• ,
  • - +

Artikel

Adopsi Prinsip KYC Dalam Pelayanan Publik
• Selasa, 21/12/2021 •
 
Zayanti Mandasari, Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan

Know Your Costumers (KYC), merupakan sebuah istilah yang tak asing dalam dunia perbankan. Sebagaimana Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip KYC bagi Bank Umum, KYC disebutkan sebagai prinsip kehati-hatian sebelum melakukan transaksi. Prinsip KYC mengharuskan pihak bank untuk berhati-hati dalam bertindak, dengan tujuan melindungi bank dari berbagai potensi resiko dalam hubungan dengan nasabah dan counter-party, sehingga penting untuk mengetahui siapa sebenarnya costumers/nasabah yang sedang dihadapi. Tulisan ini tentunya tak akan membahas tentang pelayanan perbankan, namun mencoba untuk mengadopsi konsep KYC dalam dunia perbankan, ke dalam konteks pelayanan publik. Lebih luas, untuk mengetahui apa sebenarnya yang dibutuhkan pengguna layanan, dengan tujuan yang agak sedikit berbeda dengan KYC pada perbankan. Jika KYC pada perbankan menekankan pada melindungi pihak bank, sedangkan KYC dalam pelayanan publik untuk melindungi hak pengguna layanan, serta kewajiban penyelenggara layanan.

Prinsip KYC dalam perbankan mungkin agak sedikit berbeda peruntukannya, jika dikaitkan dengan pelayanan publik secara luas, prinsip KYC dalam pelayanan publik dapat diadopsi dan digunakan untuk mengenali kebutuhan, kepentingan dan aspirasi pengguna layanan. Tujuan adopsi KYC dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah untuk menciptakan penyelenggara layanan yang responsif terhadap kebutuhan pengguna layanan. Mengapa responsif harus ditekankan? Karena penyelenggara layanan yang responsif tentu akan berdampak langsung pada perbaikan pelayanan publik, apresiasi dari pengguna. Pengguna layanan merasa percaya terhadap penyelenggara pelayanan, bahwa penyelenggara benar-benar mengakomodir kebutuhan/kepentingan pengguna layanan dan memacu untuk untuk mewujudkan sistem yang berorientasi pada pelanggan. Kepercayaan pengguna layanan juga merangsang penyelenggara lebih banyak melakukan inovasi, sebagaimana disampaikan David Osborne dalam bukunya yang berjudul Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government.

Jika dilihat dari tujuannya, prinsip KYC dapat digunakan dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, khususnya sebagai sarana untuk menggali dan menemukan kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan dalam pelayanan publik. KYC dalam konteks pelayanan publik, dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti survei, wawancara atau observasi. Jika dilakukan dengan metode survei, maka dalam konteks pelayanan publik penyelenggara dapat mengetahui apa yang diinginkan pengguna layanan terhadap layanan kita, dengan cara meminta mereka untuk mengisi survei kepuasan masyarakat (SKM). Konten pertanyaan dapat kita sesuaikan dengan apa yang hendak kita dapatkan dari penilaian pengguna, misalnya tentang sikap layanan, kualitas layanan, ataupun penilaian apakah layanan yang diberikan sudah sesuai dengan standar pelayanan publik yang ada. Nantinya, hasil SKM dapat menjadi bahan bagi penyelenggara untuk berbenah dan terus meningkatkan kualitas dan performa sebagai penyelenggara pelayanan publik.

Metode KYC dengan cara survei memang memiliki sedikit kekurangan, karena penilaian hanya dilakukan berdasarkan pertanyaan yang sifatnya terbatas, sehingga bisa jadi penilaian hanya sebatas amat baik, baik, atau buruk, tanpa kita mengetahui alasan di balik penilaian tersebut. Namun KYC dengan metode survei seringkali dirasa efisien, karena pengolahan data kebutuhan/feed back pengguna layanan dapat langsung ditabulasi setelah SKM diisi oleh pengguna, dan tidak membutuhkan tenaga dan keterampilan ekstra bagi penyelenggara, karena sifatnya hanya menyampaikan daftar isian SKM baik secara langsung, melalui kertas SKM, ataupun melalui SKM online.

Jika yang dipilih adalah metode wawancara, maka besar kemungkinan penyelenggara akan mendapat feed back yang bisa jadi melebihi ekspektasi, dalam artian lebih banyak masukan dan sangat beragam. Hal ini dapat terjadi, karena pengguna layanan tidak dibatasi oleh pertanyaan jenis tertutup yang dilakukan dalam metode survei melaui SKM. KYC dengan metode wawancara, penyelenggara tak hanya dapat menggali tentang apa yang diinginkan pengguna dalam proses layanan publik, namun penyelenggara juga dapat meminta respons terhadap layanan yang telah diberikan secara langsung. Tak hanya dari cara/etika penyelenggara, metode/cara memberikan layanan, namun sarana-prasarana, kita bisa meminta masukan baik kritik ataupun saran dari pengguna secara langsung. Sehingga tujuan untuk mewujudkan pelayanan prima bagi masyarakat, dapat diwujudkan secara konkret.

Penggunaan metode wawancara dalam menggali kebutuhan/keinginan pengguna, memang pada akhirnya menjadi jalan untuk tujuan mengetahui secara jelas apa sebenarnya yang diinginkan oleh pengguna layanan. Hal ini senada dengan hal yang disampaikan Peters dan Waterman, sebagai pakar manajemen, bahwa dalam konteks manajemen layanan, penting untuk membuka ruang dan menempatkan pentingya mendengarkan aspirasi pelanggan atau pengguna. Namun dalam implementasi metode wawancara tersebut membutuhkan waktu, tenaga ekstra, dan kemampuan khusus dari penyelenggara, karena tak menutup kemungkinan, saat proses wawancara, pengguna layanan menjadi tidak fokus, jika petugas wawancara tidak membatasi dan terbawa pada diskusi meluas yang disampaikan pengguna layanan.

Dan yang terakhir adalah dengan metode observasi. Metode ketiga ini dapat dikatakan, sebagai metode yang bisa digunakan untuk mendukung dua metode sebelumnya. Secara harfiah (definisi KBBI), observasi berarti peninjauan secara cermat. Dengan observasi, kita bisa mendapatkan informasi tentang kebutuhan/keinginan pengguna layanan secara real time. Agak berbeda dengan metode survei dan wawancara. Metode ini dapat melihat langsung proses layanan publik, yang tengah diakses oleh pengguna layanan, sehingga secara peninjauan kita dapat mengetahui apa saja hal yang belum sesuai dengan keinginan dari pengguna layanan, baik dari sarana-prasarana, bahkan sikap layanan. Keuntungan metode ini, penyelenggara memiiki informasi yang valid dan tak berpihak, sehingga jika hasil observasi dijadikan rujukan dalam rangka perbaikan pelayanan publik, akan tepat guna. Walaupun prinsip KYC, bukan merupakan suatu hal yang baru, harapannya prinsip tersebut dapat diadopsi oleh para penyelenggara pelayanan publik, dalam rangka mewujudkan visi pemerintah, untuk mewujudkan pelayanan publik berkelas dunia, sebagaimana amanah Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.


Zayanti Mandasari, S.H., M.H.

Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...