Urgensi “Ombudsman Kampus†Dalam New Normal Pelayanan Pendidikan Tinggi
Banjarmasin - Penerapan New Normal merupakan cara yang sedang digenjot oleh pemerintah untuk tetap menjalankan roda pemerintahan, baik dari segi ekonomi/bisnis, maupun pelayanan secara umum. Berbicara tentang pelayanan, tentu pelayanan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi (kampus) menjadi salah satu topik yang sangat penting, mengingat hampir 3 bulan sudah mahasiswa belajar dari rumah, bimbingan skripsi dan ujian dari rumah, bahkan hingga wisuda dari rumah. Pertanyaannya, apakah kondisi tersebut masih akan berlanjut? Jika melihat wacana New Normal yang terus digodok oleh pemerintah, bisa jadi dalam waktu (semester) akan datang, perkuliahan berjalan seperti sediakala (dengan cara tatap muka), namun tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Melihat kemungkinan tersebut, Ombudsman Kalsel yang berfokus pada terselenggaranya pelayanan publik mengambil inisiatif untuk menggelar dialog virtual dengan tema "New Normal Pelayanan Pendididkan Tinggi" (3/6/2020). Dalam dialog, sempat mengemuka wacana penerapan New Normal pelayanan pendidikan tinggi, mulai dari menjaga jarak saat proses perkuliahan, mengurangi jumlah mahasiswa dalam ruangan (sehingga memadai untuk menerapkan physical distancing), membagi jadwal agar semua mahasiswa tetap mendapatkan perkuliahan tatap muka, hingga dosen wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) saat mengajar. Wacana tersebut, mendapat respon dari Prof. Adrianus Eliasta Meliala (Anggota Ombudsman RI), yang saat itu tengah menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut. Prof. Adrianus memprediksi maladministrasi di era New Normal pendidikan tinggi, bisa saja terjadi. Misalnya civitas akademika, khususnya pejabat struktural dan pengajar, tidak mempergunakan APD, ataupun kegiatan formal maupun kegiatan kurikuler atau ekstra-kurikuler yang mengabaikan protokol kesehatan.
Lebih lanjut Prof. Adrianus menambahkan "dalam keadaan normal, Ombudsman telah berpengalaman menangani laporan maladministrasi seputar penyelenggaaan pendidikan tinggi, misalnya proses pemilihan pimpinan lembaga bermasalah, integritas dan perilaku pimpinan lembaga yang rendah/buruk, manajemen riset amburadul, serta administrasi pendidikan (khususnya terkait kemahasiswaan) lemah. Untuk mengatasi berbagai potensi maladministrasi pada pelayanan pendidikan tinggi tersebut, Prof. Adrianus menawarkan pembentukan "Ombudsman Kampus" sebagai solusi. Hal ini ditujukan untuk menyelesaiakan permasalahan layanan khas pendidikan tinggi: lambat, birokratis, toleran terhadap pelanggaran, enggan memberi sanksi, sehingga dapat meningkatan kualitas layanan pendidikan tinggi.
Menurut Prof. Adrianus, "Ombudsman Kampus perlu dibentuk guna memperkuat esensi pelayanan publik pendidikan tinggi. Dalam gagasannya, Prof Adrianus juga menyampaikan bahwa posisi Ombudsman Kampus harus sejajar Rektor (karena dapat memeriksa rektor) dan bersifat menggantikan berbagai lembaga dan mekanisme pemberi sanksi lainnya di kampus. Selain itu, civitas akademika dapat melaporkan berbagai permasalahan tingkat administratif/teknis/etis untuk ditangani secara solutif (berbasis Ombudsman Ways), cepat, murah dan internal", pungkasnya.