Memenuhi Hak Difabel
Setiap tanggal 3 Desember, diperingati
Hari Penyandang Disabilitas Internasional. Peringatan ini, sebagai simbol untuk
meningkatkan kesadaran semua pihak, betapa pentingnya pemenuhan hak difabel
dalam semua sektor. Â
Penyandang Disabilitas atau difabel masih mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang, termasuk dalam pelayanan publik. Hal itu, terlihat dari masih banyaknya perkantoran, jalan, transportasi umum dan fasilitas publik lainnya, yang belum ramah terhadap disabilitas. Perhatian pemerintah dalam bentuk pemberian bantuan, juga masih banyak yang belum terjangkau. Apalagi di sektor pendidikan, kesehatan hingga pekerjaan. Walaupun sudah ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta peraturan turunannya, hingga ke level daerah seperti peraturan daerah, sejumlah peraturan yang melindungi hak-hak Penyandang Disabilitas tersebut, masih lemah dalam tataran implementasi.
Di sektor transportasi publik, misalnya. Masih banyak daerah-daerah belum menyediakan akomodasi layak, yang bisa diakses oleh teman-teman different ability(difabel). Mereka harus dibantu, jika ingin naik trasportasi umum. Transportasi publik belum dirancang untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan. Mobilitas terhambat, karena tidak bisa dilakukan secara mandiri.
Begitu juga dengan perkantoran pemerintah yang memberikan pelayanan publik, masih banyak yang belum aksesibilitas serta tidak menyediakan layanan khusus. Mulai dari tahap perencanaan bangunan hingga memberikan layanan, tidak memperhatikan kebutuhan difabel. Banyak kantor yang belum menyediakan parkir khusus dan loket pelayanan khusus. Lantainya dibuat bertingkat, namun tidak disediakan ramp untuk kursi roda maupun jalur pemandu.
Pemenuhan hak difabel masih setngah hati. Beberapa kota telah menyediakan trotoar maupun ruang terbuka hijau yang sudah memperhatikan kebutuhan difabel. Namun guiding block menabrak pohon, dibuat asal-asalan, rampnya terlalu curam, sehingga tidak bisa digunakan.Â
Di sektor pekerjaan, masih terdapat diskriminasi terhadap difabel. Minimnya akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di sektor pemerintahan atau swasta, membuat mereka lebih memilih berusaha memenuhi kebutuhan ekonominya secara mandiri, dengan segala keterbatasan modal. Sangat sedikit formasi pekerjaan untuk difabel yang bekerja di sektor pemerintahan maupun BUMN/BUMD.
Padahal Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, mewajibkan mempekerjakan paling sedikit 2% Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai bagi  Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah. Sedangkan bagi perusahaan swasta, wajib mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah pegawainya. Ketentuan ini hanya di atas kertas. Siapa yang mengawasi implementasinya. Apa sanksi bagi pimpinan kementerian/lembaga yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Begitu juga dengan perusahaan swasta yang tidak mempekerjakan penyandang disabilitas, apa sanksinya. Belum pernah kita mendengar, izin perusahaan dicabut atau pimpinan instansi pemerintahan diberi sanksi, karena tidak mempekerjakan penyandang disabilitas. Ini dikarenakan, Undang-Undang Penyandang Disabilitas, tidak mengatur mengenai sanksi jika melanggar kewajiban tersebut. Â
Padahal banyak difabel yang potensial. Mereka telah mengikuti berbagai pelatihan dan telah mengantongi berbagai macam sertifikat. Stigma negatif masih melekat. Masih sedikit perusahaan yang merekrut. Akhirnya, mereka yang telah memperoleh berbagai macam pelatihan, memilih berusaha secara mandiri.
Akses pendidikan juga sangat rendah. Rata-rata penyandang disabilitas tidak lulus sekolah dasar. Anak penyandang disabilitas banyak yang tidak sekolah. Kesulitan ekonomi menjadi faktornya. Sementara itu, bantuan beasiswa belum diterima. Penyandang disabilitas juga masih banyak yang belum mempunyai KTP, sehingga kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah. Biasanya, bantuan diberikan kepada orang yang merawatnya.
Di sektor pelayanan publik, difabel juga masih belum terlayani dengan optimal. Selain soal kantor pelayanan publik yang belum memiliki aksesibilitas, hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik juga belum terpenuhi. Kantor penyelenggara pelayanan publik tidak menyediakan pendamping atau penerjemah bagi penyandang disabilitas. Â Â
Perlakuan Yang Sama
Tidak kurang dari 21 juta penduduk di Indonesia, penyandang disabilitas. Negara harus hadir memberikan pelayanan yang terbaiknya kepada mereka. Karena mereka juga mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Mereka memiliki hak-hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Kehadiran pemerintah sangat diperlukan, karena sebagian masih hidup di bawah garis kemiskinan, rentan didiskriminasi. Penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, hak mendapat pekerjaan, sosial, politik dan masih banyak lagi. Karena mereka merupakan bagian dari negara ini. Bukan warga kelas dua. Â
Pemerintah setidaknya dapat melakukan berbagai upaya-upaya terpadu dan berkelanjutan. Mulai dari tahap penghormatan, perlindungan, pemenuhan hak, pemberdayaan hingga menyediakan akses dalam berbagai fasilitas publik. Mulai dari tahap penyusunan anggaran hingga pengawasannya. APBN/APBD harus pro disabilitas. Program harus memihak disabilitas. Karena banyak APBD yang masih minim untuk program kesetaraan penyandang disabilitas. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak, hanya bisa dilakukan, kalau anggaran lebih banyak dialokasikan untuk penyandang disabilitas. Program pemberdayaan, bantuan sosial, pemberian alat bantu seperti kaki palsu, kaki kursi roda, kruk, pembangunan rumah layah huni dan berbagai program lainnya, akan tercapai jika porsi anggaran kita lebih banyak dialokasikan untuk itu. Â
Dalam rangka mendorong penyerapan tenaga kerja, pemerintah daerah dapat memberikan insentif atau penghargaan kepada perusahaan atau badan usaha yang mempekerjakan difabel. Setidaknya ini dapat menjaditrigger yang positif bagi dunia usaha yang pro disabilitas. Sembari, pemerintah melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kuota formasi tenaga kerja, baik di instansi pemerintah, BUMN/BUMD maupun perusahaan. Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan di sektor formal bagi difabel tidak akan terwujud, jika hanya dijalankan setengah hati. Apalagi kalau undang-undang tidak mengatur sanksi yang tegas. Semestinya, ada sanksi administratif, semisal pembekuan izin.
Soal aksesibilitas, pemerintah setidaknya melakukan audit secara berkala terhadap ketersediaan fasilitas-fasilitas bagunan gedung yang tidak ramah terhadap difabel. Dalam Musyarawarah Perencanaan Pembangunan, juga harus melibatkan perwakilan dari difabel. Ini penting, agar pembangunan yang akan dilakukan, berorientasi pada pemenuhan hak-haknya. Misalnya pembangunan trotoar atau kantor-kantor yang menyelenggarakan pelayanan publik, harus melibatkan penyandang disabilitas. Agar fasilitas yang dibangun nantinya, dapat berfungsi dan dapat diakses. Â
Di sektor pendidikan, kesempatan yang sama harus diberikan kepada siswa difabel. Jangan sampai ada kasus penolakan oleh sekolah, karena siswanya difabel. Di sisi lain, lembaga pendidikan juga harus ramah dari sisi aksesibilitas. Temuan Ombudsman RI, cukup banyak lembaga pendidikan yang tidak memiliki aksesibilitas pada difabel. Media pembelajaran dan alat bantu bagi peserta didik difabel, juga sangat terbatas.
Siswa yang menggunakan kursi roda harus diangkat oleh teman-temannya, karena bangunan sekolah dibuat bertingkat. Belum lagi siswa tersebut mendapat stigma negatif dari teman kelasnya. Penting bagi sekolah untuk meningkatkan kepekaan kepada seluruh elemen sekolah, agar siswa difabel mendapatkan perlakuan yang setara. Bangunan gedung milik pemerintah, ke depannya sudah harus memikirkan aksesibilitasnya.
Pemenuhan dan perlindungan hak-hak difabel, perlu dukungan semua pihak. Mulai dari lembaga pendidikan, dunia usaha, LSM, media massa hingga masyarakat. Lembaga pendidikan, mulai sekarang, wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi difabel. Peran dunia usaha bisa dilakukan-selain merekrut tenaga kerja difabel potensial-melalui bantuan permodalan, hingga penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR). Dana CSR dapat digunakan untuk membatu permodalan, alat bantu gerak, hingga pembangunan rumah layak huni.
Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam melindungi teman-teman difabel dari diskiriminasi, penelantaran, eksploitasi, pelecehan maupun tindak kekerasan. Pun juga dengan media massa yang semakin membantu dalam membangun stigma positif terhadap difabel. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pemberitaan mengenai prestasi dari atlet difabel.
Akhirnya, kesetaraan hanya akan terwujud, jika sejak dalam pikiran kita sudah bertindak adil. Menghilangkan stigma negatif terhadap difabel adalah salah satunya. Mari kita bersama-sama memenuhi hak difabel. Selamat Hari Disabilitas Internasional !
Sopian Hadi
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan