• ,
  • - +

Artikel

WBS: Upaya Menjaga Kualitas Pelayanan Publik
• Rabu, 18/11/2020 • Zayanti Mandasari
 
Zayanti Mandasari (Asisten Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Perwakilan Kalsel)

Whistleblower/ peniup peluit bukanlah suatu istilah yang baru di Indonesia. Bahkan istilah ini telah popular sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban). Jika dilihat dari pengertian dalam KBBI, peniup peluit memiliki makna sebagai orang yang mengungkapkan suatu kasus kejahatan, biasanya bagian dari lingkar kejahatan tersebut. Acap kali, whistleblower tersebut ditujukan pada seseorang yang pertama kali melaporkan suatu tindakan yang dianggap ilegal di tempatnya bekerja atau orang lain berada, kepada atasan internal tempat bekerjanya tersebut. Biasanya, tujuan pelaporan ini didasari dengan itikad baik agar "penyimpangan" yang terjadi dapat ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Namun tak menutup kemungkinan,whistleblower mempunyai tujuan untuk mendapatkan keringanan hukuman, karena pada dasarnya terlibat dalam "penyimpangan" yang dilakukan.

Tak hanya dalam konteks hukum pidana saja yang dikenal istilah whistleblower. Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik, whistleblower juga telah digalakkan dalam sebuah sistem bernama Whistleblowing System (WBS)Selain sebagai mekanisme penguatan pengawasan internal, juga ditujukan sebagai perluasan kontrol pengawasan secara eksternal, serta sebagai upaya menjaga kualitas pelayanan publik. Hal ini telah dilakukan oleh banyak penyelenggara pelayanan publik, khususnya untuk mendukung percepatan Reformasi Birokrasi di "tubuh" lembaga/penyelenggara masing-masing.

Begitu pentingnya, WBS bahkan masuk dalam salah satu aspek pemenuhan dalam area Penguatan Pengawasan, sebagaimana lampiran Permenpan-RB Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari/menekan tingkat penyalahgunaan wewenang, meningkatkan sistem integritas pada tiap-tiap instansi pemerintah, dan tentunya diharapkan sebagai upaya pencegahan terjadinya KKN. Hal ini sebagai bentuk komitmen percepatan internalisasi dan proses reformasi birokrasi.

Ombudsman sebagai salah satu instansi penyelenggara pelayanan publik (sekaligus menjadi pengawas pelayanan publik), sejak tahun 2017, telah mengeluarkan Peraturan Ombudsman Nomor 27 Tahun 2017 tentang Sistem Pelaporan dan Penanganan Pelanggaran Internal (Whistleblowing System) di Lingkungan Ombudsman Republik Indonesia. Di Ombudsman, whistleblower yang diartikan sebagai Pengadu, memiliki makna setiap orang yang mengetahui langsung dan mengadukan adanya indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh Insan Ombudsman. Sedangkan WBS dimaknai sebagai sistem pengelolaan pengaduan dan penanganan pelanggaran di lingkungan Ombudsman.

Setidaknya ada empat tujuan diadakannya WBS di Ombudsman, yakni untuk menciptakan situasi yang kondusif dalam pelayanan di Ombudsman dan mendorong pengaduan hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian negara berupa finansial maupun non-finansial, termasuk hal-hal yang dapat merusak citra oerganisasi. Selanjutnya, sebagai wadah dan panduan bagi whistleblower untuk menyampaikan aduan, baik mengenai pelanggaran peraturanperundang-undangan, kode etik, dan/atau kebijakan yang berlaku di Ombudsman. Selain itu, WBS juga ditujukan untuk mempermudah manajemen dan meningkatkan kualitas dalam menangai pengaduan internal secara efektif. Dan tujuan terakhir untuk memberikan perlindungan kepada whistleblower.

Berangkat dari tujuan tersebut, tentunya tak berlebihan jika dikatakan yang menjadi goals akhir dari pelaksanaan WBS adalah meningkatnya public trust terhadap Ombudsman secara lembaga. Tentunya hal ini tak hanya berlaku kepada Ombudsman, juga berlaku kepada instasi lainnya, khususnya yang mempunyai tugas untuk menyeelnggarakan pelayanan publik. Gambaran sederhananya, jika publik sebagai pengguna layanan mendapatkan pelayanan sebagaimana ketentuan yang berlaku, dan diberikan sarana untuk menyampaikan pengaduannya terhadap penyimpangan yang diduga dilakukan oleh Insan Ombudsman, kemudian ada jaminan kerahasiaan, keamanan sebagai pengadu, dan diberikan informasi atas tindak lanjut yang dilakukan atas pengaduannya, maka secara tidak langsung pengadu akan berpikir, bahkan upaya yang dilakukannya tidak sia-sia. Sehingga ke depannya akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap eksistensi sebuah instansi penyelenggara pelayanan publik.   

Penulis sengaja berfokus pada instansi penyelenggara pelayanan publik. Hal ini dikarenakan instansi dengan tugas inilah yang memang berhadapan langsung kepada publik dan paling memiliki potensi untuk terjadinya penyimpangan, baik menyalahi peraturan perundang-undangan, ataupun melanggar kode etik dalam menjalankan tugasnya, yang tentunya berpotensi setidaknya pada dua hal, yakni citra kelembagaan dan kerugian terhadap publik, khususnya dalam penyimpangan berbentuk permintaan imbalan uang/barang/jasa.

Jika memang WBS sangat berdampak pada perbaikan dan upaya menjaga kualitas pelayanan publik, apakah semua penyelenggara pelayanan publik telah menerapkan WBS dan memberikan jaminan kepada whistleblower sesuai dengan ketentuan? Sebagai satu gambaran, masih ada instansi penyelenggara pelayanan publik yang "abai" dalam menerapkan konsep WBS tersebut, bahkan sangat disayangkan karena instansi pelayanan publik tersebut berkaitan langsung dengan masyarakat, khususnya masyarakat yang tengah berupaya mendapatkan perhatian dari pemerintah (dalam bentuk bantuan), dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sebagai contoh, Dinas Sosial di salah satu daerah di Kalimantan Selatan "abai" dalam menjaga kerahasiaan dan memberikan jaminan bagi whistleblower yang memberikan informasi penting kepada salah satu petugas di instansi tersebut. Maksud hati, Sang Pelapor menyampaikan informasi tentang ketidaksesuaian penerima data bantuan sosial di masyarakat, karena bantuan sosial tersebut diterima oleh orang yang terbilang berkecukupan, mempunyai rumah tinggal pribadi, mempunyai kendaraan roda dua. Padahal jika kriterianya seperti itu, maka masih banyak masyarakat lain yang juga berhak atas bantuan sosial tersebut. Padahal masih ada masyarakat yang tingkat ekonominya jauh dibawah penerima tersebut, tetapi tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah.

Atas informasi tersebut, petugas Dinas Sosial melakukan konfirmasi dan peninjauan ulang ke penerima yang dilaporkan sesuai dengan informasi. Namun sangat disayangkan, petugas tersebut menyebutkan sumber informasi yang diterimanya, sehingga yang terjadi adalah perselisihan antara di whistleblower dan penerima bantuan sosial dalam sasaran tersebut. Bahkan berimbas ke kehidupan sosial antara keduanya, saat anak dari si whistleblower meninggal dunia, penerima bantuan tak tepat sasaran tersebut mengajak warga lain untuk tidak melayat ke rumahnya, sehingga atas sikap petugas Dinas Sosial tersebut membawa kerugian berkesinambungan pada di whistleblower. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan konsep WBS. Bahkan terlontar dari whistleblower bahwa ia tak percaya lagi dengan dinas terkait, bahkan ada kesan trauma, sehingga ia memutuskan untuk melaporkannya ke Ombudsman Kalsel.

Potret belum baiknya sistem WBS dalam pelayanan publik ini menunjukkan bahwa belum semua instansi penyelenggara pelayanan publik sadar betul terkait pentingnya WBS sebagai upaya menjaga kualitas pelayanan publik. Hal ini tentunya sangat disayangkan, terlebih lagi mengingat periode reformasi yang saat ini tengah memasuki fase terakhir (ketiga). Besar harapan agar seluruh instansi penyelenggara pelayanan publik menerapkan WBS yang sesungguhnya, bukan hanya sebagai bentuk "penggugur kewajiban", apalagi hanya sebagai bentuk upaya "mengejar" predikat WBK (Wilayah Bebas dari Korupsi) dan WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih Melayani), namun pada tahap implementasi mengingkari apa yang telah dijanjikan. Semoga.  





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...