Tingkat Kepatuhan Hukum dan Potensi Maladministrasi Penegakan Hukum
Kepatuhan hukum yang sering dihimbau Pemerintah bahkan disebut-sebut dalam berbagai Pidato Presiden, agar menjunjung tinggi hukum, hendaknya dimaknai secara adil, tidak hanya himbauan kepada masyarakat tetapi juga dipahami dan dilaksanakan oleh Penegak hukum sebagai Aparat negara yang melakukan proses penegakan hukum.
Aparat Penegak hukum antara lain, jajaran kepolisian, kejaksaan, pengadilan hingga petugas Pemasyarakatan (Lapas/Rutan) mengemban tugas berupa tindakanrepresif dalam penegakan hukum, sehingga pelaksanaan tugas tersebut membutuhkan pengawasan untuk menjaga proses dan menjamin tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Pada tanggal 5 Maret 2019 yang lalu, Ombudsman RI sebagai Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, mengeluarkan siaran pers (Website Ombudsman.go.id), disampaikan Anggota Ombudsman, Adrianus Meliala, pada intinya mengumumkan bahwa Ombudsman RI telah melakukan Survei Kepatuhan Hukum oleh lembaga penegak hukum pada tahun 2018, di 10 provinsi yang tercatat memiliki angka laporan tertinggi kepada Ombudsman RI pada kurun waktu 2013-2017, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Riau, Sumatera Barat dan Maluku. Penilaian meliputi 40 berkas perkara pada tahap penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pemasyarakatan.
Survei Kepatuhan Hukum ini berfokus pada kelengkapan berkas perkara secara administratif serta pemenuhan unsur dokumen dalam proses peradilan pidana umum yang harus dilengkapi oleh lembaga penegak hukum. Pada intinya mencermati sejauh mana Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Lembaga pemasyarakatan telah patuh terhadap ketentuan administrastif-teknis yang dibuat oleh masing-masing lembaga dan peraturan perundang-undangan terkait.
Survei Kepatuhan Hukum yang dilakukan pada tahun 2018 tersebut, menghasilkan bahwa pada penilaian pemenuhan unsur dokumen tingkat kepatuhan penegak hukum relatif masih rendah. Pemenuhan unsur dokumen pada tahap penyidikan sebanyak 46,66%, tahap penuntutan 47,98%, tahap peradilan 69,05%, dan tahap pemasyarakatan 46,66 %.
Hasil survey Ombudsman RI mengenai kepatuhan hukum tersebut perlu dicermati, setidaknya dapat menjadi cambuk dan masukan bagi Penegak Hukum memperbaiki aspek kepatuhan prosedur adiministratif, karena untuk mendorong kesadaran masyarakat untuk mematuhi hukum, tentu dari aparat juga perlu memastikan telah mematuhi prosedur hukum dalam melaksanakan tugasnya, termasuk pemenuhan prosedur administratif.
Setelah itu, Ombudsman RI, dalam siaran pers tanggal 10 Oktober 2019 (Website Ombudsman.go.id) disampaikan Anggota Ombudsman, Ninik Rahayu mengumumkan hasil kajian singkat (Rapid Assessment) penanganan unjuk rasa dan kerusuhan tanggal 21-23 Mei 2019 di Jakarta, yang dalam kesimpulannya terdapat Maladministrasi oleh Kepolisian dalam menjalankan tugas dan kewenangan. disampaikan agar kedepannya penanganan unjuk rasa dan kerusuhan dapat memperkecil peluang jatuhnya korban dan menghilangkan praktik kekerasan serta praktik arogansi lainnya. Ombudsman meminta jangan terulang lagi penanggulangan demo dan kerusuhan sampai jatuh korban luka bahkan meninggal dunia.
Beberapa temuan Maladministrasi pada beberapa tahapan antara lain penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur dan tidak kompeten pada perencanaan danplotting pasukan, cara bertindak Polri, proses hukum sampai dengan penanganan korban dan barang bukti. Dengan mengingatkan adanya Maladministrasi tersebut, agar jadi bahan masukan bagi Polri karena dari tindakan di lapangan inilah, terdapat korban baik dari pihak Polri dan juga masyarakat.
Mencermati siaran pers tersebut, dapat dikatakan bahwa potensi maladministrasi dalam proses penegakan hukum masih terjadi, bahkan pada sebagian kasus berdampak signifikan.
Objek pengawasan Ombudsman RI adalah mengawasi dan membuktikan apakah pemberian pelayanan oleh penyelenggara negara termasuk penegak hukum terjadi maladministrasi atau tidak. Maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan (Pasal 1, angka 3, UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI).
Pengertian ini memiliki pemaknaan yang cukup luas, sehingga tugas pengawasan Ombudsman RI tidak hanya memastikan kelengkapan administrasi, tetapi juga penyelesaian laporan dan upaya inisiatif atas adanya dugaan maladministrasi, sehingga pemberian saran perbaikan ataupun rekomendasi oleh Ombudsman kepada instansi (penyelenggara negara/Pelayanan) merupakan hal yang penting untuk memperbaiki pelayanan publik.
Menurut Professor hukum, Satjipto Rahardjo, ada tiga faktor menyebabkan seseorang mematuhi hukum, yaitu: 1)Kepatuhan, berdasarkan pada harapan imbalan atau upaya untuk menghindari ancaman hukuman. 2).Identifikasi, minat mematuhi hukum diperoleh dari hubungan baik dengan pemegang kekuasaan. Kepatuhan tergantung pada interaksi yang baik atau buruk dari pemegang kekuasaan ke masyarakat. 3).Internalisasi, kepatuhan memiliki nilai dalam dirinya sendiri dan juga penghargaan. Isi hukum sesuai dengan nilai orang yang bersangkutan. Jadi kepatuhan muncul karena hukum berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang diadopsi.
Menilik faktor penyebab kepatuhan hukum yang dikemukan Satjipto Rahardjo, pada intinya kembali ke orang pribadi agar memiliki nilai dalam dirinya untuk menerapkan kaidah hukum, selain itu, juga memerlukan pengawasan, misalnya untuk lingkungan yang lebih besar, seperti kehidupan bernegara. Dapat dikatakan bahwa dasar kepatuhan itu adalah pendidikan, kebiasaan dan kemanfaatan. Jadi, kita harus terlebih dahulu memahami bahwa hukum itu ada untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga dapat menyadari kegunaannya dan kemudian menentukan sikap untuk mematuhinya.
Jika kita pahami, usaha menciptakan kepatuhan hukum terdapat beberapa cara:1).Represif, adanya tindakan yang diberikan agar terjadi penegakan hukum. Pelaksanaan tindakan represif ini seperti dalam proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, memerlukan pengawasan, baik internal mapuan ekseternal. 2). Preventif, merupakan usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum atau merosotnya kesadaran hukum, 3). Persuasif, yaitu mendorong, memacu, sehingga tercipta kesadaran hukum, yang erat kaitannya dengan nilai-nilai hukum atau budaya hukum.
Rendahnya tingkat kepatuhan hukum, akan menyebabkan potensi maladministrasi juga meningkat, maka Survey kepatuhan Hukum yang dilakukan Ombudsman RI seyogyanya menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi Penegak Hukum.
Jika kita konsisten membangun negara ini sebagai negara hukum, maka kepatuhan dan ketundukan kepada hukum haruslah menjadi nilai yang tertanam dalam diri setiap individu, termasuk para Penegak Hukum sendiri, sehingga hukum memiliki kewibawaannya dan menjadi budaya di masyarakat.