• ,
  • - +

Artikel

Aspek Humanisme dalam Pelayanan Publik dalam Kisah Teladan dari Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khattab R.A.
• Selasa, 17/12/2024 •
 
gambar hanya ilustrasi (http://ilikesunflower.wordpress.com)

Menurut Sumasno Hadi (2012) dalam suatu artikel bertajuk "Konsep Humanisme Yunani Kuno dan Perkembangannya dalam Sejarah Pemikiran Filsafat, Humanisme diartikan sebagai pemikiran filsafat yang mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal". Dalam konteks pelayanan publik sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dipenuhi oleh pemerintah kepada masyarakat luas, terdapat beberapa faktor yang menentukan keberhasilan dari upaya menyeimbangkan aspek humanisme dengan penyelenggaraan pelayanan publik antara lain;

1. Kegiatan birokrasi yang dilaksanakan dengan memperhatikan batasan kekuasaan yang memperhatikan aspek kepastian, kejelasan, dan kemanfaatan;

2. Adanya hierarki kewenangan yang diatur secara konstitusional;

3. Adanya aturan yang jelas tentang kewajiban, tanggung jawab, dan kode etik penyelenggara pelayanan publik; dan

4. Penyelenggaraan pelayanan publik yang bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan maladministrasi secara berkelanjutan.


Aspek humanisme dalam pelayanan publik sendiri dapat diartikan sebagai pengejawantahan dari perbuatan seorang pejabat pelayanan publik dalam memperlakukan orang lain dengan memperhatikan sisi kemanusiaan dari orang, kelompok, atau masyarakat tersebut sehingga apabila individu atau kelompok menjadi bagian dari administrasi publik, maka dalam memberikan pelayanan harus pula memperhatikan sisi humanis dari masyarakat yang dilayaninya (Tunggul Prasodjo: 2017). Hal tersebutlah yang menjadi harapan besar bagi masyarakat sekaligus menaikan exposure dan atensi dari pelayanan publik sendiri agar selaras dengan kebutuhan moril dari kehidupan masyarakat di suatu negara.


Dalam sejarahnya, pola penyelarasan antara aspek humanisme dalam penyelenggaraan pelayanan publik pernah diterapkan secara paripurna dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab selaku khalifah kedua Umat Islam pada masa pemerintahan Khulafahur Rasyidin. Dikisahkan dalam suatu peristiwa pada zaman itu, terdapat suatu proyek pembangunan sebuah masjid yang pada saat itu dijalankan dan dikelola oleh Gubernur Mesir sebagai fasilitas umum penting untuk sarana ibadah, berkumpul, sekaligus sebagai pusat kegiatan masyarakat pada saat itu. Namun pada perkembangannya, proyek pembangunan ini mendapatkan permasalahan agraria dengan salah satu penduduk beragama Yahudi di sekitar area pembangunan dimana panitia pembangunan bermaksud untuk mengambil tanah dan bangunan gubuk reyot dari penduduk Yahudi tersebut dengan menawarkan bayaran tinggi dengan sedikit daya paksa dan pada akhirnya dilakukan upaya paksa untuk menetapkan kebijakan dalam membongkar gubuk reyot tersebut dengan alasan demi kepentingan bersama dan memperindah pemandangan sekitar proyek masjid yang akhirnya peristiwa diadukan penduduk Yahudi tadi kepada Khalifah Umar bin Khattab.


Dalam pertemuannya dengan Khalifah Umar bin Khattab, penduduk Yahudi tersebut mengadukan perbuatan tersebut kepada sang Khalifah mengenai kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Gubernur Amr bin Al-Ash atas tanah dan bangunan yang dimilikinya. Pada akhirnya, Umar bin Khattab menanggapi aduan tersebut melalui sebuah tulang yang digoreskan suatu garis berbentuk huruf alif kepada penduduk Yahudi tersebut untuk dibawakan kepada Gubernur Amr bin Al-Ash dimana dikemudian hari diketahui bahwasanya sebuah tulang tersebut bermakna suatu teguran dan penolakan keras terhadap apa yang dilakukan oleh Gubernur Amr bin Al-Ash kepada penduduk Yahudi tadi sekaligus mengingatkan bahwa kekuasaan dan jabatan yang disandang beliau saat itu hanya bersifat sementara dan akan berakhir dengan kematian yang diibaratkan dengan tulang yang diberikan tersebut. Pada akhirnya, Gubernur Amr bin Al-Ash menyerahkan tanah dan bangunan tersebut kembali kepada penduduk Yahudi tersebut namun penduduk Yahudi tersebut merasa terharu dan takjub terhadap kepemimpinan Umar bin Khattab yang memperhatikan aspek humanisme dan ketaatan Gubernur Amr bin Al-Ash kepada pimpinannya sehingga penduduk Yahudi tersebut masuk Islam dan menyerahkan tanah dan bangunan tersebut secara sukarela sebagai wakaf kepada Gubernur Mesir pada saat itu. Dalam perkembangannya, proyek tersebut berhasil dijalankan dan aspek humanisme di dalamnya juga berhasil terlaksana dengan baik.


Melalui kisah sejarah yang disampaikan sebelumnya, penulis berkesimpulan bahwasanya aspek humanisme dalam pelayanan publik menitikberatkan kepada keadilan dan kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan tanpa memandang latar belakang suatu kelompok masyarakat secara non diskriminatif. Adapun perbuatan yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab baik kepada penduduk Yahudi maupun Gubernur Amr bin Al-Ash tersebut menunjukan bahwasanya pelayanan publik yang diwajibkan untuk selaras dengan kondisi maupun pertimbangan lain secara manusiawi guna mencapai kebaikan bersama antara pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik dengan masyarakat selaku pengguna pelayanan publik yang memiliki hak yang sama di mata hukum dan pemerintahan. Jika diperhatikan lebih jauh, Khalifah Umar bin Khattab juga memposisikan kedudukannya sebagai pengawas dan pemberi rekomendasi dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh Gubernur Amr bin Al-Ash sehingga perbuatan hukum yang diorientasikan sebagai pelayanan publik tersebut tidak keluar dari aspek-aspek humanisme dan keberlakuannya.


Pada kenyataannya, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan minimnya aspek-aspek humanisme dalam humanisme merupakan suatu hal yang memiliki urgensitas tinggi di Indonesia. Apabila mengambil contoh pada ranah agraria yang kerapkali diwarnai oleh permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan konflik agraria, tercatat pada tahun 2023 terdapat sekitar 241 konflik pada 638.188 hektar tanah yang berdampak kepada 135.608 kepala keluarga dimana 29% dari konflik ini melibatkan masyarakat dan pemerintah yang seharusnya melaksanakan seluas-luasnya amanah negara melalui konstitusi dimana bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Berdasarkan data yang diperoleh dari Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development).


Fakta diatas tentunya sangat jauh berbeda dari apa yang telah dicontohkan melalui teladan kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu'anhu yang sangat memperhatikan aspek humanisme dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dibawah naungan kekhalifahan khulafaur rasyidin yang diamanatkan baik kepada wazir, gubernur, maupun petinggi-petinggi biro pada saat itu dalam rangka melaksanakan amanah yang ditinggalkan oleh Rasulullah Muhammad shallahu'alaihi wassalam sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa'id bin Zayd dimana Rasulullah shalallahu'alaihi wassalam bersabda: "Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah dengan dzalim maka pada hari kiamat tanah tersebut akan dikalungkan padanya sebanyak tujuh lapis". (HR: Bukhari Muslim).


Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik saat ini, sudah sepatutnya penyelenggara pelayanan publik terutama pemerintah mampu untuk mengedepankan aspek-aspek humanisme yang menitikberatkan keseimbangan antara tujuan dari pelaksanaan pelayanan publik dengan nilai-nilai kemanusiaan yang harus dirasakan keberadaannya oleh setiap manusia tanpa terkecuali bukan malah penyelenggaraan pelayanan publik tersebut malah tidak mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan sehingga tujuan sejati dari pelayanan publik sebagaimana yang diamanahkan menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 minim tercapai atau bahkan tidak tercapai sama sekali.


Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan penuh dalam mengawasi pelayanan publik di seluruh wilayah Republik Indonesia tentunya selalu siap dalam rangka mengawal jalannya pelayanan publik di Indonesia agar tercapainya tujuan pelayanan publik demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang memiliki perbandingan lurus dengan penegakan aspek-aspek kemanusiaan dalam perwujudannya terhadap penyelenggaraan publik sendiri. Ombudsman Republik Indonesia tentunya juga siap mencegah segala bentuk potensi tindakan maladministrasi dalam pelayanan publik yang dapat mencederai nilai-nilai humanisme yang terkandung dalam pelayanan publik.


Ombudsman Republik Indonesia tentunya selalu dan sedia memposisikan kedudukannya sebagai pembela dan pelindung terhadap masyarakat yang memperoleh tindakan diskriminasi oleh penyelenggara pelayanan publik yang masih terjadi dimana tindakan tersebut harus ditumpas dan dicegah keberadaannya agar tidak menjadi suatu kebiasaan yang berulang sebagaimana teladan yang diberikan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam kepemimpinannya selaku kepala pemerintahan pada saat itu. Ombudsman Republik Indonesia, garda utama dalam mengentaskan diskriminasi pelayanan publik yang dialami masyarakat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Oleh: Muhammad Addin Nur Prasatia, SH

Calon Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Riau





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...