Balada Jaminan Kesehatan
Kesehatan, masuk dalam satu kebutuhan layanan dasar kita sebagai manusia. Saking pentingnya layanan kesehatan, pemerintah bahkan menempatkan jaminan kesehatan dalam UUD NRI 1945, sebagai hukum tertinggi di Indonesia. Pasal 28H ayat (1) misalnya, jelas disebutkan setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Konsekuensi logis dari ketentuan tersebut, maka pemerintah wajib menyelenggarakan layanan kesehatan dan menyediakan fasilitas penunjang dalam rangka pemenuhan pelayanan kesehatan tersebut.
Jika dilihat berdasarkan UU tentang Kesehatan. Pelayanan kesehatan terbagi, yakni satu, layanan preventif, yang merupakan kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Dua, pelayanan kesehatan kuratif, yakni kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Ketiga, pelayanan kesehatan rehabilitatif, yang merupakan kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya. Keempat, pelayanan kesehatan tradisional, yakni pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun, yang secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Dari empat jenis layanan kesehatan tersebut, layanan kesehatan nomor dua (pelayanan kesehatan kuratif), termasuk layanan yang paling sering dilaporkan masyarakat pengguna layanan kesehatan, baik pada tingkat puskesmas, maupun rumah sakit, ke Ombudsman. Misalnya dalam bentuk layanan pemeriksaan kesehatan oleh dokter, yang masuk dalam kategori layanan publik di bidang jasa. Pelapor mengeluhkan dokter sering datang terlambat ke poli pemeriksaan pasien, bahkan tidak datang, tanpa pemberitahuan, sehingga menimbulkan kekecewaan pada pasien, yang telah menunggu lama, namun tak dapat melakukan pemeriksaan kesehatan. Ketidakhadiran dokter juga dikeluhkan pasien rawat inap, yang menyampaikan bahwa tidak setiap hari dokter datang ke kamar pasien untuk memeriksa kondisi pasien, sehingga pasien merasa bertanya-tanya bagaimana kondisinya, apakah membaik atau tidak. Tak hanya pasien, pihak rumah sakit juga dibuat bingung terhadap dokter yang tidak kunjung datang pada layanan poli, sementara pasien terus bertanya "kapan dokternya datang". Pihak rumah sakit telah berupaya menghubungi dokter, namun tetap tidak mendapatkan informasi terkait kehadiran dokter, yang tidak memberikan kabar dan konfirmasi apapun ke pihak rumah sakit. Sehingga rumah sakit harus mencarikan dokter ganti, agar layanan kesehatan poli tetap dapat terlaksana.
Selain layanan publik kesehatan pada sektor jasa, ketersediaan alat kesehatan dan obat, yang masuk dalam ketegori layanan publik di bidang barang, juga sering dilaporkan masyarakat ke Ombudsman. Di awal tahun 2022 misalnya, pasien mengeluhkan adanya kekosongan obat di salah satu rumah sakit milik pemerintah daerah, di Kalimantan Selatan. Pasien yang sedang sakit, hanya mendapatkan pemeriksaan kesehatan, tanpa obat sebagai sarana penunjang kesehatannya. Pihak apotek rumah sakit hanya memberikan kertas semacam bon kepada pasien, untuk kemudian dapat mengambil obat dimaksud, jika sudah tersedia di apotek. Padahal berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, pasien membutuhkan obat saat itu juga, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses penyembuhan pasien dapat mengalami keterlambatan/gangguan karena obatnya tidak tersedia.
Dua permasalahan tersebut menjadi sebuah balada yang seakan tak kunjung tuntas, karena selalu terulang dan menjadi laporan berulang di Ombudsman. Oleh karena itu, penting untuk pemerintah/pemerintah daerah memberikan perhatian khusus terhadap layanan kesehatan, baik dari segi kebijakan dan anggaran. Khususnya ketersediaan tenaga kesehatan, pemerintah daerah dapat menjalankan fungsi pengawasannya, baik memberikan sanksi teguran, bahkan pemberhentian terhadap tenaga kesehatan yang tidak mendukung jalannya pelayanan kesehatan yang aman, mudah, murah, cepat, sebagaimana amanah UU Kesehatan. Dan memberikan perhatian terhadap terpenuhinya jumlah tenaga kesehatan untuk mengisi posisi tenaga kesehatan, baik di puskesmas ataupun rumah sakit. Sehingga tak lagi ada problem, masyarakat tidak dilayani karena pusat fasilitas layanan kesehatan kekurangan tenaga kesehatan/dokter.
Pemerintah juga harus menaruh perhatian lebih terhadap ketersedian obat sebagai bagian dari layanan kesehatan. Melalui fungsi pengawasan dan anggaran, agar apotek rumah sakit atau puskesmas tak kekurangan obat. Tak hanya itu, bahkan sarana prasarana seperti, bangunan/tempat layanan kesehatan, alat kesehatan, yang juga menjadi salah satu penunjang layanan kesehatan juga harus mendapatkan perhatian khusus, sehingga masyarakat benar-benar merasa bahwa layanan kesehatan memang telah dijamin penyelenggaraannya oleh negara, sebagaimana amanat UUD NRI 1945 di atas.
Komitmen pemerintah untuk memperbaiki layanan kesehatan, baik dari ketersediaan tenaga kesehatan ataupun ketersediaan obat, juga berpotensi untuk mencegah maladministrasi pada layanan kesehatan tak kembali terulang setiap tahunnya. Tak hanya pemerintah, kepada masyarakat yang mengakses layanan kesehatan, juga dihimbau untuk terus berkontribusi dalam mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas dengan cara, menjaga sarana/prasarana layanan kesehatan dan ikut dalam mengawasi penyelenggaraan layanan kesehatan, baik dengan menyampaikan dugaan penyimpangan yang terjadi kepada pihak rumah sakit/puskesmas, ataupun dengan melaporkannya ke Ombudsman sebagai pengawas pelayanan publik.
Penulis: Zayanti Mandasari (Asisten Ombudsman RI Kalsel)