Fenomena Kasus Berlarut di Layanan Peradilan
Bedasarkan data Sistem Informasi Manajemen Penyelesaian Laporan (SIMPeL) Ombudsman RI pada tahun 2021 tercatat 18.314 laporan dan atau aduan yang telah diterima dan diverifikasi, secara spesifik sebanyak 279 laporan permasalahan di lembaga peradilan yang antaranya terbukti merupakan kelalaian lembaga peradilan. Tercatat dua perilaku maladministrasi yang marak di lembaga peradilan. Pertama, penundaan berlarut pemberian salinan putusan dan eksekusi perkara. Kedua, keluhan ketidakpuasan terhadap lembaga peradilan dalam memutus perkara.
Dari 279 laporan, terdapat satu laporan terkait perilaku maladministrasi, yakni penundaan berlarut pelaksanaan eksekusi perkara yang telah diproses dan diselesaikan oleh penulis. Pertama, kasus sengketa lahan antara masyarakat dan kepolisian serta kelurahan dengan dugaan penundaan berlarut atas belum dilaksanakannya permohonan eksekusi oleh salah satu pengadilan negeri di Provinsi Kalimantan Timur. Dalam kasus ini, Pengadilan Negeri telah mengirimkan surat teguran/aanmaning dan dalam proses pemeriksaan ditemukan dua putusan yang berbeda antara putusan perdata pada tahun 2017 di tingkat kasasi yang dimenangkan oleh penggugat (masyarakat), dan putusan pidana pada tahun 2020 yang awalnya objek putusan perdata menjadi objek putusan pidana dan dimenangkan oleh tergugat (kepolisian).
Padahal setelah diterimanya salinan putusan kasasi, penggugat melanjutkan bermohon pelaksanaan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Hasil dari putusan pidana yaitu penggugat harus menjalani masa kurungan penjara selama satu tahun, meskipun telah menjalani hukuman atas putusan pidana penggugat tetap berupaya mencari keadilan ke Ombudsman. Namun, karena permasalahan tersebut sedang dan menjadi objek pengadilan maka Ombudsman tidak dapat meneruskan pemeriksaan. Sebelum menutup laporan, penulis tetap memantau laporan tersebut hingga adanya putusan pidana di tingkat kasasi.
Kasus lainnya di substansi dan dugaan yang sama, antara salah satu perusahaan swasta di Provinsi Kaltim dengan pemerintah daerah terkait dugaan penundaan berlarut oleh pemda atas pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam proses pemeriksaan, ditemukan adanya pengaruh politik dalam pelaksanaan eksekusi, sehingga dalam penganggaran ganti rugi pemda tidak menganggarkan dalam daftar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini menjadi polemik, ketika Pengadilan Negeri telah mengirimkan surat teguran/aanmaning namun tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Sementara itu, pada bulan Februari 2022, penulis memutuskan untuk pindah kerja dari Kantor Perwakilan Kalimantan Timur ke Kantor Perwakilan Kalimantan Selatan). Ketertarikan penulis atas substansi peradilan masih dilanjutkan, sehingga penulis melihat data SIMPeL Ombudsman, khususnya Kantor Perwakilan Kalsel pada tahun 2022 untuk substansi peradilan. Tidak jauh berbeda dengan Kaltim, terdapat laporan permohonan penundaan penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang Pelaksanaan Eksekusi yang telah ditutup oleh Unit Keasistenan Pemeriksaan Laporan.
Dari tiga kasus tersebut, beberapa masalah dalam proses eksekusi putusan pengadilan seperti amar putusan kurang jelas, putusan non-eksekutabel, adanya perlawanan dari pihak ketiga, objek eksekusi merupakan barang milik negara dan yang lainnya. Sehingga, pengadilan harus melaksanakan identifikasi dan kaji terlebih dahulu apa akar masalah terhambatnya eksekusi, lalu melihat dari segi aturan dan menentukan tahapan penyelesaiannya
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa pengawasan terhadap aparatur pengadilan masih lemah. Mengutip dari wawancara Anggota Ombudsman periode 2016-2021 Ninik Rahayu di Media Indonesia, mengatakan sejak pertengahan tahun 2016, Ombudsman sudah meminta Mahkamah Agung (MA) untuk memperbaiki pengawasan internal. Selain pengawas internal yang harus dioptimalkan, MA harus berkoordinasi dan elaborasi dengan Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga pengawas hakim untuk menerapkan aturan yang berlaku.
Pengadilan sebagai lembaga penegak hukum harusnya menjadi kiblat hukum di Indonesia, selain pengadilan masih ada banyak lembaga penegak hukum lainnya yang memiliki kewajiban untuk menelaah kasus secara fundamental mengenai kekuatan hukum dari putusan guna terhindarnya tumpang tindih lembaga dan terhindar dari perbuatan melampaui kewenangan. Sebagai penutup, Penulis berharap setiap lembaga di Indonesia yang telah berdiri atas nama Undang-Undang dapat mengingat tujuan negara yang tercermin pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyebutkan tujuan negara "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial."(CW/PC)