• ,
  • - +

Artikel

Access to Justice Pelayanan Publik Bagi Masyarakat Hukum Adat
• Kamis, 26/10/2023 •
 
Zayanti Mandasari, S.H., M.H, Asisten Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Kalsel

Masyarakat hukum adat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Perlu diingat bahwa sebelum terbentuknya wilayah nusantara (Indonesia), sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat hukum adat telah lahir dan tumbuh. Sujoro Wignjodipuro, dalam bukunyaPengantar Azas-azas Hukum Adat, mengatakan bahwa masyarakat hukum adat sebelum kemerdekaan telah hidup berdampingan dengan Hindia Belanda, pada saat itu pemerintah Hindia Belanda mengakui dan mengatur masyarakat hukum adat dalam pemerintahan otonomi serta madebewind-nya. Pasca kemerdekaan, masyarakat hukum adat bahkan diakui dengan dimasukkannya dalam penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) dalam penjelasannya menyatakan bahwa: "Dalam Teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen danvolkgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya".

Eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia, hingga saat ini masih terus ada, bahkan jumlahnya cukup banyak, dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia, tak terkecuali di Provinsi Kalimantan Selatan. Namun eksistensi tersebut tak semuanya mendapatkan pengakuan secara "legal" dari pemerintah, baik pusat maupun daerah (misalnya di Provinsi Kalimantan Selatan, hanya Pemerintah Kabupaten Kotabaru yang menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Kelembagaan Adat Dayak). Hal ini membuat adanya ketidakpastian jaminan pemberian pelayanan publik bagi masyarakat hukum adat. Hal ini membuat Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, menyerukan kepada Presiden untuk segera memberi pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat, salah satunya masyarakat adat Dayak Pegunungan Meratus yang terletak di Kalimantan Selatan.

Tak hanya masyarakat adat dayak pegunungan meratus saja yang belum mendapatkan akses pelayanan publik di Kalimantan Selatan. Lebih lanjut Zulfa Jamalie dalam Jurnal Dakwah berjudulPola Dakwah Pada 'Masyarakat Suku Terasing' Di Kalimantan Selatan, meyebutkan terdapat sekitar 5.724 Kepala Keluarga di Kalimantan Selatan yang menjadi masyarakat hidup alam keterasingan, mereka tersebar di delapan daerah, yakni Kabupaten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Tanah Laut dan Kotabaru.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), warga Dayak Meratus tersebar di sembilan kabupaten di Kalimatan Selatan. Jumlah kelompok itu diperkirakan terdiri dari puluhan sampai ratusan ribu orang dan setengah dari mereka tuna aksara. Rata-rata, akses jalan ke pemukiman masyarakat adat tersebut hanya dapat ditempuh dengan cara berjalan kaki, melewati jalan berbatu terjal yang naik-turun, melewati hutan dan gunung. Hampir sebagian besar masyarakat adat yang kini berusia berusia di atas 50 tahun tak sempat mengeyam pendidikan dasar itu. Kelompok adat ini hidup tanpa layanan listrik, tak ada pula fasilitas jalan yang memadai, dan hampir setengah dari populasi masyarakat adat tersebut tak memiliki e-KTP, hal ini disebabkan kendala geografis menyulitkan mereka merekam e-KTP ke kantor Dinas Kependudukan yang letaknya berada di luar hutan.

Dalam negara demokrasi, terwujudnya keadilan bagi semua warga negara merupakan salah satu tujuan negara, tak terkecuali masayarakat hukum adat. Begitu juga Indonesia, sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dalam sistem ketatanegaraannya. Tak hanya keadilan dalam konteks putusan pengadilan, yang dimaksud keadilan disini adalah mulai dari aksesnya hingga hasil akhirnya. Lebih konkrit dalam hal ini Penulis mengambil fokus pada akses untuk mendapatkan keadilan pelayanan publik.

Ombudsman sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik yang bersifat mandiri, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya, mempunyai kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan. Dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, Ombudsman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus berasaskan kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan. Oleh karena itu, Ombudsman juga harus hadir ditengah-tengah masyarakat, tak terkecuali masyarakat hukum adat, untuk menciptakan akses terhadap keadilan pelayanan publik.

Senada dengan hal tersebut, Antonius Sujata dalam buku Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, pernah menuliskan mengenai masa depan terhadap kelembagaan Ombudsman, yakni diharapkan Ombudsman menjadi lembaga publik yang independen dan terpercaya berasaskan ideologi negara dengan mengupayakan keadilan, kelancaran dan akuntabilitas pelayanan administrasi negara sesuai asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih serta peradilan yang jujur dan tidak memihak berdasarkan asas-asas negara hukum yang mengedepankan supremasi hukum. Sehingga mengupayakan terwujudnya keadilan pelayanan publik bagi masyarakat sangat penting untuk diwujudkan, khususnya jika berbicara tentang eksistensi kelembagaan Ombudsman.

Kehadiran Ombudsman ditengah masyarakat hukum adat merupakan hal yang penting, selain sebagai bentuk menjalankan tugas dan wewenangnya, juga menjadi tanggung jawab Ombudsman, jika dikaitkan dengan salah satu tujuan Ombudsman yakni untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera. Sehingga kehadiran Ombudsman tak hanya bersifat pasif, hanya untuk menerima laporan yang datang saja, namun Ombudsman juga dapat melihat kondisi pelayanan publik sebagai tanda hadirnya negara di masyarakat hukum adat, menggunakan perangkat inisiatif yang diamanahkan undnag-undnag kepada Ombudsman. Sebagaimana Pasal 7 huruf d, bahwa Ombudsman dapat melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Dengan kata lain, hadirnya Ombudsman ditengah-tengah masyarakat hukum adat secara langsung, merupakan hal yang sangat penting. Baik dalam rangka memenuhi hak masyarakat sebagaimana amanah UU No. 25 Tahun 2009, bahwa masyarakat berhak atas pelayanan publik yang berkualitas, juga bentuk pengejawantahan mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang adil bagi semua warga negara. Termasuk masyarakat hukum adat yang acapkali dimasukkan dalam kelompok marjinal, jika menunjuk pada daerah dan kelompok yang hidup di bawah marjin dalam ukuran umum, dan dikaitkan, dengan kemiskinan (ketika ditarik garis, di bawah garis kemiskinan atau tertinggal), lebih lanjut kelompok marjinal tersebut juga acapkali "disematkan" pada disabel, manula dan kelompok adat dan kepercayaan minoritas yang secara given memiliki keterbatasan dibanding yang lain. Oleh karena sebab tersebut, kelompok marjinal, tak terkecuali masyarakat hukum adat dinilai tidak bisa mengakses pelayanan publik secara dekat dalam pembangunan.

Ombudsmandapat berupaya mewujudkan access to justice pelayanan publik, bagi masyarakat hukum adat dengan cara membuka ruang sasaran baru dalam kegiatan penerimaan laporan/konsultasi on the spot, agar Ombudsaman dapat memetakan akses pelayanan publik mana yang paling banyak dikeluhkan atau belum dirasakan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat hukum adat. Tentunya hal ini dilakukan pada kantor perwakilan yang di daerahnya masih terdapat masyarakat hukum adat. Ombudsman juga dapat membangun keterbukaan akses jangkauan pelayanan publik, dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah, melalui aplikasi SP4N LAPOR. Dalam bentuk kegiatan peningkatan akses ataupun pembukaan gerai bersama di tempat mukim masyarakat hukum adat. Hal ini berguna bagi pemerintah daerah, untuk turut serta memetakan masalah pelayanan publik pada lingkungan masyarakat adat, untuk kedepannya menjadi bahan dalam menyusun program pembangunan pelayanan publik di masa mendatang. Sehingga masyarakat hukum adat tak selalu luput dalam proses pembangunan oleh pemerintah daerah. Hal ini juga sekaligus dapat dijadikan basis data pembangunan ataupun perbaikan kualitas pelayanan publik di masing-masing daerah. Diharapkan dengan adanya peran aktif Ombudsman dan pemerintah daerah, dapat mempercepat proses access to justice pelayanan publik bagi masyarakat hukum adat.


Penulis :

Zayanti Mandasari, S.H., M.H

Asisten Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Kalsel





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...