Eksekusi Putusan Ajudikasi Khusus dalam Tuntutan Ganti Kerugian Pelayanan Publik
Kewenangan Ombudsman dalam Perkara Tuntutan Ganti Kerugian Pelayanan Publik
Selain diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU Ombudsman), kewenangan Ombudsman juga diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) khususnya dalam Pasal 50 ayat (5) yang telah memperluas kewenangan Ombudsman yaitu sebagai kuasi yudikatif khususnya dengan melaksanakan ajudikasi khusus dalam perkara tuntutan ganti kerugian terkait pelayanan publik.
Namun hingga saat ini kewenangan tersebut belum pernah dilaksanakan oleh Ombudsman, Padahal Pasal 50 ayat (6) UU Pelayanan Publik secara tegas telah memerintahkan Ombudsman untuk melaksanakan ajudikasi khusus tersebut paling lambat 5 (lima) tahun sejak UU Pelayanan Publik diundangkan. Belum terlaksananya ajudikasi khusus oleh Ombudsman selama ini, sering dikaitkan dengan belum adanya instrumen peraturan mengenai mekanisme dan ketentuan pembayaran dalam pelaksanaan putusan tuntutan ganti kerugian atas putusan ajudikasi khusus tersebut.
Ombudsman adalah lembaga negara yang tidak hanya sebagai kuasi legislatif, tetapi juga yudikatif. Hal ini sebagaimana Pasal 1 angka 11 dan Pasal 50 ayat (5) UU Pelayanan Publik yang memberikan kewenangan kepada Ombudsman untuk melaksanakan ajudikasi proses penyelesaian sengketa pelayanan publik antara para pihak.
Dalam pelaksanaannya kewenangan untuk melaksanakan ajudikasi khusus ini, belum pernah dilakukan oleh Ombudsman. Hal ini bertentangan dengan Pasal 50 ayat (6) UU Pelayanan Publik yang secara tegas telah memerintahkan Ombudsman untuk melaksanakan ajudikasi khusus tersebut paling lambat 5 (lima) tahun sejak UU Pelayanan Publik ini diundangkan. Faktor yang menjadi kendala adalah dikarenakan belum adanya Peraturan Presiden terkait mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti kerugian sebagai pelaksanaan putusan ajudikasi khusus tersebut, yang pembentukan Peraturan Presiden tersebut secara implisit telah diperintahkan oleh Pasal 50 ayat (8) UU Pelayanan Publik, yang kemudian dinarasikan sebagai faktor utama belum dapat dilaksanakannya ajudikasi khusus oleh Ombudsman. Dua fenomena tersebut di atas adalah bentuk pelanggaran terhadap undang-undang.
Irisan Kewenangan Ombudsman dan Peradilan TUN
Definisi maladministrasi dalam Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Secara konseptual sebenarnya sedari awal pembentukan Ombudsman kewenangannya memang beririsan dengan lembaga peradilan karena Ombudsman juga berwenang menilai apakah suatu perbuatan pemerintahan melawan hukum atau melampaui wewenang atau sewenang-wenang (sebagai tindakan maladministrasi).
Ombudsman secara konsep diadopsi dari negara-negara Skandinavia, adalah selaku lembaga yang mengawasi, sehingga ruang lingkupnya adalah keluhan mengenai perilaku yang bertentangan dengan kewajiban hukum penyelenggara layanan, bukan mengenai perbuatan dalam arti produk hukum tindakan pemerintahan yang merupakan kewenangan pengadilan untuk menilainya, karena penilaian terhadap suatu produk administrasi harus dilaksanakan dengan pembuktian formil yang merupakan tugas dari pengadilan. Namun begitu hasil pemeriksaan Ombudsman dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan terkait sengketa bidang TUN.
UU Pelayanan Publik telah mengatur dua jenis kewenangan absolut bagi penyelesaian sengketa ganti kerugian dalam pelayanan publik di pengadilan, yakni kewenangan atas sengketa di bidang Tata Usaha Negara (TUN) dan sengketa Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 51 mengenai kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dan Pasal 52 mengenai kewenangan mengadili sengketa Perbuatan Melawan Hukum oleh penyelenggara pelayanan publik.
Akan tetapi mengenai Pasal 52 terkait sengketa PMH, hanya menyebut
"pengadilan" saja tanpa menyebut jenis
peradilannya. Untuk PMH tentu rujukan yang dapat dijadikan acuan adalah Pasal 1365 KUH
Perdata yang menjadi ranah kewenangan
Peradilan Umum sesuai Pasal 50 dan 51 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang tingkat
pertamanya ada pada Pengadilan Negeri. Akan
tetapi dalam hal ini yang menjadi subjeknya adalah warga masyarakat melawan penyelenggara pelayanan
publik (menjalankan fungsi pemerintahan),
dan objeknya adalah penyelenggaraan pelayanan publik (ranah kewenangan di bidang hukum publik). Maka akan
timbul pertanyaan apakah ia tergolong
PMH oleh pemerintah (onrechtmatig overheidsdaad). Jika
mengacu kepada Pasal 1 angka 8 Jo.
Pasal 75-78 Jo. Pasal 85 Jo. Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan maka diketahui saat ini
PMH oleh pemerintah menjadi kewenangan absolut Peradilan TUN, hal inilah kemudian menjadi
irisan bersama khususnya terkait kewenangan ajudikasi khusus Ombudsman.
Kendala Ganti Kerugian di Peradilan TUN
Pasal 51 dan Pasal 52 Undang-undang Pelayanan Publik memang mengamanatkan bahwa masyarakat dapat meminta ganti kerugian kepada penyelenggara pelayanan publik melalui gugatan di pengadilan dalam hal ini di PTUN. Akan tetapi terdapat permasalahan mengenai besaran ganti kerugian yang dapat dimintakan dengan hanya sebatas kerugian materiil yang diderita oleh masyarakat. Jumlah ganti rugi atau pun kompensasi yang dapat dikabulkan melalui Pengadilan TUN saat ini masih dibatasi oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara.
PP Nomor 43 Tahun 1991 tersebut mengatur besaran ganti rugi yang dapat diberikan dalam gugatan melalui Peradilan TUN adalah minimal Rp250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan maksimal Rp5.000.000,- (lima juta rupiah). Sedangkan kompensasi yang dapat diberikan melalui Penetapan Ketua PTUN adalah minimal Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) dan maksimal Rp2.000.000,- (dua juta rupiah). Hal ini tentu tidak adil jika kerugian yang dialami masyarakat lebih besar dari nominal yang ditentukan PP Nomor 43 Tahun 1991.
Selain itu PP ini juga membatasi kemerdekaan pengadilan dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya, bagaimana suatu kekuasaan yudikatif yang mendapat kewenangannya dari konstitusi untuk menjalankan suatu peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain, dibatasi oleh suatu PP yang notabene merupakan otoritas kekuasaan eksekutif yang bertentangan dengan konsep negara hukum yang di dalamnya dituntut kekuasaan kehakiman yang merdeka dari campur tangan kekuasaan lain. Menurut penulis, mekanisme pembayaran ganti kerugian pada Peradilan TUN merupakan substansi dari beracara, karena Peradilan TUN menjalankan kekuasaan kehakiman di bawah MA, maka mekanisme pembayaran ganti kerugian ini sepatutnya diatur dalam Undang-undang selayaknya hukum acara.
Kendala Ganti Kerugian di Ajudikasi Khusus Ombudsman
Pendapat bahwa Ombudsman belum dapat melaksanakan ajudikasi khusus dalam tuntutan ganti kerugian atas pelayanan publik negara dikarenakan belum adanya Peraturan Presiden yang mengatur mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti kerugian menimbulkan satu persepsi bahwa kemampuan Ombudsman dalam menjalankan fungsi tersebut (pelaksanaan sidang) digantungkan kepada pemerintah dalam hal ini presiden. Hal tersebut menurut penulis adalah keliru dan berakibat mendegradasi kewibawaan suatu lembaga negara yang independen, karena kewenangannya digantungkan kepada badan atau lembaga lain.
Membahas sistem persidangan ajudikasi khusus, proses ini dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu tahapan administrasi, tahapan pelaksanaan persidangan dan tahapan eksekusi. Di tiap tahapan tersebut, baik Ombudsman atau pemerintah memiliki fungsinya masing-masing, khusus Ombudsman memiliki fungsi pada tahapan administrasi dan pelaksanaan persidangan, sedangkan pemerintah sendiri memiliki fungsi dalam tahap eksekusi. Untuk dapat melaksanakan persidangan ajudikasi khusus ini Undang-undang Pelayanan Publik Pasal 50 ayat (7) telah memberikan kewenangan kepada Ombudsman sendiri untuk mengatur mekanismenya atau beracaranya sendiri, bahkan sejak tahun 2018 telah terbit Peraturan Ombudsman RI Nomor 31 Tahun 2018 tentang Mekanisme dan Tata Cara Ajudikasi Khusus, jadi tidak digantungkan pada badan ataupun lembaga lain.
Tahap eksekusi atas putusan ajudikasi khusus yang dilakukan Ombudsman bukanlah tugas dan fungsi dari Ombudsman, melainkan tanggung jawab pemerintah yang harus patuh melaksanakan putusan dari ajudikasi khusus tersebut, yang merupakan suatu putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial sebagai kuasi yudikatif yang dilaksanakan dalam suatu tata beracara yang layak, yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang sehingga tidak melaksanakan putusan ajudikasi khusus tersebut berarti pemerintah telah melanggar Undang-undang dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Lain dari pada itu, belum adanya aturan terkait mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti kerugian sebagai pelaksanaan putusan ajudikasi khusus yang dilakukan Ombudsman, yang harusnya diatur dalam Peraturan Presiden sebagai aturan khusus, tidak menghalangi putusan tersebut dapat dilaksanakan, pelaksanaan tersebut masih dapat mengacu pada aturan-aturan yang bersifat umum bilamana aturan khusus tersebut belum ada. Dalam hal aturan-aturan umum terkait mekanisme pengakuan kewajiban sebagai pelaksanaan putusan pengadilan oleh pemerintah secara umum telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan dan peraturan-peraturan turunannya. Dalam Peraturan pemerintah tersebut, secara umum telah mengatur tidak hanya kerangka konseptual dalam akuntansi pemerintahan tentang pengakuan kewajiban tetapi juga mengatur Pernyataan Standar Akuntansi terkait kewajiban (termasuk dalam kewajiban adalah kompensasi dan ganti kerugian oleh pemerintah) akibat dari pelaksanaan putusan pengadilan agar dapat direalisasikan dalam keuangan pemerintah.
Penulis : Mas Agus Aqil, S.E., S.H.