktu dalam konteks akses jaminan kesehatan, khususnya bagi masyarakat kurang mampu, baik dari pihak rumah sakit, penyelenggara jaminan kesehatan, serta pemerintah baik pusat maupun daerah, sehingga terjadi kesamaan pemahaman dalam tujuan penyelenggaraan layanan Kesehatan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Terlebih pengguna layanan adalah sebagai korban bencana, yang seharusnya mendapatkan layanan khusus, mengingat kondisinya tak dapat disamakan dengan pengguna layanan pada umumnya. Sehingga perlu disusun standar layanan kusus bagi kelompok yang memang memiliki kebutuhan khusus termasuk korban bencana, agar fungsi sosial layanan Kesehatan yang diselenggarakan rumah sakit turut menciptakan iklim pelayanan publik kesehatan yang ramah dan mudah bagi seluruh kalangan/lapisan masyarakat di Indonesia.