• ,
  • - +

Artikel

Diskresi Dalam Pelayanan Publik menuju 100 Hari Kerja Kepala Daerah
• Minggu, 25/05/2025 • papuaombudsmangoid
 
Ferdinand W.R Payawa, Insan Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Papua.

Setiap pergantian kepemimpinan daerah melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), masa 100 hari kerja pertama selalu menjadi perhatian utama publik. Periode ini di anggap sebagai tolak ukur awal terhadap komitmen dan kapasitas kepala daerah dalam mewujudkan janji politik. Di tengah dinamika birokrasi dan tuntutan publik yang semakin kompleks, diskresi menjadi salah satu instrumen penting dalam pelayanan publik yang bersifat fleksibel. Namun demikian, penggunaan diskresi juga mengandung potensi penyimpangan jika tidak dilandasi prinsip akuntabilitas dan kepatuhan hukum yang kuat.

Untuk memberikan kepastian hukum, dibentuk Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik untuk mengatur hubungan hak dan kewajiban antara masyarakat dan penyelenggara pelayanan publik. Dinamika Penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota di Papua terjadi banyak tantangan yang dihadapi Kepala Daerah terpilih seperti bencana alam, kebijakan efisiensi anggaran, serta beban pinjaman daerah dari pemimpin terdahulu. Hal tersebut menuntut Kepala Daerah harus bersikap dengan menggunakan kewenangan diskresi untuk menjawab persoalan tersebut.

Memahami Konsep Diskresi

Diskresi adalah kewenangan pejabat publik untuk mengambil keputusan dalam situasi yang tidak sepenuhnya diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dalam konteks pelayanan publik, diskresi memungkinkan kepala daerah untuk bertindak cepat dan tepat dalam merespon kebutuhan masyarakat yang mendesak, terutama ketika aturan formal belum tersedia atau belum cukup mengatur kondisi spesifik.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi harus dilakukan dengan pertimbangan yang objektif, proporsional, dan bertanggung jawab. Meskipun diskresi memberikan ruang fleksibilitas, penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip umum pemerintahan yang baik.

Diskresi dalam 100 Hari Pertama

Masa 100 hari pertama seringkali digunakan kepala daerah untuk menunjukkanquick wins atau langkah cepat yang menunjukkan perubahan signifikan. Dalam fase ini, berbagai kebijakan pelayanan publik dikeluarkan untuk menjawab kebutuhan mendesak masyarakat, seperti penanganan kemacetan, bencana alam, kebersihan, kesehatan masyarakat, atau reformasi birokrasi pelayanan.

Namun, tidak jarang kebijakan-kebijakan ini diambil melalui jalur diskresi karena belum sempat dibahas secara mendalam dalam sistem legislasi daerah. Di sini lah tantangan muncul : bagaimana memastikan diskresi tetap berada dalam rel hukum dan tidak menjadi kedok yang sarat dengan kepentingan hutang politik saat pilkada bahkan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan.

Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah bagaimana menggunakan diskresi saat terjadi bencana alam, sebagai kepala daerah tentunya melakukan beberapa langkah-langkah diskresi yang digunakan sesuai dengan ketentuan dan tujuan untuk kepentingan umum. Berikut juga terkait dengan mutasi pejabat eselon II dan III, dimana diskresi diduga digunakan tanpa prosedur, tanpa mempertimbangkan peraturan terkait, tidak transparan, serta mengabaikan hak pegawai, seperti hak untuk mengetahui alasan dimutasi atau hak untuk mengajukan keberatan.

Tantangan dan Risiko

Diskresi yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah serius, seperti konflik kepentingan, keputusan yang tidak konsisten atau bahkan tindakan koruptif. Dalam praktiknya beberapa kepala daerah tergoda untuk menggunakan diskresi sebagai alat pencitraan tanpa kajian yang matang. Misalnya, pengalokasian anggaran untuk program seremonial yang berdampak minim terhadap pelayanan publik atau penunjukan pejabat untuk mengisi jabatan strategis tanpa proses seleksi terbuka.

Resiko lainnya adalah munculnya tumpang tindih kewenangan antara kepala daerah dan instansi teknis, yang pada akhirnya menghambat efektivitas pelayanan. Oleh karena itu, penting adanya mekanisme pengawasan baik dari DPRD, Inspektorat, maupun partisipasi masyarakat sipil sesuai ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Etika Penyelenggara Terhadap Penggunaan Diskresi

Diskresi dan etika penyelenggara pelayanan publik mempunyai hubungan erat, dimana seorang penyelenggara dituntut untuk menggunakan diskresi harus memiliki prinsip-prinsip moral sesuai prinsip penyelenggara pelayanan publik.

Pertama, Penggunaan diskresi yang etis : Diskresi yang etis diharapkan lahir atas petimbangan etika dan prinsip moral yang berlaku. Kedua, Pengambilan keputusan yang adil : Diskresi harus digunakan untuk membuat keputusan yang adil, tidak memihak serta mementingkan kepentingan orang banyak. Ketiga, Transparansi dan akuntabilitasi : Penyelenggara Pelayanan Publik harus transparan dalam penggunaan diksresi dan bertanggung jawab atas keputusan yang di ambil

Implikasi Etika Pada Diskresi

Dalam penggunaan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan, terdapat beberapa implikasi etika seperti Pertama, meningkatkan kepercayaan masyarakat : Penggunaan diksresi yang etis dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pelayanan publik. Kedua, meningkatkan kualitas pelayanan : Etika yang baik dalam penggunaan diskresi dapat meingkatkan kualitas pelayanan publik dan memnuhi kebutuhan masyarakat. Ketiga, mengurangi penyalahgunaan kekuasaan : Etika yang baik dalam penggunaan diskresi dapat mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi dalam pelayanan publik.

Dengan demikian, untuk penguatan kapasitas kelembagaan dalam rangka pengguna diskresi dalam penyelenggaraan pelayanan publik di lingkup Pemerintah Daerah, diperlukan langkah-langkah sebagai upaya, antara lain :

  1. Transparansi Kebijakan Diskresi : Setiap kebijakan diskresi sebaiknya dipublikasikan secara terbuka dengan menyertakan dasar pertimbangannya.
  2. Audit Internal dan Eksternal : Diskresi perlu diawasi melalui audit berkala, untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip tata kelola yang baik.
  3. keterlibatan Publik : Melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik, dapat memperkuat legitimasi kebijakan.
  4. Penguatan Kapasitas ASN : Aparatur sipil negara harus diberi pemahaman dan pelatihan terkait batasan dan etika penggunaan diskresi.

Simpulan

Diskresi adalah alat penting dalam mempercepat pelayanan publik, terutama dalam masa transisi awal kepemimpinan daerah. Namun, tanpa kendali yang tepat, ia bisa menjadi bumerang yang merusak tata kelola pemerintahan. Kepala daerah yang bijak akan memanfaatkan diskresi secara strategis, transparan dan akuntabel, menjadikannya sebagai jembatan antara kebutuhan masyarakat dan keterbatasan regulasi formal. Dengan demikian, 100 hari kerja bukan hanya simbol aksi cepat, tetapi juga landasan bagi pembangunan jangka panjang yang berintegritas.


Oleh : Ferdinand W.R Payawa





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...