Inkonsistensi Bantuan Sosial
Bantuan sosial merupakan salah satu hal yang masih dibutuhkan oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Dari satu periode pemerintahan ke priode pemerintahan, bantuan sosial tetap ada, walau dengan penamaan yang berbeda-beda.
Baik dengan penamaan bantuan langsung tunai (BLT) yang sempat dikritik habis-habisan karena dinilai akan memunculkan sikap 'malas' dari penerimanya dan berpotensi untuk disalahgunakan, dalam artian tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok/pangan oleh si penerima. Selanjutnya BLT minyak goreng yang diberikan dalam bentuk uang tunai, ataupun dengan penamaan bantuan pangan non tunai (BPNT), dengan metode pengisian saldo dan dapat dibelanjakan pada e-warong dengan dibelikan kebutuhan pokok si penerima.
Adanya kebijakan BPNT melalui Peraturan Menteri Sosial Nomor 20 Tahun 2019, dirasa dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan fungsi bantuan sosial, juga turut membantu perkembangan perekonomian masayarakat. Karena bantuan sosial yang diberikan pemerintah harus dibelanjakan kepada warung-warung yang juga dikelola oleh masyarakat.
Namun terjadi inkonsistensi dalam penyaluran BPNT tersebut. Hal ini terungkap dari adanya laporan masyarakat ke Ombudsman Kalsel. Dimana seorang penerima BPNT diminta untuk mendatangi Kantor POS setempat, untuk mengambil uang bantuan sosial, sejumlah Rp. 600.000,-. Pelapor menerima uang bantuan dimaksud dan beranggapan uang tersebut adalah jenis bantuan sosial lainnya (karena tak ada penjelasan dari petugas). Sehingga ia beranggapan bahwa ia belum menerima bantuan non pangan yang seperti bisanya diterima. Ketika ia hendak belanja di e-warong, pemilik e-warong menyampaikan bahwa saldo pada kartunya tidak tersedia. Sehingga terjadi kesalahpahaman.
Hal ini tak hanya terjadi pada satu Pelapor saja, juga terjadi di beberapa tetangga Pelapor.
Dari fenomena di atas terlihat jelas adanya inkonsistensi tujuan pemberian bantuan sosial. Di satu sisi, pemerintah memberikan bantuan langsung dalam bentuk tunai. Seperti BLT minyak goreng pada April 2022 lalu, ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mengatasi kesulitan masyarakat untuk membeli minyak goreng.
Selain itu menjadi perhatian sejak pertama kali program BLT dicetuskan adalah bantuan tunai berpotensi disalahgunakan oleh di penerima manfaat. Namun dalam konteks upaya mewujudkan kesejahteraan sosial, dua-duanya menjadi jalan untuk mewujudkannya. Sehingga masyarakat juga masih merasakan kehadiran negara/pemerintah untuk membantu mendukung memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Namun inkonsistensi tersebut juga berpotensi besar menyimpangi aturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah. Dalam keterangan pengambilan di PT Pos, jelas dituliskan keterangan jenis bantuan sosial yang disalurkan adalah jenis BPNT, namun dalam realisasinya diberikan dalam bentuk langsung tunai. Sehingga terlihat jelas ketidaksinkronan antara jenis, cara penyaluran, bahkan berimbas pada peruntukan.
Konsep Welfare State
Di Banyak negara konsep welfare state(negara kesejahteraan) diartikan sebagai suatu negara dimana pemerintahan negara dianggap bertanggung jawab dalam menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya. Konsep ini dianggap sebagai jawaban yang paling tepat sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat, sehingga banyak diadopsi dan diterapkan di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Salah satu ciri Indonesia menerapkan konsep tersebut adalah adanya tujuan yang disebutkan secara ekspilisit baik dalam pembukaan UUD NRI 1945, bahwa pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, maupun butir-butir pasal dalam UUD NRI 1945, seperti Pasal 27 ayat (2), bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, atau Pasal 28A negara menjamin, untuk setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Sebagai konsep yang mengedepankan peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat,welfare state mempunyai beberapa cara merealisasikan kesejahteraan, sebagaimana diungkapkan Robert E. Goodin, dalam bukuThe Real Worlds of Werfare Capitalism,yakni negara mendistribusi sumber daya yang ada kepada publik, baik secara tunai maupun dalam bentuk tertentu (cash benefits or benefits in kind). Negara membuat kebijakan sosial-ekonomi yang berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara umum. Negara memperhatikan bidang paling mendesak dalam kebijakan kesejahteraan yakni masalah pendidikan, kesehatan dan penyediaan lapangan kerja. Model ini juga diadopsi di Indonesia, namun masih dalam bentuk konvensional seperti fenomena di atas. Nampaknya tak gampang untuk beranjak kepada model lain yakni penyediaan lapangan kerja, bahkan sempat diberikan subsidi juga berupa uang tunai kepada para pencari kerja.
Bantuan Sosial di Masa Mendatang
Pemerintah tentu tak menginginkan warganya terus berada dalam kondisi ekonomi yang kurang baik, sehingga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan akhirnya ketergantungan dengan bantuan sosial. Memang telah banyak inovasi yang dilakukan untuk mendongkrak kondisi ekonomi masyarakat, namun masih terlihat belum maksimal, sehingga pemberitaan dan fenomena yang selalu berulang adalah warga dengan ekonomi kurang baik, masih berdesakan antri, untuk mengambil bantuan sosial dari pemerintah. Tentu kita juga tak ingin ini terulang setiap tahun, tak ada salahnya untuk segeramove on dari paradigma lama pemberian bantuan sosial, dengan meneruskan konsep BPNT yang implementasinya benar-benar non tunai, bukan hanya melabeli program bantuan non tunai, namun kenyataannya tetap diberikan uang tunai.
Bahkan kedepannya pemerintah diharapkan mulai serius untuk membuat program bantuan sosial dengan bentuk pekerjaan, banyangkan berapa banyak proyek pembangunan pemerintah yang membutuhkan sumber daya manusia. Sayangnya saat ini masih ditemukan banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia, sebagaimana data dilansir Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ada sebanyak 157.000 buruh kasar asing yang bekerja di Indonesia. Padahal pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat dalam negeri sendiri.
Jika pemerintah benar-benar fokus untuk menggarap jenis bantuan sosial lapangan kerja, tentu akan berimbas pada mental penerima bantuan yang selama ini hanya bergantung menjadi berusaha bekerja agar mendapatkan balasan dari jerih payahnya. Selain itu, bantuan sosial dalam bentuk lapangan pelerjaan juga sedikit banyak akan berdampak pada naiknya tingkat ekonomi masyarakat, sekaligus dapat menekan atau setidaknya mengurangi kejahatan yang dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi/pengangguran. Semoga menjadi bahan pengambil kebijakan untuk meramu dan mewujudkan program bantuan sosial yang berkelanjutan untuk masyarakat yang membutuhkan.
Penulis :
Zayanti Mandasari, S.H., M.H, Asisten Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Kalsel