• ,
  • - +

Artikel

Hasil Penilaian Kepatuhan sebagai Alat Introspeksi Penyelenggaraan Pelayanan Publik
• Jum'at, 27/12/2024 •
 
Hannie Mauliyandinie P /Calon Asisten Ombudsman Kalbar

Hasil Penilaian Kepatuhan sebagai Alat Introspeksi Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Lebih dari satu bulan sejak Ombudsman Republik Indonesia mengumumkan Hasil Penilaian Kepatuhan Penyelenggaraan Pelayanan Publik Tahun 2024 terhadap 25 Kementerian, 14 Lembaga, 34 Pemerintah Provinsi, 98 Pemerintah Kota dan 416 Pemerintah Kabupaten pada 14 November 2024 lalu, di Le Meridien Hotel Jakarta, euphoria-nya masih dirasakan hingga seluruh provinsi di Indonesia. Bagaimana tidak, tahun 2024 ini terjadi peningkatan hasil yang cukup signifikan dalam perolehan Zonasi Hijau Kepatuhan, baik di tingkat Pemerintah Daerah, Kementerian dan Lembaga.

Penilaian Kepatuhan (yang sebelumnya dikenal dengan Survei Kepatuhan) sudah dilakukan sejak Tahun 2015 berdasarkan Peraturan Ombudsman Nomor 17 Tahun 2015 tentang Penelitian Kepatuhan Terhadap Standar Pelayanan Publik. Peraturan tersebut kemudian dicabut sejak berlakunya Peraturan Ombudsman Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penilaian Kepatuhan Terhadap Standar Pelayanan Publik. Penilaian ini dilakukan terhadap penyelenggara pelayanan, seperti Kementerian, Lembaga, serta Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan mengacu pada 10 variabel standar pelayanan publik. Variabel tersebut meliputi standar pelayanan, maklumat layanan, sistem informasi, sarana dan prasarana, pelayanan khusus, pengelola pengaduan, penilaian kinerja, visi, misi, moto pelayanan, atribut, dan pelayanan terpadu. Data yang dikumpulkan dan dirata-ratakan untuk menentukan kategorisasi nilai, yang terbagi dalam zona hijau, kuning, atau merah.

Survei kepatuhan ini kemudian dijadikan sebagai acuan kualitas pelayanan publik pada penyelenggara pelayanan publik. Sebagaimana tujuan dari penilaian ini yaitu untuk mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik. Tak hanya itu, penilaian kepatuhan ini juga menjadi sarana untuk mendorong pencegahan maladministrasi.

Berdasarkan Ringkasan Eksekutif Hasil Penilaian Kepatuhan tahun 2021, dalam pelaksanaan survei, Ombudsman berperan sebagai masyarakat pengguna layanan yang ingin memperoleh berbagai informasi tentang layanan tersebut. Oleh karena itu, kegiatan di lapangan dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya untuk dapat melihat secara langsung kondisi empiris dan autentik terkait kepatuhan penyelenggara layanan. Tak hanya dalam hal variabel standar pelayan, penilaian juga dilakukan terhadap kompetensi penyelenggara pelayanan publik untuk menilai kepatuhan dalam melaksanakan kewajiban. Indikator penilaian kompetensi mencakup pemahaman terhadap Ombudsman, survei kepatuhan sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, survei kepuasan masyarakat, pelibatan masyarakat, pengelolaan pengaduan, dan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP).

Dalam perkembangannya, terdapat penyempurnaan dalam aspek/dimensi penilaian. Merujuk Ringkasan Eksekutif Hasil Penilaian Kepatuhan Penyelenggaraan Pelayanan Publik Tahun 2024, Penilaian Kepatuhan yang dilakukan Ombudsman saat ini tidak hanya atas ketersediaan standar pelayanan dan penilaian persepsi maladministrasi saja, namun juga mengukur kompetensi pelaksana layanan, ketersediaan dan kualitas sarana-prasarana, serta pengawasan dan pengelolaan pengaduan. Semua penilaian tersebut, menjadi komponen dari Opini Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang dilakukan Ombudsman RI terhadap Kepatuhan Penyelenggara Pelayanan Publik. Perubahan ini diharapkan menjadi lebih komprehensif dalam menakar mutu pelayanan publik dimensi input dan proses (service manufacturing) hingga output dan dampak (impactful public service).

Hasil Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik sebagai Alat Intropeksi Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Jika kalimat "Ambil yang baik, buang yang buruk" akan kurang tepat untuk diimplementasikan di sini, karena pada kenyataannya, pengalaman buruk juga perlu diambil. Untuk apa? Sebab, tidak hanya pengalaman baik yang harus dijadikan cerminan dan contoh, sementara pengalaman buruk dibuang begitu saja. Tetapi, pengalaman buruk tersebut juga harus dipelajari, dianalisis dan diperbaiki agar tidak terulang di masa depan.

Begitu pula hasil penilaian kepatuhan ini menjadi cermin evaluasi tidak hanya bagi penyelenggara negara pelayanan publik yang belum memenuhi standar penilaian kepatuhan, melainkan juga bagi mereka yang telah mencapai nilai tinggi.

Bagi yang berada di zonasi kuning dan merah, hasil nilai kepatuhan ini harus menjadi pendorong untuk terus memperbaiki kekurangan yang ada. Sementara bagi mereka yang telah berada dalam Zonasi hijau kepatuhan tinggi dan tertinggi memperoleh penilaian terbaik, ini dapat menjadi contoh yang menginspirasi penyelenggara pelayanan publik lainnya, baik yang menjadi lokus penilaian atau tidak untuk lebih berbenah dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya pemberian penghargaan predikat kepatuhan kepada penyelenggara pelayanan yang sudah berupaya untuk memperbaiki pelayanan pada unit masing-masing tentulah tidak berlebihan, melainkan sebagai bentuk apresiasi Ombudsman atas komitmen yang sudah dilaksanakan. Tapi apakah pemberian penghargaan tersebut hanya sebatas citra saja?

Menurut Dowling (1986), citra adalah rangkaian makna di mana suatu objek dikenal dan melalui mana orang menggambarkan, mengingat, dan berhubungan dengannya. Artinya, citra adalah hasil akhir dari interaksi antara keyakinan, ide, perasaan, dan kesan seseorang terhadap suatu objek. Dalam konteks penilaian kepatuhan, "citra" yang dimaksud adalah persepsi publik tentang instansi berkat penghargaan tersebut, apakah akan berkesan positif atau negatif.

Jika "hanya sebatas citra", artinya penghargaan yang diberikan tersebut tidak akan memberikan dampak yang nyata, karena penghargaan hanya digunakan untuk membantu membangun reputasi positif saja bagi penyelenggara negara di mata masyarakat.

Sebagai gambaran, jika sebuah instansi hanya berfokus pada membangun citra positif tanpa mempertimbangkan manfaat jangka panjang, maka mereka hanya akan melakukan perbaikan sementara hingga mencapai predikat "Zonasi Hijau", lalu setelah penghargaan didapatkan, mereka bisa saja kembali ke pola lama dan hasilnya menurun.

Namun, jika penghargaan tersebut tidak hanya berfungsi untuk membangun citra positif, tetapi juga sebagai alat introspeksi bagi instansi, maka akan ada upaya perubahan terus menerus yang substansial terhadap kualitas pelayanan publik yang dirasa kurang atau perlu dievaluasi. Selain itu, hal ini juga dapat dilihat dari grafik nilai kepatuhan yang diperoleh dari tahun ke tahun, yang bisa saja tetap konsisten pada nilai rendah, tinggi, atau bahkan menunjukkan peningkatan yang baik.

Contoh, pada tahun 2019, Pemerintah Kabupaten Ketapang di Provinsi Kalimantan Barat, sempat masuk dalam zona merah Kepatuhan Standar Pelayanan Publik menurut penilaian Ombudsman Kalimantan Barat, dengan nilai rata-rata 46,02 dari sembilan unit layanan dan merupa kan yang terendah di Kalimantan Barat.

Namun pada tahun 2021, Ketapang berhasil memperoleh predikat Kepatuhan Tinggi dengan skor 86,73, dan pada tahun 2023 mendapatkan nilai 85,84. Artinya mereka keluar dari zonasi merah ke hijau. Hal ini merupakan contoh bahwa penghargaan penilaian kepatuhan pelayanan publik dapat mendorong penyelenggara negara untuk melakukan perbaikan.

Sebagai contoh lain, Pemkot Pontianak yang sudah masuk zonasi hijau pada tahun 2022 berada pada angka 87,03, berhasil meningkat menjadi 91,16 pada tahun 2023 dan mencapai 94,96 pada tahun 2024. Meski sudah sedari awal di zonasi hijau, pencapaian ini bukan hanya citra, karena Pemkot Pontianak telah menunjukkan upayanya dalam mempertahankan dan meningkatkan penilaian kualitas pelayanan publik selama tiga tahun berturut-turut, dengan hasil yang signifikan.

Tentunya, ini bukan hanya soal hasil angka penilaian yang tinggi atau rendah, yang dapat mempengaruhi citra instansi, tetapi juga tentang tanggung jawab yang harus terus dijaga agar nilai tersebut sebanding dengan realitas yang ada, sehingga dampak positifnya dapat terus dirasakan oleh masyarakat.

Penyelenggara negara tentu dapat merasa bangga atas penganugerahan penilaian kepatuhan pelayanan publik dengan nilai tinggi yang mereka terima. Namun, hal ini tentunya harus sejalan dengan upaya-upaya yang menjadi catatan evaluasi instansi, dan pelaksanaannya harus tetap berada pada rel yang benar. Penganugerahan ini bukan sekadar formalitas, melainkan harus menjadi bagian dari sistem yang berkelanjutan dan memberikan dampak nyata dalam peningkatan kualitas pelayanan publik.

oleh: Hannie Mauliyandinie P

(Calon Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat)





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...