Implikasi Putusan MK Terkait UU Ciptaker Jangan Buat Bingung Pemohon Perizinan
Semangat pemerintah melakukan penyederhanaan izin usaha untuk meningkatkan investasi diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Terlepas dari pro-kontra masyarakat atas terbitnya UU Ciptaker tersebut, dunia usaha sangat mengharapkan segala kemudahan berusaha yang diatur dalam UU Ciptaker tersebut segera terwujud. Pengusaha pun mulai antusias mengikuti sosialisasi berusaha ataupun mengurus izin usaha berdasarkan UU Ciptaker yang diselenggarakan oleh Kementerian/Lembaga teknis. Pengusaha di daerah pun memanfaatkan UU Ciptaker tersebut untuk mengajukan permohonan izin yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah setempat.
Pada Bulan November 2021, terbit Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan hasil Uji Formil MK RI terhadap UU Ciptaker. Putusan MK tersebut memiliki implikasi pada proses perizinan yang merupakan jenis pelayanan publik administratif dalam kegiatan berusaha. Pemohon izin menjadi kebingungan, terlebih ketika perizinan tersebut telah dimohonkan sebelum terbitnya Putusan MK tersebut.
Contoh kasus yang ditangani oleh Penulis sebagai Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat misalnya. Pelapor merupakan Pemohon Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), yang sebelumnya izin tersebut bernama Izin Mendirikan Bangunan (IMB), kepada salah satu dinas teknis pada suatu Pemerintah Daerah. Pelapor mempelajari peraturan-peraturan turunan dari UU Ciptaker dan mengikuti sosialisasi yang diselenggarakan oleh Instansi Pusat terkait.
Kenyataan di lapangan, Pelapor tersebut mendapati mekanisme perizinan oleh Pemerintah Daerah tersebut tidak sesuai dengan pemahaman Pelapor berdasarkan hasil penelaahan mandiri Pelapor terhadap peraturan perundang-undangan dan materi sosialisasi yang diikuti olehnya. Pelapor mengeluhkan masih adanya persyaratan perizinan yang belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagai turunan dari UU Ciptaker, dalam pengurusan PBG tersebut. Padahal persyaratan perizinan tersebut telah disederhanakan berdasarkan PP Nomor 16 Tahun 2021 tersebut. Penambahan perizinan ini berimplikasi pada berlarutnya jangka waktu penanganan permohonan PBG yang dimohonkan Pelapor, sebab pihaknya masih harus mengurus persyaratan perizinan yang tidak sesuai dengan PP Nomor 16 Tahun 2021.
Setelah dilakukan klarifikasi lebih lanjut kepada dinas teknis pada Pemerintah Daerah didapatkan keterangan terkait masih adanya beberapa persyaratan yang tidak diatur dalam PP Nomor 16 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari UU Ciptaker tersebut. Hal ini dikarenakan masih berlakunya beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kewajiban pemenuhan persyaratan pada pengurusan PBG/IMB. Selain itu, PP Nomor 16 Tahun 2021 juga belum memiliki aturan turunan yang sangat mendetail untuk menjadi petunjuk teknis dalam penerbitan PBG. Adapun PBG sendiri baru diatur pada PP Nomor 16 Tahun 2021 dan belum terdapat aturan turunan lain yang lebih khusus. Sejalan dengan hal ini, Pemerintah Daerah belum dapat menerbitkan Perda yang telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah tersebut dikarenakan pada salah satu Amar Putusan MK RI Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bahwa MK RI menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).
Mencermati kasus di atas serta mempertimbangkan adanya kemungkinan hal tersebut terjadi pada, Penulis memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat dalam masa perbaikan UU Ciptaker berdasarkan Putusan MK RI tersebut untuk:
- Memberikan Legal Opinion atau pendapat hukum yang menjadi rujukan bagi Pemerintah Daerah dalam menyikapi adanya Putusan MK RI Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan sesuai dengan ketentuan UU Ciptaker;
- Melakukan pembinaan dan pendampingan secara aktif kepada Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan perizinan di daerah, sehingga dapat memetakan proses perizinan mana saja yang menjadi bermasalah akibat adanya Putusan MK RI Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut;
- Mendorong penerapan asas hierarki atau lex superior derogat legi Inferior, yakni asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah tingkatannya. Dalam hal ini, pada pelaksanaan perizinan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah agar pelaksanaannya sesuai dengan semangat kemudahan berusaha sebagaimana diatur dalam UU Ciptaker dan peraturan-peraturan turunannya.
Masukan tersebut diharapkan dapat membuat Pemohon layanan perizinan dapat tetap terlayani dengan baik dalam rangka meningkatkan investasi, serta sebaliknya, penyelenggara pelayanan pun memiliki dasar hukum dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan.
Muhammad Wildan, S.E.
Asisten Pratama, Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat