Aksesibilitas Pelayanan Publik
Lembaga negara yang memiliki kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik sudah saatnya menyuarakan pemenuhan hak dan kesetaraan hak bagi mereka penyandang disabilitas. Disabilitas berdasarkan peraturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dapat dimaknai sebagai mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan sehingga mengalami hambatan dan kendala dalam berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Sehingga, pada intinya disabilitas memiliki berbagai keterbatasan tertentu dalam melakukan akses pelayanan sehingga diperlukan aksesibilitas dalam sisi pelayanan agar mendapatkan kemudahan yang harusnya disediakan oleh penyelenggara pelayanan dalam memberikan pelayanan guna memberikan kesempatan yang sama untuk mereka penyandang disabilitas.
Ombudsman sebagai lembaga negara pengawasan pelayanan publik harus menjadi pioner perubahan dalam pelayanan dengan memberikan arahan bagi penyelenggara negara untuk berjalan ke arah yang lebih baik dengan melakukan proses perubahan dan mengedapankan pelayanan publik yang ramah, sehingga dalam proses penyempurnaan standar pelayanan penyelenggara pelayanan publik mengetahui kebutuhan yang diperlukan masyarakat bukan sekadar pemenuhan standar pelayanan dari sisi sarana dan prasarananya saja.
Selama ini Ombudsman RI selalu menyelenggarakan Penilaian Kepatuhan terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang pada tahun 2022 ini disebut Penilaian Pengawasan Pelayanan Publik. Dalam hal ini Ombudsman dimaknai sebagai mitra kerja atau lembaga negara pengawas dengan memberikan pendampingan untuk menutun dan memberikan arahan agar penyelenggara layanan melakukan penyempurnaan proses pelayanan.
Dalam meningkatkan pelayanan publik hampir seluruh pemerintah kabupaten/kota sudah mulai berbenah melakukan peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik, diantaranya pemenuhan standar pelayanan yang sudah diterapkan pada unit pelayanan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 25 tentang Pelayanan Publik guna menjamin kepastian hukum masyarakat dalam pelayanan publik, khususnya untuk masyarakat sebagai pengguna layanan.
Penyelenggara pelayanan publik memberikan pelayanan dengan berusaha memenuhi kebutuhan yang diperlukan masyarakat dengan berbagai cara, diantaranya memangkas sistem birokrasi dengan melakukan penyederhanaan standar pelayanan atau penyederhanaan prosedur pelayanan, penghematan waktu atau efektifitas dalam memberikan pelayanan, dan melakukan efisisensi biaya agar masyarakat mendapatkan pelayanan yang murah tetapi berkualitas.
Standar pelayanan merupakan satu kesatuan yang tak bisa saling dipisahkan dalam sebuah layanan, ini merupakan tolok ukur dan pedoman untuk penyelengaraan pelayanan publik agar masyarakat dapat memenuhi haknya dalam mendapatkan pelayanan. Seluruh komponen standar pelayanan publik tertuang pada Bab V Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, bahwa sebuah unit pelayanan publik harus memenuhi standar layanan diantaranya ketersediaan informasi produk layanan/jenis layanan yang diberikan pada unit pelayanan tersebut, persyaratan sebuah layanan, alur pelayanan yang merupakan tata cara pelayanan yang diatur untuk masyarakat yang melakukan pelayanan, jangka waktu layanan serta kejelasan informasi biaya agar menghindari praktik-praktik pungutan liar dalam sebuah layanan.
Pemenuhan standar pelayanan dilakukan tak kalah penting bagi penyelenggara pelayanan publik harus memberikan pelayanan khusus bagi mereka yang berkebutuhan khusus seperti disabilitas, ibu hamil/menyususi, pengguna layanan yang membawa anak kecil, lansia dan masyarakat yang merupakan korban bencana alam atau korban bencana sosial. Dalam pemenuhan standar pelayanan khusus bagi penyelengaran pelayanan publik dapat dilihat dari ketersediaan sarana prasarana fasilitas dalam pelayanan dan keberadaan atau perlakuan khusus yang biasanya diberikan, yaitu ketersediaan loket layanan memberikan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Secara jelas Pasal 29 mengingatkan bahwa penyelenggara berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketersediaan sarana, prasarana dan/atau fasilitas layanan.
Seluruh penyelenggara pelayanan publik berusaha memenuhi tetapi dibeberapa instansi hanya sekadar ketersediaan tanpa mempertimpangkan sisi kebermanfaatan. Sarana prasarana tersebut hanya untuk melegitimasi agar dinilai sudah memenuhi standar pelayanan, serta dinilai patuh terhadap Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009, tetapi pada kenyataannya tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan masyarakat.
Pada umumnya hampir seluruh unit penyelenggara pelayanan memiliki sarana prasarana khusus untuk disabilitas tetapi masih belum memenuhi standar yang tepat. Karena standar pembuatan sarana sarana prasarana disabilitas belum sepenuhnya berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana Bagi Penyandang Disabilitas. Dalam peraturan ini dimuat bahwa pemenuhan hak bagi disabilitas harus sesuai dengan kebutuhan. Dimulai dari rancangan pembangunan gedung, ketersediaan sarana dan prasarana yang mudah diakses bagi penyandang disabilitas. Selain itu juga diperlukan sebuah perlakuan yang optimal, wajar, dan bermartabat tanpa diskriminasi bagi penyandang disabilitas, dan adanya fasilitas sistem informasi, baik elektronik maupun non-elektronik yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
Sarana prasarana yang sering kita temui yaitu adanya ketersediaan toilet khusus disabilitas. Toilet khusus ini biasanya diperuntukkan untuk mereka yang berkebutuhan khusus seperti ibu hamil, lansia dan disabilitas seperti pengguna kursi roda. Dalam aturannya, ketersediaan ruang toilet harus dalam rancangan khusus sesuai dengan kebutuhan mereka yang menggunakan. Misalnya, luas toilet harus lebih dari dua meter persegi, diperkirakan kursi roda bisa masuk ke dalam toilet tersebut, ketersediaan ramp untuk alat bantu pegang bagi ibu hamil dan lansia, harus ada. Sehingga sisi kebermanfaat lebih diutamakan, bukan sekadar kenampakan fisik agar terlihat "terpenuhi".
Maka, dalam penyusunan standar pelayanan harus mempertimbangkan sisi manfaat yang benar-benar diperlukan oleh disabilitas. Kesamaan hak sudah saatnya, masukan saran yang bersifat membangun dari pengguna layanan harus sudah dipertimbangkan agar dapat memperkaya opsi peningkatan pelayanan publik yang lebih baik. Ketersediaan sarana dan prasarana tidaklah cukup, sangat diutamakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak, baik secara kenampakan fisik atau non-fisik berupa pemberian prioritas dalam penyediaan pelayanan dan akses informasi. Serta penyelenggara pelayanan publik dapat menyediakan media informasi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang profesional dalam menyelenggarakan pelayanan agar dapat membantu penyandang disabilitas.
Reni Yunita Ariany, Asisten Bidang Penerimaan dan Verifikasi Laporan Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan