UKT dan Hak Asasi dalam Pendidikan

Negara Republik Indonesia dalam UUD 1945 telah melindungi dan memberikan perlindungan atas 10 hak mendasar. Adapun beberapa hak mendasar atau hak asasi manusia di Indonesia, antara lain hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk berkomunikasi, hingga hak untuk mendapatkan pendidikan.
Khususnya terkait permasalahan tentang pendidikan sebagai hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 28C UUD 1945 bahwa "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia".
Biaya Pendidikan dalam proses pembelajaran untuk tingkatan jenjang Pendidikan di perguruan tinggi plat merah (Perguruan Tinggi Negeri/PTN) dikenal Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT adalah biaya yang dikenakan kepada setiap mahasiswa untuk digunakan dalam proses pembelajaran dan wajib dibayarkan pada setiap semester. Selain itu besaran UKT setiap program studi ditetapkan oleh pemimpin PTN berdasarkan biaya kuliah tunggal atau BKT. BKT sendiri merupakan keseluruhan biaya operasional pertahun yang terkait langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa pada program studi di PTN.
Untuk menaikan biaya UKT telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020. Pada Pasal 6 Permendikbud tersebut disebutkan bahwa besaran UKT Peguruan Tinggi Negeri (PTN) atau PTN Berbadan Hukum atau PTN-BH harus mendapat persetujuan dan izin dari Kemendikbud.
Penyebab dinaikannya UKT di PTN karena berbagai faktor, diantaranya peningkatan mutu pendidikan, peningkatan biaya ekonomi hingga adanya penerapan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Kenaikan UKT ini, dari sudut pandang pemerintah, sudah sesuai asas keadilan dan inklusivitas. UKT ini nilai angkanya berjenjang dan telah dikelompokkan sesuai tingkat ekonomi mahasiswanya.
Dalam Pasal 17 Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud Ristek mengatur bahwa mahasiswa, orangtua mahasiswa atau pihak lain yang membiayai mahasiswa dapat mengajukan kepada PTN maupun PTN Berbadan Hukum (PTN BH) melakukan peninjauan kembali UKT, apabila terdapat ketidaksesuaian data dengan fakta terkait ekonomi mahasiswa.
Dalam hal ini maka PTN dan PTNBH wajib memfasilitasi permohonan tersebut secara adil dan transparan, sesuai Permendikbudristek tentang SSBOPT, dan untuk para mahasiswa baru bisa menyampaikan laporan melalui situs kemdikbud.lapor.go.id. Dalam proses Direktorat Jenderal (Ditjen) Diktiristek akan menindaklanjuti laporan yang masuk mengenai kebijakan UKT yang tidak sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024.
Masalah UKT jika kita kaitkan dengan hak asasi dalam pendidikan apakah sudah dapat dikatakan memenuhi prinsip keadilan? Tentunya belum dapat dikatakan adil. Kenapa dikatakan demikian, karena biaya UKT yang telah ditetapkan walaupun sudah dengan nilai yang rendah tetap tidak terjangkau untuk dapat dibayar dalam setiap semesternya bagi golongan masyarakat miskin atau masyarakat kurang mampu. Selain itu tidak semua anak miskin mendapatkan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) ataupun beasiswa lainnya untuk membayar uang semester kuliahnya.
Kehidupan masyarakat di zaman sekarang sudah begitu berat dengan biaya dari pangan, sandang, papan serta kesehatan dan pendidikan. Biaya untuk masuk dan kuliah sekelas Pendidikan Tinggi Negeri saat sekarang telah terkomersialisasi bahkan sekarang beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) biaya pendidikannya sampai lulus jauh lebih murah dari Pendidikan Tinggi Negeri. Perguruan Tinggi Swasta memberikan kemudahan pilihan pembayaran bulanan yang jika ditotalkan dengan biaya semester PTS jauh murah dari PTN dan juga banyak memfasilitasi mahasiswa yang berkuliah di PTS seperti beasiswa.
Sangat tidak berkeadilan jika di PTN biaya UKT sekarang ini jika tetap dinaikan karena Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dari masyarakat untuk dapat hidup lebih baik. Dulunya paradigma bahwa PTN adalah sekolah bagi sebagian masyarakat miskin, sekarang yang ada di masyarakat paradigma itu terbalik. PTN bukan tempat sekolahnya anak miskin lagi.
Walaupun UKT di PTN dibuat berjenjang, berdasarkan golongan dan besarannya sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa maka dapat kita buat ilustrasi kesimpulan dan arti, bahwa semakin ekonomi mahasiswa berada di tingkat kemampuan ekonomi mampu apalagi berada maka dalam pembayaran UKTnya maka akan membayar lebih sedikit di atas mahasiswanya yang miskin tadi dengan besarannya yang mungkin tidak terlalu jauh totalan uang untuk bayar UKT. Jika siswa miskin untuk melanjutkan di jenjang perguruan tinggi tidak terakamodir dan dapat Kartu Indonesia Pintar (KIP) maka dapat dipastikan bahwa pendidikan terakhir sekolahnya hanya pada tingkatan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Oleh : Yeni Aryani, SH, MH
Asisten Ombudsman
Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan