Urgensi Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik di Provinsi Bengkulu
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia memberi mandat kepada Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas eksternal pelayanan publik baik yang dilakukan oleh pemerintah termasuk BUMN, BUMD dan BHMN serta Badan Swasta atau Perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang seluruhnya atau sebagian dananya berasal dari APBN atau APBD.
berdasarkan tugas, fungsi, dan wewenang Ombudsman RI bekerja terus-menerus mendorong pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya, memperkuat dan membangun transparansi dan akuntabiltas kinerja pemerintah, serta pengawasan terhadap aksesibilitas dan kualitas pelayanan publik yang diberikan sebagai hak yang harus dipenuhi kepada masyarakat. Dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan tersebut setiap tahun Ombudsman Republik Indonesia melakukan penilaian dan pemeriksaan tingkat kepatuhan kementerian, lembaga, dan pemda terhadap standar pelayanan publik.
Fokus pemeriksaan tersebut dipilih karena standar pelayanan publik merupakan ukuran baku yang wajib disediakan oleh penyelenggara pelayanan sebagai bentuk pemenuhan asas-asas transparansi dan akuntabilitas. Sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Pasal 54 UU No.25/2009 terdapat sanksi mulai dari sanksi pembebasan dari jabatan sampai dengan sanksi pembebasan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi pelaksana dan penyelenggara pelayanan publik yang tidak memenuhi kewajibannya menyediakan standar pelayanan publik yang layak.
Pengabaian terhadap standar pelayanan potensial mengakibatkan memburuknya kualitas pelayanan. Hal ini bisa diperhatikan dari indikator-indikator kasat mata, misalnya jika tidak terdapat maklumat pelayanan yang ditampilkan atau dipublikasikan maka bisa berpotensi ketidakpastian hukum dan maladministrasi terhadap pelayanan publik akan sangat besar. Jika tidak terdapat standar biaya yang dipublikasikan, maka potensi pungli, calo, dan suap menjadi lumrah di kantor tersebut.
Jika tidak terdapat standar dan prosedur pelayanan, maka potensi ketidakjelasan waktu pelayanan terjadi di unit pelayanan publik tersebut, serta pengabaian terhadap standar pelayanan publik juga akan mendorong terjadinya potensi perilaku maladministrasi dan perilaku koruptif. Dalam jangka panjang pengabaian terhadap 2 standar pelayanan publik potensial mengakibatkan menurunnya kredibilitas peranan pemerintah sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator pembangunan pelayanan publik.
Dalam penelitian kepatuhan, Ombudsman RI memposisikan diri sebagai masyarakat pengguna layanan yang ingin mengetahui hak-haknya dalam pelayanan publik, seperti ada atau tidaknya persyaratan pelayanan, kepastian waktu dan biaya, prosedur dan alur pelayanan, sarana pengaduan, pelayanan yang ramah dan nyaman, dan lain-lain. Ombudsman RI tidak menilai bagaimana ketentuan terkait standar pelayanan itu disusun dan ditetapkan, sebagaimana telah dilakukan oleh lembaga lain.
Penilaian ini juga tidak untuk menilai efektivitas dan kualitas pelayanan serta kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik, melainkan hanya memfokuskan pada atribut standar layanan yang wajib disediakan pada setiap unit pelayanan publik. Penilaian kepatuhan ini untuk mengingatkan kewajiban penyelenggara negara agar memberikan layanan terbaik kepada masyarakat berbasisevidence, bukti-bukti, dan metodologi yang kredibel (evidence based policy).
Penilaian yang menggunakan variabel dan indikator berbasis pada kewajiban penyelenggara pelayanan negara memenuhi komponen standar pelayanan publik (pasal 15) dan mengukur hasil dengan menggunakantraffic light system (zona merah, zona kuning dan zona hijau) menemukan tingkat kepatuhan kementerian, lembaga, dan pemda masih jauh dari harapan.
Implementasi di Provinsi Bengkulu
Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Bengkulu telah melaksanakan Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik ini dengan menggunakan traffic light system kategorisasi hijau (tingkat kepatuhan tinggi), kuning (tingkat kepatuhan sedang) dan merah (tingkat kepatuhan rendah), untuk zona penilaian Kepatuhan di Daerah (Provinsi, Kota, dan Kabupaten) nilai 0 - 50 masuk dalam kategori rendah di zona merah, nilai 51 - 80 masuk dalam kategori sedang di zona kuning, dan nilai 81 - 100 masuk dalam kategori tinggi di zona hijau.
Berdasarkan Laporan Hasil Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik yang dikeluarkan oleh Ombudsman Republik Indonesia yang mengambil data dari tahun 2015 hingga 2019. Sedangkan untuk penilaiannya diambil sampel beberapa daerah di Provinsi Bengkulu, apabila Pemda telah masuk dalam kategori kepatuhan tinggi yakni zona hijau maka di tahun berikutnya tidak dilakukan penilaian, namun dilakukan penilaian dengan mengambil sampel dari Pemda yang masih dalam kategori sedang, kategori rendah atau zona kuning dan merah serta Pemda yang belum masuk sampel penilaian sebelumnya.
Rincian Penilaian Kepatuhan 2015 di Provinsi Bengkulu yaitu, untuk Provinsi Bengkulu dengan nilai 27.00 masuk kedalam kategori rendah (zona merah), Kota Bengkulu dengan nilai 29, 62 masuk kedalam kategori rendah (zona merah), Kabupaten Mukomuko 26.75 masuk kedalam kategori rendah (zona merah), dan untuk Kabupaten Lebong 26.17 masuk kedalam kategori rendah (zona merah).
Rincian Penilaian Kepatuhan 2016 Provinsi Bengkulu yaitu, untuk Provinsi Bengkulu dengan nilai 83.31 masuk kedalam kategori tinggi (zona hijau), Kota Bengkulu dengan nilai Kota Bengkulu 38,70 masuk kedalam kategori rendah (zona merah), Kabupaten Mukomuko 54.08 masuk kedalam kategori sedang, (zona kuning), Kabupaten Lebong 60.09 masuk kedalam kategori sedang (zona kuning), dan Kabupaten Bengkulu Utara 53,31 masuk kedalam kategori sedang (zona kuning).
Rincian Penilaian Kepatuhan 2017 Provinsi Bengkulu yaitu, untuk Kota Bengkulu dengan nilai 88,02 masuk kedalam kategori tinggi (zona hijau), Kabupaten Bengkulu Utara dengan nilai 92,91 masuk kedalam kategori tinggi (zona hijau), Kabupaten Mukomuko dengan nilai 29.52 masuk kedalam kategori rendah (zona merah), Kabupaten Lebong dengan nilai 61.31 masuk kedalam kategori sedang (zona kuning), dan untuk Kabupaten Bengkulu Selatan dengan nilai 30,25 masuk kedalam kategori rendah (zona merah).
Rincian Penilaian Kepatuhan 2018 Provinsi Bengkulu yaitu, untuk Kabupaten Mukomuko dengan nilai 89.25 masuk kedalam kategori tinggi (zona hijau), Kabupaten Lebong dengan nilai 93.78 masuk kedalam kategori tinggi (zona hijau), Kabupaten Bengkulu Selatan dengan nilai 60,11 masuk kedalam kategori sedang (zona kuning), Kabupaten Bengkulu Tengah dengan nilai 68,16 masuk kedalam kategori sedang (zona kuning), Kabupaten Rejang Lebong dengan nilai 54,42 masuk kedalam kategori sedang (zona kuning), dan Kabupaten Kepahiang dengan nilai 38,99 masuk kedalam kategori rendah (zona merah).
Rincian Penilaian Kepatuhan 2019 Provinsi Bengkulu yaitu, untuk Kabupaten Bengkulu Selatan 76,61 masuk kedalam kategori sedang (zona kuning), Kabupaten Kepahiang dengan nilai 86,87 masuk kedalam kategori tinggi (zona hijau), Kabupaten Bengkulu Tengah 52,92 masuk kedalam kategori sedang (zona kuning), Kabupaten Kaur 64,52 masuk kedalam kategori sedang (zona kuning), Kabupaten Rejang Lebong dengan nilai 45,41 masuk kedalam kategori rendah (zona merah), dan untuk Kabupaten Seluma dengan nilai 46,92 masuk kedalam kategori rendah (zona merah).
Dari Hasil Penilaian Kepatuhan Pemda di Provinsi Bengkulu dari Tahun 2015 hingga 2019 tersebut, terdapat 6 (enam) Pemda yang telah mendapatkan kategori tinggi (zona hijau) yaitu Provinsi Bengkulu, Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Lebong, Kabupaten Mukomuko, dan Kabupaten Kepahiang. Lalu 3 (tiga) Kabupaten masuk kategori sedang (zona kuning) yaitu Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Bengkulu tengah, dan Kabupaten Kaur. Lalu yang terakhir 2 (dua) Kabupaten masih mendapatkan kategori rendah (zona merah) yaitu Kabupaten Seluma dan Rejang Lebong.
Dampak Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik dan Rencana Tahun 2020
Pengabaian atau tidak patuhnya terhadap publikasi standar pelayanan berpotensi pada kurangnya kualitas pelayanan dan berpotensi terjadinya perilaku maladministrasi. Indikator-indikator seperti: maklumat pelayanan, persyaratan, alur/mekanisme pelayanan, jangka waktu pelayanan dan biaya/tarif layanan. Maka potensi terjadinya ketidakpastian hukum terhadap pelayanan publik akan sangat besar,
Membuat komponen standar pelayanan tentu saja bukan tanpa hambatan seperti, kurangnya anggaran untuk memenuhi sarana prasarana komponen standar pelayanan hingga kurang luasnya ruang pelayanan untuk mempublikasi semua komponen standar pelayanan. Dibutuhkan komitmen yang tinggi dari Pimpinan Instansi Pemda yang masih perlu untuk senantiasa meningkatkan pelayanan instansinya.
Melihat hasil penilaian kepatuhan Standar Pelayanan Publik di beberapa pemda di Provinsi Bengkulu dari tahun 2015 hingga 2019, ada beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan perbaikan yaitu: 1. Penyelenggara layanan (OPD) membuat program secara sistematis dan mandiri untuk mempercepat implementasi standar pelayanan publik sesuai UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik, dan Peraturan Menteri PAN/RB No.15/2014 tentang Standar Pelayanan, dan sebagai penyelenggara layanan wajib mempublikasikan standar pelayanannya; 2. Kepala Daerah dan Pimpinan penyelenggara layanan terlibat aktif dalam memantau konsistensi peningkatan kepatuhan. Terdapat lebih dari 10 komponen standar pelayanan yang harus dipenuhi berdasarkan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, dan Peraturan Menteri PAN/RB No. 15/2014 tentang Standar Pelayanan dalam rangka terciptanya kualitas pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat.
Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik di Tahun 2020 ini kembali masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dan Kementerian PPN/Bappenas telah menetapkan salah satu indikator baiknya pelayanan publik di instansi Pemda melalui Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Ombudsman Republik Indonesia, sehingga dampak yang akan ditimbulkan dari penilaian kepatuhan ini juga akan berimbas pada banyak hal termasuk anggaran.
Selain Penilaian Kepatuhan ini juga akan dimasukkan Penilaian Indeks Persepsi Maladministrasi (inperma) yang melihat persepsi masyarakat/pengguna layanan publik yang telah mendapatkan pelayanan dari instansi penyelenggara pelayanan publik (OPD), dengan melihat kesesuaian pelaksanaan publikasi standar pelayanan dengan pelayanan yang diberikan kepada pengguna layanan. (ori-bengkulu, ja)