Buruk Rupa GOR Agus Salim
Padang Ekspres (Padeks) edisi Senin (08/05), memuat sorotan saya mengenai pengelolaan GOR Agus Salim (GHAS). "Pengelolaan GHAS Disorot", demikian judul berita Padeks. Sorotan saya bukan tak beralasan. Dua kali berkunjung ke GHAS tahun ini, masalah saya sama, saya kesulitan mencari toilet. Bayangkan, di pusat olahraga kebanggaan urang minang, etalase olahraga urang awak Sumatera Barat, mencari toilet saja susah.
Kali pertama saya berkunjung ke GHAS, pada saat pembukaan Liga Top Skor besutan komentator sepak bola terkenal, Bung Yuke, (5/3/2023). Anak saya kebetulan tergabung dalam Tim Persepal U14. Saat bertanya pada petugas di mana toilet, saya justru diarahkan ke Masjid yang agak jauh dari GHAS. Menurut petugas, di ruangannya ada toilet tapi hanya untuk petugas. Karena kebelet, saya minta izin untuk memakai toilet petugas itu yang berada di lantai 2, sebelah kiri pintu utama GHAS.
Kali kedua, kemarin Minggu (08/05), putaran ke-4 Liga Top Skor Sumbar yang kembali digelar di GHAS. Kali ini, anak perempuan saya yang butuh ke toilet. Saya coba pinjam lagi toilet petugas. Kata petugas toilet rusak, air tak ada. Saya kembali disarankan mencari toilet di sekitar GHAS. Malang lah saya.
Saya terus mencari toilet, setelah berkeliling setengah putaran di GHAS, saya ketemu toilet, tapi dikelola oleh masyarakat, bayar Rp2.000,00 tanpa karcis, lokasinya di sebelah kanan GHAS. Di pintu toilet tertulis "BAB 3000, BAK 2000, Mandi 5000, TIDAK MELAYANI GRATIS".
Saya menyeringit, lagi-lagi publik harus mengeluarkan uang atas penggunaan fasilitas publik, tanpa tahu apa dasar hukumnya, dan uang itu untuk siapa. Bukankah itu yang disebut dengan pungutan liar (pungli)? Pembayaran atas sebuah jasa layanan publik, tapi tidak ada dasar hukumnya. Tak peduli Rp1.000,00 atau Rp2.000,00 yang penting legal atau tidak.
Atas kejadian ini, saya jadi teringat fasilitas toilet di Pasar Atas Bukittinggi, saya bayar Rp4.000,00, namun di pintu toilet ada informasi dasar hukum Peraturan Daerah (Perda) dan ada karcisnya. Dalam hal ini Erman Safar selaku Walikota Bukittinggi, bagi saya lebih "oke", perlu diapresiasi.
Sama halnya dengan pembayaran tarif parkir di Pantai Pariaman saat lebaran. Saya bayar Rp10.000,00 sekali parkir, agak mahal. Tapi tak apa-apa, karena di lokasi parkir ada informasi dasar hukum, dan ada karcisnya, di karcis juga tertulis Rp.10.000, 00, legal. Dalam hal ini juga, Walikota Pariaman Genius Umar, juga "oke". Publik patut memberikan pujian.
Dua contoh di atas, tentu berbeda dengan pungutan parkir di Pantai Carocok yang viral itu, di karcis tertulis tarif hanya Rp5.000,00 tapi petugas memungut Rp10.000,00. Kata petugas, Rp5.000,00 lagi untuk pemuda. Apa ini? Pungli atas nama pemuda?. Dalam masalah ini, bagi saya Bupati Rusma Yul Anwar kurang "oke". Publik perlu untuk terus mengawasi, memberikan kritik dan saran.
Kembali ke GHAS, apakah masalah toilet di GHAS hanya masalah saya? Tentu saja tidak. Ini masalah publik, GHAS adalah fasilitas publik yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Saya hanya menyediakan diri untuk speak up, berani bicara. "Awasi dan laporkan" itu sebaiknya sikap kritis masyarakat selaku pengguna layanan publik.
Buruk rupa pengelolaan GHAS tidak hanya berkaitan dengan fasilitas toilet saja. Permasalahan pengelolaan GHAS lainnya adalah fungsi ruang yang kurang jelas, acak, dan tumpang tindih satu sama lain. Itu yang membuat GHAS kesannya semrawut.
Selain itu, masih ada permasalahan pengelolaan parkir, jalan di sekitar GHAS masih ada yang berlubang, penataan taman, rumput panjang tak di potong, penataan pedagang, penataan gedung-gedung yang ada di GHAS, dan lain-lain.
Secara umum, publik menginginkan GHAS yang tacelak, bersih, rapi dan tertata. Sehingga menjadi pusat olahraga yang representatif dan membanggakan kita semua. Periodesasi duet Gubernur Buya Mahyeldi dan Wakil Gubernur Uda Audy bakal tak lama lagi. Kita menunggu lekat tangan pasangan kepala daerah ini dalam menata GHAS. Semoga.
Adel Wahidi
Kepala Keasistenan Pencegahan Ombudsman Sumbar