Belajar dari Kasus Bima, Ketika Krisis Melanda, Pengelola Pengaduan Harus Sigap dengan Aksi Nyata
Siapa yang tak mengenal Bima Yudho alias @awbimaxreborn? TikTokers sekaligus pelajar Indonesia di Australia ini namanya tengah menjadi sorotan publik karena aksi beraninya dalam mengkritik infrastruktur Pemerintah Provinsi Lampung sebagai salah satu produk pelayanan publik.
Menilik hal tersebut, lantas apa yang seharusnya kita lakukan ketika terjadi krisis di sebuah organisasi atau perusahaan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V mendefinisikan krisis sebagai keadaan yang berbahaya, genting, dan suram. Sementara menurut Renald Kasali (1994), krisis adalah suatu turning point yang dapat membawa permasalahan ke arah yang lebih baik (for better) atau lebih buruk (for worse). Berdasarkan kedua definisi tersebut, maka ketika terjadi krisis sebuah organisasi atau perusahaan harus melakukan upaya mitigasi dengan cepat dan tepat agar dapat mengembalikan kepercayaan publik.
Krisis itu dapat menjadi sebuah ancaman sekaligus peluang, seperti halnya hasil penelitian Putri (2014) yang berjudul "Krisis, Ancaman atau Peluang", menyatakan bahwa krisis dapat menjadi ancaman atau peluang tergantung bagaimana organisasi atau perusahaan dalam memanajemen krisis tersebut. Fungsi manajemen krisis adalah untuk menanggulangi dan mengantisipasi datangnya krisis yang tak terduga dan sangat mendadak.
Di setiap organisasi atau perusahaan biasanya memiliki divisi Public Relation (PR), saat terjadi krisis maka PR lah yang berperan sebagai ujung tombak perusahaan. Dikutip dari laman midtrans.com, terdapat lima langkah penanganan krisis PR untuk mendapatkan kepercayaan pelanggan, yaitu akui kesalahan yang dilakukan, menekankan track record positif perusahaan, tunjuk orang untuk menjadi juru bicara, buat perencanaan khusus untuk media sosial, dan ubah krisis menjadi kesempatan emas. Penanganan krisis dapat dilakukan dengan baik ketika organisasi atau perusahaan memiliki kerja sama yang kuat secara internal.
Dalam kaitannya dengan penyelenggara pelayanan publik, komunikasi krisis juga wajib dilakukan oleh pengelola pengaduan. Kasus Bima menunjukkan sebuah potret masyarakat Indonesia saat ini sudah sangat melek dengan penggunaan teknologi guna menyuarakan rasa ketidakpuasannya atas kinerja pemerintah daerah, sehingga tak dapat dipungkiri hal tersebut juga dapat terjadi pada penyelenggara pelayanan publik lainnya.
Sebagai contoh, penulis memiliki pengalaman buruk atas pelayanan publik di salah satu rumah sakit. Kemudian penulis mencoba menyampaikan aduan melalui kanal Google Review. Apa yang dilakukan oleh pihak rumah sakit? Salah satu petugas mendatangi ruangan lalu mengajak penulis untuk memasuki ruangan tertentu dan di dalam ruangan tersebut terdapat tiga orang petugas. Lalu, apa yang terjadi? Penulis sempat diintimidasi karena dianggap mencoreng citra pelayanan di rumah sakit tersebut dengan menulis aduan pada kanal Google Review yang seharusnya menurut petugas dapat dilakukan cukup melalui pengisian kotak saran. Tak hanya diam, penulis pun memberikan konfirmasi, "Apakah dengan saya menyampaikan aduan lewat kotak saran, dapat langsung ditangani?" bukankah ini Era Society 5.0, dimana masyarakat dapat menggunakan teknologi untuk menyampaikan keluhannya, termasuk pada kanal Google Review yang notabene rating-nya pun mengalami penurunan dari 4.5 menjadi 3.8. Artinya, pelayanan di rumah sakit ini memang terjadi penurunan dan itu harusnya menjadi evaluasi. Mendapat konfirmasi tersebut, pihak petugas rumah sakit tetap melakukan pembelaan diri dan cenderung menyatakan bahwa terkait hal tersebut seharusnya dilaporkan kepada pihak managerial perusahaan.
Sekelumit cerita di atas sekaligus menjadi gambaran bahwa masih terdapat petugas pengelola pengaduan di penyelenggara pelayanan publik yang belum memiliki pemahaman literasi digital, sehingga masih berpaku pada penanganan aduan secara tradisional. Padahal, di era sekarang seharusnya para petugas pengelola pengaduan mampu mengimbangi kemampuan diri dengan kemajuan zaman yang semakin cepat. Penyampaian aduan melalui cara-cara tradisional semakin jarang dilakukan, masyarakat lebih memilih penggunaan teknologi yang dianggap lebih efisien dan memiliki pengaruh besar karena dapat langsung dilihat oleh pengguna layanan lainnya.
Dalam penanganan krisis, petugas pengelola pengaduan di rumah sakit tersebut juga belum membangun komunikasi internal. Hal ini terlihat dari penjelasannya yang menyatakan bahwa terkait hal tersebut seharusnya dilaporkan kepada pihak managerial perusahaan. Padahal masyarakat sebagai pengguna layanan hanya perlu mengetahui bahwa aduannya telah diterima dan ditangani dengan cepat dan tepat sebagai wujud nyata penanganan pengaduan. Terkait eskalasi aduannya ditangani langsung oleh pihak managerial atau petugas pengelola pengaduan itu cukup menjadi panduan secara internal perusahaan, yang terpenting adalah output-nya berupa kualitas penanganan aduan.
Mekanisme pengelolaan pengaduan yang jelas di internal penyelenggara pelayanan publik menurut penulis menjadi sangat penting agar ketika terjadi krisis seperti ini tidak terkesan ceroboh dan saling lempar tanggung jawab.
Fauziah Kurniati - Calas Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bengkulu