Deforestasi dan Analisis Yuridis Persetujuan Lingkungan

Rencana pembukaan lahan untuk kepentingan investasi, termasuk proyek "Sulawesi Palm Oil Belt" dengan luas sekitar 70.000 hektar serta ekspansi sektor pertambangan, berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Risiko deforestasi dan perubahan kondisi ekologis dapat terjadi apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan tata kelola perizinan yang berlaku.
Kondisi ini harus dianalisis berdasarkan perubahan kerangka hukum nasional, utamanya transisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) ke rezim Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker) beserta peraturan pelaksananya, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 (PP 22/2021). Perubahan regulasi ini membawa implikasi terhadap struktur perizinan lingkungan sehingga memerlukan pengawasan guna mencegah terjadinya permasalahan administratif dalam praktik.
Perubahan Rezim Hukum
Perubahan mendasar dalam UU Ciptaker adalah penghapusan nomenklatur "Izin Lingkungan" sebagai izin yang berdiri sendiri. Berdasarkan Pasal 22 angka 35 UU Ciptaker, konsep tersebut diubah menjadi "Persetujuan Lingkungan". Persetujuan Lingkungan didefinisikan sebagai Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (KKLH) atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKLHP) yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Dalam mekanisme baru ini, Persetujuan Lingkungan berfungsi sebagai prasyarat dan terintegrasi langsung ke dalam Perizinan Berusaha. Artinya, dokumen lingkungan tidak lagi menjadi objek yang terpisah, melainkan menjadi dasar penerbitan izin usaha.
Isu dalam perubahan ini adalah revisi Pasal 26 mengenai pelibatan masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta penghapusan Komisi Penilaian Amdal pada pasal 29 - pasal 31 yang menimbulkan implikasi serius terhadap jaminan partisipasi publik dan kualitas pengambilan keputusan lingkungan. Sebelumnya, UUPLH mewajibkan pelibatan masyarakat secara luas, termasuk pemerhati lingkungan dan pihak yang terpengaruh keputusan. Namun, UU Ciptaker membatasi pelibatan masyarakat hanya pada mereka yang"terkena dampak langsung".
Implikasinya di lapangan, temuan lembaga advokasi lingkungan seperti Walhi menunjukkan bahwa pemrakarsa kegiatan sering kali tidak melibatkan masyarakat secara substantif dalam penyusunan dokumen lingkungan[1]. Dengan adanya pembatasan dalam UU Ciptaker, peran organisasi lingkungan hidup sebagai pengawas eksternal menjadi lemah secara hukum. Hal ini berpotensi melegalkan proses penyusunan AMDAL yang tidak transparan dan hanya bersifat formalitas administratif, tanpa mempertimbangkan keberatan substantif dari masyarakat kawasan hutan atau lingkar tambang.
Indikasi Maladministrasi dalam Tata Kelola Perizinan
Penerbitan persetujuan tanpa pemenuhan prosedur yang benar merupakan bentuk maladministrasi. Pasal 1 angka 3 UU 27/2008 mendefinisikan maladministrasi sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam konteks Sulawesi Utara, indikasi maladministrasi dapat timbul apabila pemerintah menerbitkan izin perkebunan sawit atau pertambangan tanpa didasari dokumen AMDAL atau UKL-UPL yang valid. Pasal 24 UU Ciptaker menegaskan bahwa dokumen AMDAL adalah dasar uji kelayakan lingkungan. Jika tahapan ini dilanggar, atau jika konsultasi publik dimanipulasi, maka izin yang terbit sama dengan cacat prosedur.
Selain itu, lemahnya pengawasan pasca-izin juga merupakan bentuk pengabaian kewajiban hukum. Fakta adanya tumpang tindih lahan antara sawit dengan kawasan hutan di beberapa daerah[2], serta aktivitas pertambangan yang tidak melakukan reklamasi, menunjukkan kegagalan fungsi pengawasan pemerintah. Anggota Ombudsman RI, Dr. Hery Susanto, menyebutkan frasa "kutukan sumber daya alam" bahwa kekayaan alam dapat menjadi masalah jika tidak dikelola dengan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel. Pembiaran terhadap pelanggaran lingkungan oleh pemegang izin adalah tindakan maladministrasi yang merugikan publik. Beliau memberikan solusi bahwa perlu dilakukan reformasi tata kelola pelayanan publik.[3]
Perspektif Hukum Administrasi Negara dan Keadilan Lingkungan
Hukum Administrasi Negara mewajibkan pejabat publik bertindak berdasarkan Asas Legalitas dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yang mencakup asas kepastian hukum, keterbukaan, dan akuntabilitas. Budi Handoyo dalam jurnal "Legalitas Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Keadilan dan Hukum Administrasi Negara" menyimpulkan bahwa keadilan lingkungan adalah kesesuaian hak antara kebutuhan manusia dengan lingkungan hidup di sekitarnya yang diatur oleh seperangkat peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, prosedur persetujuan tidak boleh hanya dipandang sebagai prosedur administratif semata. Penegakan hukum lingkungan harus bersifat materiil, bukan sekadar formil. Jika proses penerbitan izin dilakukan secara tertutup, tidak transparan, atau mengabaikan fakta dampak ekologis, maka hal tersebut pada prinsipnya melanggar keadilan. Satjipto Rahardjo, melalui teori hukum progresif, menekankan bahwa hukum harus berfungsi untuk kesejahteraan manusia. Dalam hal ini, administrasi perizinan harus menjamin keselamatan warga dari ancaman bencana ekologis akibat deforestasi.
Peran Ombudsman dan Penegakan Hukum
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Utara memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat terkait dugaan maladministrasi ini. Sesuai amanat UU 37/2008, Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam kasus izin lingkungan yang bermasalah, Ombudsman harus memeriksa apakah pejabat terkait telah mematuhi standar operasional prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah harus memastikan bahwa perubahan nomenklatur menjadi Persetujuan Lingkungan tidak menurunkan standar perlindungan lingkungan. Perubahan regulasi pasca-UU Cipta Kerja menuntut pengawasan yang lebih ketat. Integrasi izin lingkungan ke dalam perizinan berusaha, pembatasan partisipasi publik serta penghapusan komisi penilai amdal merupakan tantangan nyata bagi tata kelola lingkungan. Pemerintah wajib memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap penerbitan persetujuan lingkungan. Segala bentuk penerbitan izin yang mengabaikan prosedur AMDAL dan partisipasi masyarakat yang terkena dampak langsung harus dikategorikan sebagai maladministrasi dan ditindak sesuai hukum yang berlaku demi menjamin kepastian hukum dan keadilan lingkungan.
Penulis: Peserta Magang Ombudsman RI Sulut Jose Tanonggi dengan mentor Stenly Kalengkian Asisten Muda II/Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan








