• ,
  • - +

Artikel

Fiktif Positif versus Standar Pelayanan Publik
• Rabu, 05/10/2022 •
 

Dalam kacamata pelayanan publik, Keputusan Tata Usaha Negara didudukkan sebagai salah satu bentuk produk pelayanan publik administratif (misalnya sertipikat dan perizinan), maka seyogyanya pelaksanaannya tunduk pada ketentuan standar pelayanan publik, di antaranya terdapat jangka waktu penyelesaian layanan, serta sistem, mekanisme, prosedur layanan.

Pemberian pelayanan publik kepada masyarakat haruslah dimaknai sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pelayanan yang tidak lain merupakan hak, maka pada konteks ini penyelenggara pelayanan publik tidak dibenarkan untuk bersikap 'diam' melainkan harus memberikan respons sebagai bentuk pelaksanaan kewajibannya selaku pelayan publik.

Akibat diamnya pejabat tata usaha negara/pelaksana terhadap permohonan layanan yang dimohonkan masyarakat maka muncullah konsep 'fiktif' untuk memaknai sikap diam tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap permohonan dikenal sebagai fiktif negatif, atau sebagai bentuk dikabulkannya permohonan dikenal dengan istilah fiktif positif.

Keberadaan konsep 'keputusan fiktif' diawali dengan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara yang menganggap tidak dikeluarkannya keputusan oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai bentuk penolakan atau fiktif negatif. Kemudian melalui Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan berubah menjadi fiktif positif yakni dengan tidak ditetapkannya dan/atau keputusan, dan/atau tindakan oleh pejabat tata usaha negara terhadap permohonan maka dianggap keputusan dan/atau tindakan yang dimohonkan dikabulkan dengan disusul permohonan ke pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan.

Namun melalui Undang-Undang Cipta Kerja, konsep fiktif positif menjadi semakin enteng dengan tidak perlu lagi bermohon ke pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan, serta durasi waktu yang juga lebih singkat jika dibandingkan dengan dua undang-undang sebelumnya. Akan tetapi, terlepas dari pijakan hukum atas keberadaan fiktif positif pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pengujian terhadap Undang-Undang Ciptaker, menurut hemat penulis keberadan konsep 'fiktif' itu sendiri yang hadir sebagai akibat dari diamnya penyelenggara/pelaksana pelayanan publik, adalah sesuatu hal yang tidak seharusnya terjadi dan mesti diberi konsekuensi.

Penetapan fiktif positif sebagai sebuah keputusan yang menganggap dikabulkan juga pun akhirnya akan menambah rangkaian prosedur lain hingga keluarnya sebuah keputusan dan/atau tindakan. Sehingga hal ini terlampau jauh meninggalkan esensi pemberian pelayanan yang efisien kepada masyarakat, sementara setiap pemberian layanan publik mestinya memiliki prosedur bagaimana permohonan layanan itu diterima hingga diselesaikan.

Hal lainnya adalah sikap 'diam' penyelenggara/pelaksana pelayanan publik terhadap suatu permohonan layanan jelas merupakan sebuah tindakan maladministrasi, sehingga Ombudsman sebagai lembaga negara yang salah satu tugasnya menerima dan memeriksa dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik mesti menaruh perhatian lebih. Undang-Undang Pelayanan Publik telah menyediakan sedemikian sanksi bagi pelaksana pelayanan publik yang tidak melaksanakan kewajibannya mulai dari teguran tertulis hingga pembebasan dari jabatan, sehingga ke depannya diharapkan yang terwujud adalah meningkatnya pemberian pelayanan sesuai jangka waktu prosedur bagi masyarakat, bukan malah lahirnya produk-produk fiktif positif.

Penyelenggara pelayanan publik memiliki kewajiban untuk menyusun, menetapkan, dan melaksanakan prosedur pelayanan, termasuk jangka waktu penyelesaian permohonan, menata bagaimana seharusnya pelayanan itu berjalan mulai dari diterimanya permohonan hingga hasil akhir baik berupa keputusan dan/atau tindakan terhadap permohonan tersebut.

Melalui tegaknya penerapan standar pelayanan tersebut maka tidak seharusnya terdapat sikap 'diam' dari pejabat tata usaha negara selaku pelaksana pelayanan publik terhadap layanan yang sedang diakses/dimohonkan oleh masyarakat. Masyarakat berhak memperoleh hasil akhir secara jelas dan terang dari setiap pelayanan yang dimohonkan, apakah diterima atau ditolak.

Dengan demikian, adanya tindakan dan/atau keputusan yang nyata dari penyelenggara pelayanan publik dalam merespons setiap permohonan layanan masyarakat, maka konsep 'fiktif' seharusnya tidak perlukan.


ST Dwi Adiyah Pratiwi - Kepala Keasistenan PVL Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sulawesi Selatan





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...