• ,
  • - +

Artikel

Dapatkah Ombudsman Panggil Paksa Terlapor?
• Jum'at, 24/06/2022 •
 
Saiful Roswandi, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jambi

Istilah panggil paksa atau jemput paksa tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang ada hanya "dihadirkan secara paksa". Akan tetapi istilah tersebut kerap digunakan oleh penyidik, baik itu yang ada di kepolisian maupun di kejaksaan. Lebih khusus lagi dalam menangani perkara pidana.

Kewenangan pemanggilan paksa sudah diatur dalam Pasal 112 ayat 2 KUHAP. Pasal tersebut berbunyi "Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya".

Lantas siapa penyidik yang dimaksud? Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Penyidik adalah (a) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; (b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang- undang.

Lalu bagaimana dengan perkara maladministrasi? Secara aturan, perkara maladministrasi bukanlah perkara pidana. Dan Ombudsman selaku lembaga negara yang diberi amanat menangani perkara maladministrasi tidak memiliki penyidik. Begitu juga dengan Asisten Ombudsman, pegawai yang diangkat untuk membantu tugas Ombudsman, juga bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jadi, dapatkah terlapor dipanggil paksa oleh Ombudsman?

Pada praktiknya, Ombudsman melaksanakan fungsi dan tugas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Dijelaskan bahwa fungsi Ombudsman adalah mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. Ombudsman juga ditugasi untuk menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat atas dugaan maladministrasi. (Lebih jelasnya lihat Pasal 6 dan 7 UU 37/2008 tentang Ombudsman).

Dalam menangani laporan dari masyarakat atas dugaan maladminsitrasi, Ombudsman dibantu oleh Asisten Ombudsman. Akan tetapi, baik Anggota Ombudsman maupun Asisten Ombudsman, bukanlah PNS. Anggota Ombudsman merupakan sembilan orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua) Pejabat Negara yang dipilih oleh DPR RI berdasarkan usulan Presiden untuk menjalankan tugas Ombudsman. Sedangkan Asisten Ombudsman adalah pegawai yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Ombudsman untuk menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam melaksanakan tugasnya, Ombudsman dapat melakukan pemanggilan terhadap saksi atau terlapor secara paksa, setelah terlapor atau saksi tidak memenuhi pemanggilan tiga kali berturut-turut. Hal ini tertuang dalam Pasal 31 UU 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indoensia, yang berbunyi, "Dalam hal Terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa".

Meskipun Ombudsman bukan penyidik Polri atau PNS sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, tentang kewenangan pemanggilan paksa. Tapi Ombudmsan diberi kewenangan oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008. Panggilan paksa tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu meminta bantuan kepada Kepolisian RI.

Itulah yang dilakukan oleh Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Papua ketika menjemput paksa Terlapor Kepala Puskesmas Biak Kota Zeth Mathias Msen. Dari catatan penulis, inilah pertama kali Ombudsman RI selaku lembaga pengawas penyelenggara pelayanan publik, menggunakan kewenangannya menjemput paksa terlapor. Zeth Mathias Msen dijemput paksa oleh Ombudsman Papua setelah berkoordinasi dengan Polres Biak, pada Kamis (23/6/2022).

Penjemputan paksa dilakukan karena Terlapor sudah tiga kali tidak memenuhi panggilan Ombudsman terkait dugaan maladministrasi. Zeth Mathias awalnya dilaporkan memindahkan pegawai Puskesmas Biak Kota ke wilayah terpencil. Pemindahan tersebut tidak melalui prosedur yang benar, hanya karena pelapor mempertanyakan insentifnya sebagai tenaga kesehatan. Artinya, keputusan Zeth Mathias selaku Kepala Puskesmas Biak telah bertindak sewenang-wenang atau bertindak menyalahi prosedur. Delik tersebut masuk kedalam sepuluh bentuk maladministrasi yang ditangani oleh Ombudsman.

Dari kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa sejatinya dalam menjalankan amanat Undang-undang, Ombudsman dapat melakukan pemanggilan paksa kepada terlapor maupun saksi untuk memenuhi panggilan Ombudsman dalam menyelesaikan laporan dugaan maladministrasi.


Oleh: Saiful Roswandi, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jambi





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...