Akses Peribadatan bagi Disabilitas
Pernah disaat penulis berdiskusi dengan sahabat penyandang disabilitas tuli, penulis meresapi ketika mengetahui bahwa mereka rindu bisa mendengar suara adzan, yang membuat kita menyegerakan diri menuju masjid. Mereka pun juga berharap untuk bisa mengetahui apa yang disampaikan khatib, dalam khutbah Jumat yang membawa bekal keimanan khususnya bagi umat Muslim.
Penulis pun mengetahui, bahwa ternyata sapaan "tuli" menurut mereka lebih sopan dan lebih nyaman digunakan sebagai istilah, dibandingkan "tunarungu". Karena istilah tuli sendiri menunjukkan sebagai mereka yang mempunyai identitas, gaya bahasa, dan budaya tersendiri dalam berkomunikasi, sedangkan tunarungu menggambarkan suatu keterbatasan fisik dalam mendengar dan berbicara, sehingga dipandang sebagai suatu keharusan bagi mereka untuk mengoptimalkaan pendengaran, seolah halnya orang yang dapat mendengar.
Bila kita perhatikan, masih banyak ruang maupun fasilitas publik di sekitar kita, yang belum akses terhadap para penyandang disabilitas secara umumnya. Misalnya, jalur pejalan kaki yang belum akses, bahkan membahayakan bagi penyandang daksa, trasnportasi umum yang belum akses, sedangkan tidak semua golongan disabilitas dapat memiliki SIM untuk berkendara mandiri. Termasuk konsep bangunan fasilitas publik, yang tidak akses terhadap para penyandang disabilitas.
Di sisi pelayanan publik, tidak semua instansi penyelenggara layanan publik, mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Tidak semua kantor menyediakan ram/bidang kemiringan yang sesuai standar untuk akses kursi roda. Tidak ada layar monitor, pamflet/booklet maupun media baca lain untuk memudahkan mencari informasi, bagi mereka yang beketerbatasan mendengar. Sangat jarang ditemukan petugas layanan yang bisa memahami/menggunakan bahasa isyarat.
Namun yang tidak kalah penting, juga fasilitas tempat peribadatan yang belum akses terhadap penyandang disabilitas. Di dalam tulisan ini, penulis mencoba menyoroti khususnya aksesibilitas tempat peribadatan bagi penyandang tuli. Meskipun hingga kini penulis kesulitan menemukan data jumlah terakhir penyandang disabilitas di Indonesia, namun setidaknya telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang disabilitas, sebagai patokan untuk memahamkan hak-hak penyandang disabilitas, serta mengatur kewajiban negara untuk mengakomodir pelayanan yang ramah termasuk kepada penyandang disabilitas, tanpa ada diskriminasi.
Terkait hak keagamaan bagi penyandang disabilitas, telah diatur bahwa mereka berhak untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing, serta beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Terkhusus untuk aksesibilitas tempat ibadah, telah dijamin hak bagi mereka untuk memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan, mendapat kitab suci dan lektur (bahan bacaan) keagamaan lainnya yang mudah diakses sesuai kebutuhan, sebagaimana inti dari Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Bahkan sejak awal berdirinya pemerintahan Negara Republik Indonesia, telah diamanatkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan, serta perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, dan hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945.
Namun dalam praktiknya, contoh khususnya di daerah kita sendiri, tidak banyak tempat ibadah khususnya bagi umat Muslim, yang akses untuk penyandang disabilitas. Mengutip apa yang disampaikan oleh Muhammad Ridho Ilahi, selaku narasumber sekaligus seorang penyandang tuli, dalam kegiatan live konsultasi daring dengan tema Pelayanan Publik untuk Tunarungu, yang diselenggarakan Ombudsman RI Kalsel pada 28 Oktober 2022. Diketahui saat ini setidaknya hanya ada satu masjid di Kota Banjarbaru, yang khusus menyediakan juru penerjemah, ketika berlangsung khotbah Jumat, sehingga bisa dipahami isi pesan yang disampaikan khatib kepada mereka.
Bergambar dari data terakhir yang diperbaharui oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Kalsel pada 27 Februari 2018, terkait jumlah penyandang cacat menurut jenis cacat setiap kabupaten/kota, meski hanya menginformasikan data terakhir tahun 2008, yakni jumlah penyandang disabilitas tunarungu/wicara sebanyak 4.878, namun dapat menggambarkan bahwa penyandang tuli dan tunawicara tersebar ada diseluruh kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Belum didapat data di tahun 2022, yang dapat diasumsikan menurut penulis kemungkinan adanya penambahan.
Menurut Penulis, saat ini sangat diperlukan validitas dan pemutakhiran data keseluruhan penyandang disabilitas khususnya di Banua, sehingga dalam pembangunan insfrastruktur maupun penyediaan sarana prasarana yang ramah disabilitas, pemerintah daerah dapat menentukan prioritas sarana apa saja yang perlu segera disediakan, mengacu kepada pemutakhiran data dari Dinas Sosial dan Badan Pusat Statistik, agar penyediaan sarana maupun fasilitas penunjang disabilitas, bisa tepat guna dan tepat sasaran.
Kemudian khususnya bagi tempat beribadah, penulis bertitip saran kepada pemerintah daerah, perlunya menggagas salah satu tempat peribadatan central masyarakat di setiap kabupaten/kota, yang juga turut menyediakan akses bagi penyandang disabilitas, baik secara bangunan fisik termasuk menyediakan juru penerjemah, layaknya konsep gagasan penunjukkan sekolah inklusi di tiap kabupaten/kota. Tujuannya agar hak kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Penyandang Disabilitas, benar tercapai dan dirasakan oleh penyandang disabilitas.
Terakhir, penulis merenungi dan mengambil suatu pembelajaran dari apa yang pernah disampaikan sahabat disabilitas. Bahwa semua manusia pasti berkehendak untuk diciptakan dengan fungsi tubuh sempurna. Disabilitas ada tidak hanya karena bawaan sejak lahir, namun tidak sedikit keadaan kemudian merubah segala sesuatu fungsi tubuh normal, karena kehendak di luar kuasa manusia, seperti yang mereka alami. Menyediakan jaminan akses tanpa diskriminatif bagi para penyandang disabilitas, tidak hanya bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia, namun membuka akses bagi mereka, untuk turut dapat berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Benny Sanjaya, Kepala Keasistenan Pemeriksaan Perwakilan Ombudsman RI Kalsel