Efisiensi Penyelesaian Laporan Masyarakat
Laporan masyarakat merupakan hal yang tidak bisa terlepaskan dari Ombudsman RI, dalam regulasi secara garis besar tugas Ombudsman adalah melakukan penyelesaian laporan masyarakat dan pencegahan maladministrasi. Sebagai Asisten Pratama Penulis memiliki pengalaman sebagai Asisten Pemeriksaan kurang lebih 1,5 tahun. Selama kurun waktu tersebut Penulis telah menyelesaikan kurang lebih 60 laporan masyarakat dengan klasifikasi mulai dari laporan sederhana hingga berat. Berdasarkan pengalaman tersebut tentunya terdapat beberapa kendala terhadap penyelesaian laporan masyarakat yang secara nyata Penulis alami.
Pertama, banyaknya dokumen administratif sehingga membuat fokus dalam melakukan penyelesaian laporan masyarakat terbagi, dalam proses pemeriksaan setidaknya terdapat 10 dokumen yang harus dibuat misalnya mulai dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Pemeriksaan (SPDP), Berita Acara Laporan Hasil Pemeriksaan Dokumen (BA LHPD), Hasil Pemeriksaan Dokumen (LHPD), tindak lanjut laporan mulai dari membuat surat klarifikasi tertulis, notula permintaan keterangan, hingga berita permintaan keterangan Berita Acara Bedah Laporan Hasil Akhir Hasil Pemerikaan (BA LAHP), Laporan Hasil Akhir Hasil Pemerikaan (LAHP) Berita Acara Rapat Penutupan Laporan (BA RPPL) dan Penutupan Laporan, semua dokumen tersebut harus dibuat oleh Asisten bersamaan dengan penyelesaian laporan, sehingga terkadang dokumen administratif tersebut memecah fokus dalam menyelesaikan substansi laporan.
Kedua, masih kurang efisiennya dokumen yang telah dibuat, dalam pembuatan dokumen mulai dari Penerimaan dan Verifikasi Laporan (PVL) terdapat beberapa dokumen yang memuat informasi sama, misalnya di PVL antara formulir penerimaan laporan dan formulir materiil memuat informasi yang sama yakni kronologi laporan, kemudian ini berulang kembali pada tahap pemeriksaan laporan yakni di dokumen Hasil Pemeriksaan Dokumen (LHPD) dan Laporan Hasil Akhir Hasil Pemerikaan (LAHP), selanjutnya analisis regulasi juga termuat di dokumen yang sama yakni Hasil Pemeriksaan Dokumen (LHPD) dan Laporan Hasil Akhir Hasil Pemerikaan (LAHP), hal ini bisa dikatakan tidak efisien karena terdapat beberapa keterangan atau poin yang sama termuat dalam beberapa dokumen.
Ketiga, terkadang terdapat salah tafsir dalam memahami substansi laporan masyarakat, di Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan, terbagi menjadi 3 (tiga) bidang yakni bidang Penerimaan dan Verifikasi Laporan (PVL), bidang pemeriksaan dan pencegahan maladministrasi, ketiga bidang tersebut tentunya memiliki tugas dan fungsi berbeda namun pada intinya tetap dalam rangka penyelesaian laporan (PVL dan Pemeriksaan), Asisten yang menerima laporan dan yang menyelesaikan laporan berbeda seringkali terdapat mispersepsi/kesalahpahaman sehingga biasannya yang dilakukan adalah dengan kembali bertanya kepada Asisten yang menerima laporan ataupun kepada Pelapor, hal ini tentunya tidak efisien dan akan sangat berpengaruh pada substansi penyelesaian laporan.
Keempat, terkadang dalam melakukan tindaklanjut bersifat langsung dan mengalir, hal ini dapat menyebabkan pada saat melakukan tindaklanjut laporan kurang begitu tepat karena tidak terdapat pedoman berupa indikator pertanyaan yang sesuai dengan analisis dasar hukum.
Beberapa kendala tersebut tentunya membutuhkan solusi sehingga dalam penyelesaian laporan masyarakat dapat tepat dan efisien, pertama terkait dokumen administratif yang terlalu banyak harusnya bisa dikurangi atau menambahkan Sumber Daya Manusia (SDM) baru yang bertugas dalam menyelesaikan dokumen administratif laporan sehingga Asisten dapat fokus untuk menyelesaikan substansi laporan. Terkait dokumen yang memuat poin/keterangan yang sama, harusnya dapat dipangkas dan terfokus pada satu dokumen saja, sehingga tidak berulangkali dalam rangkaian penyelesaian laporan masyarakat memuat keterngan atau poin yang sama.
Selanjutnya terkait dengan kecenderungan salah tafsir dalam memahami substansi laporan dapat diatasi dengan kebijakan satu Asisten menerima sekaligus menagani laporan (piket) sehingga dalam melakukan penyelesaian laporan masyrakat lebih efektif dan tepat sasaran. Terakhir terkait penanganan laporan masyarakat yang bersifat langsung dan mengalir dapat diatasi dengan membuat dokumen, dimana dokumen ini memuat regulasi dan indikator pertanyaan yang sesuai antara fakta di lapangan dan dasar hukum subtansi laporan.
Pada dasarnya beberapa asisten sebelum melakukan tindaklanjut sudah mempersiapkan dasar hukum dan indikator pertanyaan sebagai mata pisau dalam meminta klarifikasi kepada Terlapor, namun belum terakomodir dalam dokumen resmi, sehingga diperlukan dokumen, seperti halnya Arooma (Analisa Regulasi/Prosedur Potensi Maladministrasi), Arooma merupakan suatu terobosan bagi Asisten yang dapat dijadikan guidance atau arahan dalam melakukan tindaklanjut laporan. Dalam Arooma termuat tujuan dan jenis maladministrasi, dasar regulasi, kondisi umum eksisting dan pertanyaan yang relevan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Bisa dikatakan bahwa Arooma hampir sama dengan LHPD namun lebih detail dan kuat karena dalam proses penyusunanya harus berdasarkan pada regulasi. Keberadaan Arooma bagi Penulis dirasa sangat membantu karena sebelum melakukan tindaklanjut setidaknya Asisten sudah mempunyai "senjata" untuk menentukan substansi laporan yang dikeluhkan oleh masyarakat masuk kedalam ranah maladministrasi atau tidak. Proses pembuatan Arooma pun kurang lebih dengan LHPD, sehingga bisa dikatakan dalam penyusunanya harusnya Asisten sudah terbiasa, yang menjadi pembeda adalah didalam Arooma termuat indikator pertanyaan yang relevan dengan dasar hukum sehingga tindaklanjut laporan bisa lebih fokus dan terarah.
Namun, perlu menjadi catatan bahwa antara Arooma dan LHPD memiliki poin/keterangan yang hampir sama, perbedaanya dalam Arooma memiliki pertanyaan yang relevan dengan dasar hukum sehingga hal ini dikatakan sangat berguna dan bermanfaat bagi Asisten untuk melakukan tindaklanjut laporan.
Oleh : Lilik Suryani