Cegah Korupsi Melalui Pembentukan Desa Anti Maladministrasi
Selama kurun waktu 12 tahun keberadaan Perwakilan Ombudsman RI Provisi Kalimantan Selatan, keluhan mengenai pelayanan publik desa acap kali masuk berulang ke meja pengaduan Ombudsman. Bahkan, sejak tahun 2015 keluhan mengenai pelayanan publik desa masuk di ranking tujuh besar.
Padahal, Pasal 74 Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menegaskan bahwa belanja desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang meliputi pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan masyarakat desa, serta tetap berpihak pada sistem pengelolaan yang transparan dan akuntabel.
Berkaca pada laporan yang disampaikan masyarakat, sejumlah temuan Ombudsman banyak mengindikasikan terjadi maladministrasi, seperti dalam laporan pelayanan administrasi kependudukan saja sebagian besar desa ditemukan belum memiliki media penyebararan informasi pelayanan administrasi sebagaimana Pasal 8 huruf e angka (2) Permendes Nomor 22 Tahun 2016 dan Pasal 6 Ayat 2 Permendagri Nomor 2 Tahun 2017, yang mengamanatkan agar aparat pemerintahan desa menggelar keterbukaan informasi agar mendorong masyarakat yang partisipatif.
Jenis laporannya pun beragam, mulai dari adanya dugaan penyalahgunaan pengelolaan dana desa yang dilakukan oleh oknum kepala desa ataupun melibatkan sejumlah perangkat desa, tidak transparan dan tidak adanya pelibatan/partisipasi warga desa atas perencanaan program dan pelaksanaan, hingga indikasi penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat desa, kerap menjadi keluhan teratas yang disampaikan.
Dalam aspek pelayanan publik Ombudsman Kalsel juga menerima keluhan maladministrasi di desa, seperti tidak memberikan pelayanan, permintaan imbalan, uang atau barang/jasa (pungli), penyimpangan prosedur, diskriminasi, tidak ada standar pelayanan publik dan pengelolaan pengaduan yang tidak kompeten, tidak tertib administrasi, non partisipatif publik, dan tidak lengkapnya bukti-bukti penggunaan pengelolaan dana desa, sampai pengabaian kewajiban kewenangan.
Padahal bila disorot dari aspek filosofis, desa adalah elemen pertama dan utama untuk membangun pelayanan publik negara. Maka penting untuk memberikan perhatian serius berkaitan tata kelola pemerintahan desa termasuk mencegah korupsi masuk desa.
Dari sudut pandang Ombudsman, pintu pertama dan utama korupsi adalah maladministrasi. Apalagi dengan digulirkannya dana desa yang jumlahnya mencapai 1 miliar rupiah, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi migrasi korupsi dari kota ke desa,
Di sisi lain, faktanya masih banyak perangkat desa termasuk kepala desa, belum dibekali kemampuan leadership yang mumpuni, kurangnya kemampuan manajemen organisasi dan manajemen tata kelola, dan tertibnya administrasi desa, sampai aspek utama, yaitu pengetahuan anti korupsi dan anti maladministrasi.
Imbasnya pelayanan publik desa tidak maksimal, perangkat atau oknum kepala desa menjadi tersangka korupsi dan perbuatan melawan hukum lainnya, pembangunan dan kesejahtreraan desa lambat, terlebih hak warga untuk medapat pelayanan prima menjadi tinggal angan semata-mata.
Menyikapi ini harus ada upaya serius, baik pemerintah pusat dan daerah untuk terlibat aktif dalam upaya peningkatan pelayanan publik desa, termasuk mencegah perilaku koruptif dan maladministratif. Jangan sampai para kepala desa terus berurusan dengan aparat penegak hukum, bolak balik di kepolisian, kejaksaan ataupun pengadilan karena terjerat kasus hukum yang efeknya menghambat pembangunan kesejahteraan warga desa.
Saatnya publik desa benar-benar merasakan kehadiran negara dalam wujud pelayanan publik prima yang nyata, tidak hanya makan "janji surga" pejabatnya saja, tapi mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Salah satu inovasi yang digagas Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman Kalsel tahun ini yakni membentuk Desa Anti Maladministrasi. Gagasan mengenai desa anti maladministrasi muncul dari perjalanan panjang menindaklanjuti banyaknya laporan dugaan maladministrasi di banyak kantor desa, kajian dan penelitian, serta monitoring layanan layanan publik di desa. Selain banyaknya kepala desa dan perangkatnya yang curhat atau kami sebut Konsultasi Non Laporan (KNL) berkaitan sulitnya membangun pelayanan publik di desa.
Kekhawatiran masyarakat di desa yang takut desa mereka menjadi "sarang" rawan terjadinya maladministrasi dan korupsi, menjadi isu utama yang harus diprioritaskan. Oleh karena itu penting ada upaya konstruktif dan progresif, untuk memecahkan problem di desa .
Berangkat dari kondisi tersebut, Ombudsman Kalsel sebagai lembaga negara yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik di daerah perlu untuk berinovasi sebagai upaya pencegahan maladministrasi pada kantor-kantor desa di sejumlah kabupaten di Kalsel. Salah satunya dengan menawarkan konsep membentuk Desa Anti Maladministrasi.
Aspek penting lainnya agar Ombudsman dan pemda melakukan pengawasan yang berbasis pada penyelenggaraan pelayanan publik dan upaya pencegahan, serta menjaring keluhan warga, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Sehingga diketahui potensi maladministrasi yang terjadi dan saran perbaikan yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik dan upaya pencegahan maladministrasi pada kantor-kantor desa tersebut.
Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman Kalsel menjadikan program ini sebagai prioritas di tahun 2022. Sebagai proyek perubahan serta upaya masif dalam pelaksanaan pencegahan maladministrasi dan korupsi pelayanan publik di daerah, terlebih lagi di desa.
Berdasarkan sejumlah pertimbangan, data, sosiologi, karakter daerah, topografi dan geografi, serta dinamis dan beranekanya penduduk maka Ombudsman Kalsel memilih salah satu Kabupaten di Kalimantan Selatan, yakni Kabupaten Kotabaru sebagai proyek pertama.
Dipilihnya Kabupaten Kotabaru sebagai pilot project merupakan tantangan tersendiri dalam program pencegahan korupsi dan malaadministrasi, mengingat kabupaten ini terletak paling jauh dari ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, dan memiliki jangkauan atau akses pelayanan publik yang terpisah antar pulau. Singkatnya, kabupaten ini dipilih karena masyarakat yang heterogen dan mewakili kebhinekaan di Indonesia, atau bisa disebut "Indonesia Mini". Bahkan terdapat 198 desa yang memiliki karakter dan keunikan yang berbeda-beda.
Selain itu, komitmen kepala daerah dan keaktifan Inspektorat Kotabaru selama dua tahun terakhir dalam mengupayakan gerakan-gerakan anti maladministrasi, merupakan modal utama terselenggaranya program perubahan ini.
Setidaknya ada tiga ciri utama sebuah desa antimaladministrasi, yaitu pertama, pemenuhan standar pelayanan pada proses penyelenggaraan pelayanan publik di kantor desa di Kabupaten Kotabaru. Kedua, partisipasi warga desa terhadap pembangunan desa dan proses penanganan pengaduan pelayanan publik masyarakat di desa. Ketiga, membentuk Desa Anti Maladministasi di Kabupaten Kotabaru dengan didukung oleh peraturan atau keputusan kepala daerah (bupati).
Ketiga unsur di atas diharapkan bisa membangun komitmen percepatan pelayanan pulik di desa sekaligus menghindarkan dari perilaku koruptif dan maladministratif dengan dilakukan pengawasan secara berjenjang dan evaluasi secara efektif .
Setidaknya dampak nyata yang diharapkan akan muncul secara berkembang kantor kantor desa yang lengkap standar pelayanan publiknya, menempatkan petugas front office dan pengelola pengaduan yang kompeten, sehingga ahli meninklanjuti keluhan publik secara professional, adil dan solutif, dan jauh lebih penting cepatnya perbaikan sikap melayani pelayanan publik yang orientasi kepada unggul, tranparan, akuntabel, partisipatif serta berkualitas.
Ombudsman berharap Desa Anti Maladministrasi akan menyebar ke seluruh pelosok negeri, menebarkan perubahan pelayanan publik yang lebih manusiawi dan berkeadilan, dan yang utama menjadikan desa sebagai pusat perbaikan peradaban pelayanan publik bangsa Indonesia.
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalsel