Flexing di Lingkungan Pejabat Publik
Disaat mentalitas bangsa berangsur membaik akibat kian terpukul oleh pandemi yang berdampak luar biasa terhadap sendi kehidupan, salah satunya mata pencaharian bagi rakyat. Disaat serangkaian pelanggaran hukum marak dilakukan justru oleh aparat penegak hukum, maupun penyelenggara negara yang mestinya menjadi tauladan, sehingga membawa dampak perasaan skeptis publik terhadap kepercayaan kinerja pemerintah. Tentu pemerintah saat ini sedang berupaya berbenah, terpenting mengevaluasi kinerja agar kembali mendapat kepercayaan publik. Namun akhir-akhir ini, fenomena "flexing" dikalangan pejabat publik maupun anggota keluarganya, kembali menjadi hambatan terhadap upaya yang sedang ditempuh pemerintah.
Memang tidak bisa memukul rata, gara-gara tindakan beberapa oknum, bak seolah nila setitik rusaklah susu sebelanga. Publik kian menjustifikasi bahwa ada yang salah pada para pejabat publik saat ini. Pastilah perbuatan oknum tadi berdampak pada reformasi birokrasi yang terus digadang pemerintah. Apabila tidak segera dibenahi, maka kepercayaan publik akan semakin sulit didapat. Padahal, jalannya penyelenggaraan negara tanpa adanya partisipasi dan kepercayaan dari publik, akan berjalan timpang, sedangkan kebijakan disusun dan dapat berjalan dengan baik, hanya apabila publik mempercayai bahwa kebijakan tadi berimbang, diputuskan oleh pejabat yang bermoral, tanpa tedeng aling-aling.
Istilah flexing atau tindakan nyeleneh dengan memamerkan kesejahteraan dan kekayaan hingga bersikap arogan, sangat menciderai perasaan rakyat, dimana saat ini lapisan rakyat di bawah sedang berusaha bangkit mencari nafkah penghidupan, setelah lama berjibaku dengan pandemi. Bagaimana rakyat bisa mempercayai, bahwa suatu kebijakan publik akan berorientasi mendahului kemanfaatan dan kesejahteraan umum, melalui cara yang aspiratif, selektif, akomodatif, serta tidak diskriminatif, apabila dihadapkan dengan fenomena pamer yang marak terjadi di lingkungan aparat maupun pejabat publik sendiri, dengan segala eksklusifitas serta kemewahannya, yang seolah bersikap siap dilayani, bukan siap melayani.
Yang penulis pedomani, bahwa jabatan publik apapun melekat tidak hanya saat pejabat tersebut beraktivitas kedinasan. Pun juga mengikat terhadap anggota keluarga pejabat publik dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkalnya pengetahuan dan pemahaman penulis, penyelenggara negara salah satunya pegawai negeri sipil (PNS), harusnya menunjukan integritas serta keteladanan dalam bersikap, berprilaku, bertutur ucap, maupun bertindak kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan, sebagaimana inti dalam Pasal 3 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Penulis setuju, bahwa kemajuan teknologi informasi termasuk media sosial, turut andil mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi sarana bagi publik untuk turut peka mengkritisi, mengawasi jalannya sistem maupun penyelenggara pemerintahan. Memviralkan yang selama ini menjadi kebiasaan bermedia sosial masyarakat, bukan berarti melulu buruk, karena tidak sedikit kebijakan maupun sikap pemerintah cepat diambil berdasarkan viralnya suatu kejadian maupun peristiwa yang menjadi sorotan publik. Contohnya, petinggi kementerian atau istansi yang mengambil sikap tegas atas perbuatan pamer kekayaan oleh anggota keluarga pejabat di lingkungannya, yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik.
Hakikatnya, penyelenggara negara adalah seorang pelayan publik, yang menurut penulis tidak hanya membutuhkan kompetensi teknis maupun leadership, namun yang tidak kalah penting juga harus mempunyai etika. Sebab, tanpa adanya etika maka penyelenggara negara biasanya akan cenderung besikap arogan, tidak peka, bahkan diskriminatif terhadap rakyat lapisan bawah. Etika sendiri membawa kepada nilai-nilai kejujuran, adil, solidaritas, dan penyetaraan, dalam bentuk kepedulian dan keprihatinan terhadap orang, dalam penyelenggaraan negara adalah terhadap rakyat baik di segala lapisan.
Sikap loyalitas sebagai abdi negara, bukan hanya sebatas diartikan untuk menyenangkan dan memuaskan pimpinan, bekerja seolah hanya menjalankan kewajiban untuk memperoleh hak penghasilan. Namun yang terpenting adalah bagaimana menyejahterakan publik atas kinerja yang diberikan, wajarlah seperti demikian, sebab penghasilan yang selama ini diterimanya berasal dari setoran rakyat, sehingga menjalankan tugas sebagai abdi negara adalah menjalankan amanah rakyat.
Atas hal tesebut, kiranya diperlukan adanya perubahan mindset dari penyelenggara negara maupun pejabat publik. Sederhananya menyangkut tiga aspek, yakni merubah pemikiran dari wewenang menjadi peranan, merubah paham penguasa menjadi pelayan, dan merubah paham pemegang jabatan adalah pemegang amanah rakyat, yang dengan segala pertanggungjawabannya. Harapannya untuk menjauhkan sikap sekularisme, karena menyadari bahwa amanah rakyat yang diterimanya kelak mesti dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan YME.
Menyadari mindset tersebut juga mesti ditanamkan oleh pejabat publik kepada lingkungan anggota keluarganya. Tidak ada larangan pejabat publik untuk makmur berkecukupan ekonomi, dengan catatan memperolehnya melalui jalan sesuai kaidah, tidak melanggar hukum atau memetik keutungan dari uang rakyat. Namun menjaga harmonisasi antara pejabat publik selaku pemangku pengemban kebijakan, dengan rakyat selaku penerap kebijakan, merupakan hal yang terpenting dalam berjalannya sistem pemerintahan yang baik.
Penulis berharap, kepekaan publik dalam menyoroti sistem pemerintahan dan pejabat selaku pelaksana pemerintahan, janganlah justru menjadi bumerang bagi publik. Kebebasan dalam mengekspresikan diri, berkomentar maupun menuangkan kritik, serta menyebarluaskan informasi elektronik, mesti dipahami untuk tidak melanggar peraturan dan kaidah norma, agar tidak merugikan orang lain termasuk diri kita pribadi.
Sebab, bak pisau bermata dua, menurut penulis, pasal-pasal larangan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, tidak memiliki tolok ukur yang jelas, sehingga terkadang didefinisikan dengan terminologi praktis secara subjektif, oleh aparat maupun pihak tertentu yang berkepentingan sesuai maksud dan tujuan tertentu. Sehingga ketentuan maupun unsur pidana dalam pasal larangan di UU ITE kerap dianggap sebagai "pasal karet". Hingga saat ini, kembali sedangkalnya pengetahuan dan pemahaman penulis, terkadang penulis masih kebingungan dalam membedakan antara mana yang menjadi pelaku atau korban.
Namun yang penulis yakini, pemerintahan yang baik adalah bukan pemerintahan yang antikritik, terutama oleh rakyatnya sendiri. Kritik publik hendaknya dianggap sebagai bentuk kepedulian publik terhadap jalannya pemerintahan. Barangkali inilah momentum tepat untuk pemerintah kita kian berbenah.
Benny Sanjaya, Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan