Hak Inklusivitas dalam Pelayanan Publik: Analisis Regulasi dan Fakta Lapangan

Inklusivitas pada dasarnya adalah prinsip keterbukaan dan kesetaraan, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam kerangka ini, inklusivitas tidak sekadar memberikan akses formal yang sama, tetapi juga mengupayakan kesetaraan substantif, yakni memastikan bahwa perbedaan kondisi fisik, sosial, ekonomi, maupun budaya tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan haknya.
Secara filosofis, inklusivitas merupakan turunan dari nilai-nilai universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang menekankan prinsip non-diskriminasi dan keadilan sosial. Secara normatif, prinsip ini telah banyak diakui dalam dokumen internasional, seperti Universal Declaration of Human Rights (1948) dan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (2006), yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia. Artinya, inklusivitas bukan hanya pilihan kebijakan, melainkan kewajiban moral sekaligus hukum bagi negara.
Dalam konteks pelayanan publik, prinsip inklusivitas memiliki peran sentral karena pelayanan publik adalah instrumen utama negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya. Hak inklusivitas dalam pelayanan publik bukan sekadar konsep abstrak, melainkan mandat konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945, diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Regulasi-regulasi ini menegaskan bahwa setiap warga negara, khususnya kelompok rentan, berhak memperoleh layanan yang adil, setara, dan sesuai kebutuhan.
Namun, terdapat kesenjangan yang cukup signifikan antara norma hukum dan realitas di lapangan. Meskipun regulasi relatif memadai, praktik pelayanan publik masih menunjukkan berbagai kendala, mulai dari keterbatasan infrastruktur ramah disabilitas, sulitnya akses layanan bagi masyarakat di wilayah terpencil, hingga keterbatasan sumber daya manusia dalam memahami standar pelayanan inklusif.
Kesenjangan antara aturan dan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembahasan mengenai pelayanan publik inklusif menjadi semakin penting. Salah satu wujud nyata dari inklusivitas dapat dilihat melalui pelayanan publik, yang pada dasarnya mencakup setiap upaya penyelenggara negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atas barang, jasa, maupun administrasi. Untuk benar-benar bersifat inklusif, pelayanan publik harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi, serta menyesuaikan diri dengan kebutuhan beragam kelompok masyarakat.
Pelayanan publik inklusif berarti layanan yang tidak berhenti pada pemberian fasilitas formal, tetapi juga menciptakan kondisi yang memungkinkan semua warga menikmati manfaat layanan secara adil.
Prinsip Pelayanan Publik Inklusif : 1) Aksesibilitas : layanan tersedia, mudah dijangkau, dan ramah bagi semua kalangan; 2) Kesetaraan: layanan diberikan secara adil, tanpa diskriminasi berdasarkan kondisi fisik, sosial, ekonomi, maupun geografis; 3) Kebutuhan Khusus: layanan disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan kelompok tertentu agar mereka dapat memperoleh manfaat yang sama; 4) Partisipasi: kelompok rentan dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi layanan; 5) Non-diskriminasi: setiap warga negara diperlakukan setara dalam memperoleh pelayanan.
Contoh Praktik Pelayanan Publik Inklusif : 1) Kesehatan: Puskesmas yang menyediakan ramp, ruang pemeriksaan ramah disabilitas, dan layanan home visit bagi pasien yang tidak mampu datang langsung; 2) Pendidikan: Sekolah inklusi yang menerima siswa dengan disabilitas, dilengkapi guru pendamping khusus; 3) Transportasi: Fasilitas umum seperti MRT Jakarta dengan guiding block, lift khusus, dan kursi roda gratis; 4) Administrasi Kependudukan: Program Jemput Bola Dukcapil yang melayani warga di daerah terpencil, termasuk penyandang disabilitas dan lansia; 5) Pelayanan Digital: Aplikasi layanan publik dengan fitur text-to-speech bagi tunanetra dan subtitle otomatis bagi tunarungu.
Tantangan Pelayanan Publik Inklusif
Meskipun praktik baik sudah mulai berkembang, terdapat berbagai tantangan yang masih dihadapi: 1) Keterbatasan Infrastruktur: fasilitas ramah disabilitas masih jarang di daerah-daerah; 2) SDM yang Belum Terlatih: banyak petugas pelayanan belum memahami prinsip akomodasi layak; 3) Kesenjangan Akses Digital: layanan daring belum sepenuhnya ramah bagi kelompok rentan; 4) Keterbatasan Anggaran: kebutuhan pelayanan inklusif sering dianggap tambahan, bukan prioritas; 5) Kurangnya Partisipasi Publik: masyarakat, terutama kelompok rentan, belum dilibatkan secara optimal dalam perencanaan dan evaluasi layanan.
Kehadiran pelayanan publik inklusif bukanlah sekadar pilihan kebijakan, melainkan konsekuensi dari hak dasar yang dimiliki setiap warga negara. Hak inklusivitas dalam pelayanan publik merupakan turunan langsung dari hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi. UUD 1945 mengatur persamaan di hadapan hukum (Pasal 28D), hak atas kesehatan (Pasal 28H), dan hak atas pendidikan (Pasal 31). Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mempertegas bahwa setiap orang berhak memperoleh layanan yang adil, tidak diskriminatif, serta sesuai kebutuhan.
Penutup
Dari uraian tersebut, jelas bahwa inklusivitas bukan hanya prinsip universal, melainkan juga mandat konstitusional yang wajib diimplementasikan dalam setiap aspek pelayanan publik. Melalui penyediaan layanan yang aksesibel, responsif, dan nondiskriminatif, negara dapat memastikan bahwa seluruh warga, tanpa kecuali, memperoleh haknya sebagai warga negara secara adil dan bermartabat.
Rifki Septiawan : Magang Ombudsman RI
Ujang SolihulWildan : Asisten Ombudsman RI








