• ,
  • - +

Artikel

Dampak Over Kapasitas pada Lapas
• Selasa, 28/03/2023 •
 
Wildan Fauzi Muchlis - Calon Asisten Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan

Kapasitas kamar untuk enam orang, diisi hingga 12 tahanan. Tidak ada kipas angin, apalagi pendingin ruangan. Warga binaan terpaksa tidur bertumpuk dengan narapidana lain. Sebagai tempat pembinaan narapidana lembaga pemasyarakatan (Lapas) membina narapidana agar menjadi manusia yang lebih baik, yaitu manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, mandiri, terampil, disiplin dan berkesadaran hukum. Hal ini sesuai dengan fungsi sistem pemasyarakatan yang merupakan suatu sistem perlakuan terhadap narapidana, yang menganut sistem pembaharuan pidana penjara berdasarkan Pancasila dan asas kemanusiaan.

Kelebihan kapasitas tahanan terjadi hampir di semua Lapas di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), kelebihan kapasitas ini tentu menimbulkan berbagai persoalan, seperti tidak berlangsungnya tujuan utama dari Lapas, yakni pembinaan terhadap narapidana, serta dapat menimbulkan kejahatan baru akibat kelebihan kapasitas tersebut.

Kepatuhan masyarakat terhadap hukum di Kalsel, sesuai data kejahatan yang dilaporkan menurut Kapolda Kalsel Irjen Pol Andi Rian R Djajadi memaparkan tindak pidana tahun 2022 dari Januari hingga November meningkat sejumlah 6,28%, yakni 5.364 kasus, sementara pada tahun 2021, 5.031 kasus.  Berdasarkan hasil penelitian, penulis mengungkap fakta bahwa secara skala nasional kepadatan hunian Lapas di wilayah Kalsel, masuk urutan kelima se-Indonesia.

Contoh lain, Lapas Perempuan Kelas IIA Martapura Kalsel, kelebihan kapasitas dengan dihuni 534 orang. Sebagian besar adalah terkait kasus narkotika, yakni sebanyak 350 orang. Idealnya perbandingan satu petugas berbanding dengan 20 warga binaan. Namun saat ini satu petugas berbanding dengan 60 warga binaan, bahkan lebih.

Seiring dengan kondisi ini, over kapasitas menimbulkan persoalan di dalam Lapas itu sendiri, seperti menurunnya tingkat pengawasan dan keamanan yang terjadi di dalam Lapas. Sehingga tujuan awal dari Lapas, yaitu sebagai tempat membina narapidana malah memunculkan tingkat kejahatan baru di Lapas. Tingkat kejahatan yang dapat terjadi di Lapas, antara lain tindakan penganiayaan antarnarapidana, pengedaran narkoba di dalam Lapas, atau karena penuh sesaknya berakibat terjadi kebakaran atau kerusuhan, serta kejahatan lainnya.  Peraturan Bersama Tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotik ke Dalam Lembaga Rehabilitasi menyebutkan, bahwa hanya pengedar dan anggota sindikat saja yang dapat dijebloskan ke penjara, sisanya dapat dilakukan rehabilitasi, sedangkan faktanya warga binaan pada Lapas Perempuan Kelas II A Martapura adalah kasus narkotika.

Faktor over kapasitas ini dikarenakan kurangnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum di Indonesia, khususnya hukum pidana. Hal ini dibuktikan dengan tingginya jumlah kejahatan yang dilaporkan di wilayah Kalsel. Hal ini tentu menyebabkan naiknya jumlah penghuni Lapas, sedangkan jumlah kapasitas Lapas cenderung tidak meningkat sejalan dengan peningkatan narapidana dan mengakibatkan kelebihan penghuni pada Lapas.

Over kapasitas juga berdampak pada keadaan yang mengakibatkan sulitnya para warga binaan pemasyarakatan untuk beristirahat dan beraktifitas, sehingga mengakibatkan terganggunya hak-hak warga binaan dan menimbulkan penderitaan baru.

Over kapasitas tentunya akan mempersulit pengawasan, perawatan Lapas, sampai dengan proses evakuasi cepat apabila terjadi musibah seperti kebakaran. Selain itu, membiarkan penjara dalam kondisi buruk pada hakikatnya merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Persoalan kelebihan kapasitas Lapas ditambah minimnya fasilitas dapat menimbulkan tekanan-tekanan psikologis bagi narapidana yang pada akhirnya bisa membahayakan tingkat keamanan dalam Lapas itu sendiri. Belum lagi pengamanan minim di Lapas karena jumlah petugasnya yang minim, sehingga kemungkinan besar para sipir tak mampu membendung aksi anarki para penghuninya.

Hal paling penting untuk mengurangi jumlah orang yang masuk penjara adalah dengan mengurangi kejahatan dan menyadarkan masyarakat untuk memahami aturan dan dampak yang timbul dari tindakan kriminal tersebut. Selain itu, kondisi lapas over kapasitas membuat anggaran yang dikelola pemasyarakatan menjadi bertambah. Hal ini membuat rawan praktik penyimpangan.

Jika dicermati, yang membuat penjara penuh yaitu angka kejahatan yang meningkat dan kurang maksimalnya penggunaan jenis pemidanaan lain selain penjara, di dalam  Pasal 10 KUHP sebenarnya dijelaskan bahwa ada lima jenis pidana pokok,  yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, denda dan tutupan. Akan tetapi kenyataannya putusan pidana penjara lebih sering dijatuhkan sehingga menyebabkan pidana pokok lain sering terlupakan.

Salah satu upaya untuk mengurangi over kapasitas Lapas dapat dilakukan dengan membangun sistem pemidanaan penjara yang menjadikan penjara sebagai solusi terakhir. Sehingga yang dikedepankan adalah upaya pemenjaraan di luar Lapas, seperti mendahulukan upaya musyawarah kekeluargaan atau upaya rehabilitasi lebih dulu, sehingga tidak langsung dipenjarakan.

Solusi yang bisa ditempuh pemerintah atau instansi terkait ialah, pertama, mengurangi warga binaan, salah satunya dengan pembaruan sistem peradilan pidana untuk tidak lagi bergantung pada pidana penjara, serta perubahan paradigma harus disegerakan. 

Kedua, polisi, jaksa, dan hakim harus didorong untuk memiliki perhatian pada kondisi Lapas. Bisa dimulai dengan mendorong penggunaan alternatif pemidanaan nonpemenjaraan, termasuk untuk kasus pengguna narkotika yang angkanya begitu banyak.

Ketiga, kesiapan rumah sakit rehabilitasi untuk warga yang terjerat narkoba, serta perlunya koordinasi antarinstasi, seperti Kementerian Kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk para warga binaan, juga bisa dibantu oleh Kementerian Sosial dalam cara pemulihan pemenuhan hak sosialnya.

Saran penulis, agar para penegak hukum lebih mengedepankan pendekatan restorative justice dalam kasus kejahatan ringan, atau melakukan rehabilitasi untuk kasus penyalahgunaan narkotika (kecuali residivis). Hal ini nantinya akan berpengaruh pada jumlah narapidana di dalam Lapas dan akan berpengaruh juga dalam proses pembinaan narapidana.


Wildan Fauzi Muchlis - Calon Asisten Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...