APBN dan APBD yang Diawasi Ombudsman
Tak disangsikan banyak di antara kita yang menganggap bahwa APBN dan APBD adalah kongruen dengan kekayaan negara. Dengan kata lain bahwa APBN atau APBD itu sendirilah wujud kekayaan negara, tapi dapatkah kita memberikan konsep yang jelas terhadap masing-masing istilah tersebut. Mengingat bahwa penggunaan istilah berbeda ini adalah bukan hanya karena adanya perbedaan bersifat teknis tetapi juga ada perbedaan secara konsep. Pemahaman yang sumir dengan menggeneralisasi bahwa APBN dan APBD adalah kongruen dengan kekayaan negara, telah menjadi sebab bias atau sesat fikir dalam mengambil kesimpulan.
Kewenangan Ombudsman Dalam Mengawas Pelayanan Publik
Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI menyatakan bahwa"Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah". Dalam Pasal tersebut ditentukan Ombudsman berwenang atas pengawasan pelayanan publik, yang secara sederhananya diselenggarakan oleh siapa saja, atau dengan meminjam istilah yang biasa digunakan dalam rumusan pasal-pasal pidana, yaitu normadressat-nya adalah "setiap orang" baik orang (natuurlijke persoon) ataupun badan hukum (recht person), dan BUMN serta BUMD dinyatakan secara tegas dalam rumusan Pasal tersebut. Unsur berikutnya adalah frasa "yang sebagian atau seluruh sumber pembiayaan pelayanan publik tersebut bersumber dari APBN dan/atau APBD". Yang mana unsur-unsur ini baik subjektif atau objektifnya harus kumulatif artinya setiap unsur harus terpenuhi.
Apakah pelayanan pada BUMN serta merta memenuhi unsur sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 UU 37 Tahun 2018 tersebut dan dengan sendirinya menjadi objek kewenangan Ombudsman? Sebelum jauh membahas tema permasalahan, penulis ingin membatasi perspektif tulisan ini dalam teknis hukum melalui perspektif ekonomi.
Kekayaan Negara Sebagai Sumber Modal BUMN dan BUMD
Modal BUMN dan BUMD sendiri bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 4 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN). Walau kekayaan negara itu berasal dari APBN dan/atau APBD, sejatinya telah dipisahkan dari kekayaan negara (yang dimiliki) dengan merealisasikan APBN dan/atau APBD tersebut ke dalam modal perseroan BUMN. Sebagaimana kita tahu bahwa BUMN dan BUMD merupakan badan hukum, karena itu memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari pemegang sahamnya dalam hal ini Negara.
Naskah hukum tidak memberikan definisi tentang kekayaan negara. Sedang dari perspektif ekonomi, khususnya akuntansi, kekayaan diidentikkan dengan Aktiva. Kekayaan atau Aktiva adalah kepemilikan aset, harta, dan kekayaan yang menunjang kegiatan. Dengan definisi tersebut dikaitkan dengan negara maka kekayaan negara adalah kepemilikan aset, harta, dan kekayaan yang menunjang kegiatan negara. Selain itu definisi kekayaan negara penulis kutip dari laman web Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI bahwa "kekayaan negara adalah semua bentuk kekayaan hayati dan non hayati berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh Negara".
Lebih lanjut, subyek kekayaan negara dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu kekayaan negara yang dikuasai, kekayaan negara yang dimiliki, dan kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dikuasai berupa kekayaan negara potensial yang terbagi atas sektor-sektor agrarian/pertanahan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, mineral, dan batubara, minyak dan gas bumi, kelautan dan perikanan, sumber daya air, udara dan antariksa, energi, panas bumi, kekayaan negara lainnya, dan diatur di dalam Undang-undang sektoral.
Kekayaan negara yang dimiliki berupa barang milik negara dan daerah yaitu barang berwujud, barang tidak berwujud, barang bergerak, barang tidak bergerak yang berasal dari pembelian atau perolehan atas beban APBN atau APBD dan perolehan lainnya yang sah.
Subyek kekayaan negara yang dipisahkan berupa penyertaan modal negara pada BUMN atau BUMD, penyertaan modal pemda pada BUMN atau BUMD, kekayaan Negara pada Badan Hukum lainnya, dan kekayaan negara pada lembaga internasional.
Analisis Ekonomi Akuntansi dalam Sifat Kekayaan Negara Dan APBN / APBD
Dalam ekonomi khususnya akuntansi, pencatatan atas kekayaan atau aktiva dicatat dan merupakan bagian dalam neraca. Sifat akun neraca sendiri adalah akun riil yaitu bersifat konkrit serta memiliki nilai ekonomis yang konkrit pula, akun riil adalah akun permanen yang tidak ditutup di akhir tahun, sehingga saldonya tetap dilanjutkan ke tahun berikutnya, ia hanya dilaporkan kondisinya dari tahun per tahun.
Berbeda dengan kekayaan negara, naskah hukum telah memberikan satu definisi konkrit tentang APBN dan APBD, dan memang hanya dalam naskah hukum hukum saja istilah ini kita jumpai. APBN merupakan bagian dari keuangan negara. Pengertian secara khusus, dalam arti yang digunakan dalam praktek kenegaraan di Indonesia, pengertian anggaran negara yang selanjutnya disebut APBN dapat mengacu pada Pasal 23 Ayat 1 UUD 1945 di mana dinyatakan bahwa, "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat"
Lebih lanjut pengertian APBN dijabarkan dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), yang dimaksud dengan APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR (Pasal 1, Angka 7) dan terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan (Pasal 11, Ayat 2).
APBN atau APBD jika dilihat dari kacamata akuntansi maka memiliki sifat yang sama dengan akun laba/rugi yaitu bersifat nominal atau akun nominal yang sifatnya berbeda dengan kekayaan yang bersifat riil. Akun nominal tidak bersifat nyata/konkret dan APBN atau APBD hanyalah nominal bilangan dari rencana atau perkiraan keuangan tahunan pemerintah sebagaimana Pasal 1 angka 7 UU Keuangan Negara. Apabila akun riil tidak ditutup maka akun nominal ini akan ditutup setiap tahunnya, artinya hanya berlaku untuk tahun ia ditetapkan. Sifat sebagai akun nominal dari APBN atau APBD dapat dilihat dalam UU Keuangan Negara misalnya dalam Pasal 2, terkait jenis-jenis pendapatan dan pengeluaran negara dan Pasal 4 terkait masa keberlakuannya tertutup hanya 1 tahun.
Pembagian BUMN Berdasarkan Tujuan
Selain itu perlu diingat kembali bahwa BUMN dibedakan menjadi dua jenis, yaitu PERSERO dan PERUM. UU BUMN dalam Pasal 1 Angka 2 menyatakan bahwa BUMN Persero memiliki tujuan mengejar keuntungan. Dengan kata lain badan hukum ini bersifat profit oriented, sehingga pelayanan BUMN ini secara umum adalah pelayanan bisnis, bukan pelayanan publik yang bersifat nirlaba. Sedangkan BUMN Perum memiliki tujuan yang berbeda dari BUMN Persero. UU BUMN Pasal 1 Angka 4 menyatakan bahwa BUMN Perum tidak semata-mata bertujuan untuk mengejar keuntungan tetapi juga untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi.
Dari penjabaran di atas, dengan melakukan analisis peraturan perundang-undangan dikomparasikan dengan ekonomi dan ilmu akuntansi nampak jelas bahwa kekayaan negara dengan APBN atau APBD adalah berbeda. Kekayaan negara meliputi yang dikuasai, yang dimiliki dengan cara didapat dari pembelian atau perolehan atas beban APBN atau APBD dan perolehan lainnya serta yang dipisahkan, yaitu modal-modal BUMN dan lainnya. Walau kekayaan negara bisa didapat dari realisasi APBN atau APBD, sebagaimana laba perusahaan yang ditahan atau direalisasikan untuk menambah modal perseroan. Mengasosiasikan kekayaan negara sebagai APBN atau APBD adalah keliru. Mengingat pula bahwa BUMN khususnya PERSERO bersifat mengejar keuntungan sehingga pelayanannya adalah pelayanan bisnis. Maka dari itu pelayanan dari BUMN ataupun BUMD tidak dengan serta merta menjadi kewenangan pengawasan oleh Ombudsman.
Walau begitu adapula pelayanan BUMN yang dapat menjadi kewenangan pengawasan Ombudsman selama pelayanan tersebut melalui mekanisme pembiayaan langsung dari APBN atau APBD, bukan melalui mekanisme modal, sebagai contoh program Falitias Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk KPR Sejahtera yang dikelola oleh bank-bank BUMN atau BUMD yang diprogramkan pemerintah dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait setiap tahunnya. Atau pelayanan-pelayanan oleh PERUM seperti Bulog, dalam rangka menjaga suplai barang kebutuhan pokok agar tidak terjadi kelangkaan ataupun surplus persediaan berlebih guna mengontrol harga-harga kebutuhan pokok tersebut baik di tingkat produsen ataupun konsumen. Yang mana operasionalnya sebagian atau seluruhnya ditanggung oleh APBN dan tidak berorientasi pada laba.
Selain itu pula, sejatinya titik berat kewenangan Ombudsman dalam mengawas Pelayanan Publik berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 tahun 2008 Tentang Ombudsman RI adalah pada perbuatan berupa pelayanan publik yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sedangkan subjeknya sendiri tidak terbatas, selama subjek itu merupakan subjek hukum.
Penulis: Mas Agus Aqil
(Asisten Ombudsman RI, Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat)