Diskriminasi Pendaftaran Tanah
Penghormatan, kecepatan dan pelayanan prima selalu identik dengan tempat yang diprioritaskan bagi seseorang yang memiliki uang. Inilah paradigma kolot yang sudah tidak sesuai dengan zaman dan sering terjadi pada penyelenggara pelayanan publik khususnya sektor pertanahan. Hal yang sering terjadi saat ini yaitu pelayanan diskriminatif dari aparatur kepada masyarakat yang memberikan pelayanan khusus kepada pihak tertentu untuk pengurusan dokumen pertanahan. Hal ini ditandai dengan banyaknya keluhan masyarakat, baik yang disampaikan secara langsung maupun lewat media massa.
Kondisi kehidupan masyarakat terus berkembang sesuai dengan dinamika pembagunan dan tuntutan zaman. Akibatnya, aktifitas kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan tanah semakin hari semakin bertambah dan bahkan semakin kopleks. Bila kompleksitas itu tidak diikuti dengan upaya penertiban maka kelak masyarakat akan membebani dirinya dengan permasalahan pertanahan yang semakin rumit.
Salah satu upaya untuk menjaga agar permasalahan tersebut tidak semakin menjadi beban bagi kehidupan masyarakat, oleh Negara dilakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum terdaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini.
Pemerintah sekarang ini melalui Kementerian ATR/BPN yang mempunyai kewenangan pendaftaran tanah telah berupaya untuk percepatan pendaftaran tanah. Program/proyek yang telah ada sebelumnya seperti, percepatan pendaftaran tanah melalui Proyek Administrasi Pertanahan (PAP),Land Management and Policy Development Project (LMPDP), Proyek Ajudikasi, Larasita dan Program Nasional Agraria (Prona) belum dapat mencapai target pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Program yang terbaru saat ini adalah Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) yang diselengarakan Kementerian ATR/BPN yang menargetkan 126 juta bidang tanah di Indonesia terdaftar dan tersertipikasi keseluruhan pada tahun 2025. Kemudian dijabarkan dalam target-target 5 juta bidang pada tahun 2017, 7 juta bidang pada tahun 2018, 9 juta bidang pada tahun 2019 dan 10 juta setiap tahunnya sampai dengan tahun 2025.
Namun demikian dari berbagai upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah masih saja ada diskriminasi yang sering terjadi,Pertama, Penundaan berlarut dalam pelaksanaanya sering dikeluhkan oleh para pemohon yang akan melakukan pendaftaran tanah, di triwulan ke III ini saja pengaduan yang masuk di Ombudsman Kalsel sudah mencapai 25 laporan dalam kurun waktu 3 bulan. Yang dikeluhkan antara lain persyaratan yang tidak diberitahukan pada saat awal melakukan pendaftaran, tidak kunjung selesai penerbitan sertipikat dalam kurun waktu bertahun-tahun, petugas pengaduan yang acuh tak acuh dalam merespon komplain dari pemohon.
Kedua, Tidak kalah menarik praktik diskriminasi dalam pelayanan pertanahan untuk pengurusan yang menggunakan jasa tertentu atau yang kita sebut (calo) dengan yang datang sendiri yang kita sebut (pemohon langsung) sangat berbeda perlakuannya. Diskriminasi sering terjadi dalam proses pelayanan ini, baik memang karena keteledoran petugas yang lalai bahkan ada yang memang sengaja membedakan proses tersebut. Hal ini dilakukan untuk keuntungan pribadi dan memperkaya diri yang dianggap biasa oleh para oknum petugasnya. Banyak hal yang dapat dilihat dari kejadian ini, budaya meminta imbalan dalam proses birokrasi masih belum hilang, padahal pemerintah sedang menuju arah digitalisasi agar tidak ada lagi praktik-praktik pungutan liar dan kerja sama seperti ini.
Ketiga, Diskriminasi yang kental dengan sistem kekerabatan atau sistem kedekatan, sehingga bagi para pemohon yang datang sendiri dan tidak punya kenalan pegawai Kantor Pertanahan maka akan melalui semua proses tahapan satu demi satu, diskriminasi biasanya dijumpai pada saat tahapan pemeriksaan dokumen yang memerlukan waktu yang tidak singkat karena ada banyak loket dan petugas yang harus dilalui. Selain itu tidak semudah seperti yang dibayangkan untuk dapat melalui proses tahapan tersebut, karena ada saja hambatan baik dalam hal kelengkapan berkas maupun kesiapan petugas dalam melayani.
Keempat, Pembedaan perlakukan khususnya dalam proses waktu penyelesaian pekerjaan masih ada, walaupun tidak terlihat secara nyata. Hal ini dikarenakan masih adanya rasa "malu" sehingga tidak mungkin akan mengatakan langsung kepada pemohon untuk menawarkan "bantuan" untuk proses permohonan sertipikat. Di samping itu juga karena ada larangan dari pihak Kantor Pertanahan apabila ada pegawainya yang secara terang-terangan kelihatan berbaur dan mengadakan transaksi dengan masyarakat di area pelayanan apabila tidak sedang dalam melaksanakan tugas di bidang tersebut.
Berdasarkan analisa data yang terkumpul di lapangan memperlihatkan bahwa aparat pelaksana kegiatan pelayanan pada Kantor Pertanahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat masih ditemukan adanya sikap diskriminasi terhadap para pemohon. Hal ini dapat dilihat dari sikap mereka yang masih saja memperlakukan beda dalam proses kegiatan pelayanan sertipikat tanah, yang ditandai masih adanya penggunaan 'uang pelicin' dalam penyelesaian setiap berkas yang masuk. Sehingga diskriminasi dalam pelayanan masih ditemui, hal ini jelas merugikan masyarakat pengguna jasa karena mereka harus mengeluarkan biaya ekstra.
Diskriminasi pelayanan disini dapat diartikan bahwa masih ada perbedaan perlakuan dari aparat kepada masyarakat. Dimana seharusnya tidak ada perlakukan berbeda terhadap semua pemohon baik itu dari masyarakat umum, notaris, saudara, kenalan, pegawai kelurahan atau yang lainnya. Apabila ada hal-hal yang dapat memudahkan dalam pelayanan sebaiknya disosialisasikan atau diberitahukan secara jelas, begitu juga jika ada hal-hal yang sekiranya dapat menghambat proses pelayanan juga diberitahukan secara jelas, serta perlunya ketersediaan persyaratan dan standar layanan di Kantor Pertanahan, sehingga masyarakat faham dan mengerti serta berusaha untuk mendapatkan kemudahan dalam pelayanan tersebut.
Dengan demikian, setiap penyelenggara pelayanan publik termasuk Kantor Pertanahan harus memiliki standar pelayanan, sebagaimana juga telah diatur dalam Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Undang-undang ini Pasal 21 mengatur 14 komponen standar layanan yang wajib dipenuhi penyelenggara, kemudian melalui Permenpan-RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan digolongkan menjadi 2 (dua) komponen, yakni: pertama, komponen standar pelayanan yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan (manufacturing) yaitu dasar hukum, sarana dan prasarana, dan/atau fasilitas, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan, jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan, serta evaluasi kinerja pelaksana. Selanjutnya, komponen standar pelayanan terkait dengan proses penyampaian pelayanan (Service Point) yaitu persyaratan, sistem, mekanisme, dan prosedur, jangka waktu pelayanan, biaya/tarif, produk pelayanan, penanganan pengaduan, saran dan masukan. Komponen Service Point ini wajib dimaklumatkan serta diketahui pengguna layanan sehingga menjadi pegangan publik.
Hal ini mempertegas bahwa pengabaian terhadap standar pelayanan berpotensi mengakibatkan memburuknya kualitas pelayanan. Misalnya jika tidak terdapat maklumat pelayanan yang dipampang, maka potensi ketidakpastian hukum terhadap pelayanan publik akan sangat besar. Kemudian, Jika tidak terdapat standar waktu dan biaya yang dipampang, maka potensi pungli, calo, dan suap menjadi lumrah di kantor tersebut.
Panjangnya mata rantai birokrasi yang harus dilewati masyarakat pengguna jasa sebagai prosedur dalam pengurusan sertipikat tanah, membuat semakin banyak pihak yang terlibat dan menawarkan jasa dengan biaya-biaya ekstra yang harus dikeluarkan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakatpun juga turut serta memberi andil semakin runyamnya permasalahan pelayanan sertipikat tanah, karena banyak klien yang lebih suka menggunakan jasa calo untuk menyelesaikan urusannya.
Menurut penulis hal utama yang perlu dirubah ialah transparansi dalam setiap pelayanan, khususnya mengenai persyaratan, mekanisme/prosedur dan biaya/tarif semua itu harus di pampang dengan jelas dan terlihat oleh pengguna layanan tanpa di tutup tutupi. Karena pelayanan publik harus mudah diakses oleh siapa pun, tanpa memandang status atau identitas personalnya. Selanjutnya, Aparat dalam melaksanakan tugas perlu mendapatkan perhatian dari unsur pimpinan agar kinerja pelayanan Kantor Pertanahan dapat berjalan lebih baik. Perlunya ditingkatkan kesadaran akan tugas dan tanggung jawab aparat, sehingga tidak perlu terjadi diskriminasi dan budaya uang jasa pada pelayanan sertipikat tanah.
Introspeksi dua belah pihak, baik dari pihak masyarakat atau dari pihak Kantor Pertanahan sendiri. Masyarakat yang bersangkutan terlebih dulu mengikuti proses yang wajar sesuai dengan ketentuan resmi yang ada. Aparat dituntut proaktif terutama dalam setiap menerima pengajuan berkas permohonan, terlebih dahulu memeriksa kelengkapan berkas yang ada dan kemungkinan ada kelebihan atau kekurangan berkas. Jika ditemukan ada pemberian dari seseorang yang tidak ada dalam ketentuan, dengan ikhlas aparat mengembalikannya kepada yang bersangkutan dengan ucapan terima kasih atas perhatian yang telah diberikan.
Perlu memangkas sistem birokrasi dalam tubuh Kantor Pertanahan itu sendiri. Sedapat mungkin masyarakat hanya satu kali saja atau maksimal dua kali datang ke Kantor Pertanahan, untuk berkas permohonan yang diajukan yaitu saat mendaftar dan mengambil sertipikat, sehingga masyarakat tidak perlu datang berkali-kali jika prosedur dan standar pelayanan sudah terpenuhi dan ditepati dalam pelaksanannya.
Penulis :
Wildan Fauzi Muchlis, S.H.,M.H, Asisten Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Provinsi Kalsel