• ,
  • - +

Artikel

The New Normal dan Akselerasi Pelayanan Prima
• Rabu, 27/05/2020 • ST. Dwi Adiyah Pratiwi
 
ST. Dwi Adiyah Pratiwi (Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan)

Pandemi memaksa kita untuk menerima kondisi baru yang jauh berbeda dari sebelumnya dalam menjalani rutinitas. Belakangan istilah the new normal pun mencuat, sebuah kondisi dengan gambaran di mana masyarakat kembali menjalani aktivitas di luar rumah seperti sedia kala setelah penerapan PSSB di sejumlah wilayah, dan himbauan tetap di rumah bagi wilayah yang tidak ditetapkan PSBB, dengan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah risiko penularanCorona Virus Disease 2019 (COVID-19) . Tidak sedikit dari rutinitas harian merupakan akses terhadap pelayanan publik, maka jika the new normal akhirnya diterapkan, semestinya penyelenggara pelayanan publik telah menyusun strategi dengan memerhatikan pemenuhan hak-hak masyarakat.

Hukum sebagai alat rekayasa sosial mesti tampil untuk mengambil andil mengubah pola kebiasaan dalam pelayanan publik dari situasi normal yang lama ke situasi normal yang baru. Kondisi ini membuat pelayanan berbasis digital akhirnya bukan lagi menjadi pilihan melainkan kewajiban. Secara teoritis dalam paradigma e-Government penggunaan teknologi informasi dan komunikasi merupakan sebuah keniscayaan dalam administrasi dan pelayanan publik, ditinjau dari aspek historis persilangan antara kegiatan pemerintahan dan teknologi di Indonesia juga telah diadposi sejak lama melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government. Sehingga pelayanan berbasis elektronik ini sesungguhnya bukan hal baru, secara legal formal di tengah revolusi industri 4.0, pemerintah pun telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.

Rekayasa terhadap penyelenggara dan pengguna pelayanan publik disituasi pandemik ini, jika sebelumnya banyak dari kegiatan pelayanan publik dilakukan secara bertatap muka, maka saat ini masyarakat dan pelaksana pelayanan publik dituntut untuk memaksimalkan pengunaan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk itu perlu segera dilakukan perubahan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan mengakomodir penyelenggaraan pelayanan berbasis digital di setiap instansi pelayanan publik sebagai acuan pelaksanaan pelayanan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan juncto Pasal 21 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Perubahan SOP yang mengakomodir pelayanan berbasis digital dimaksudkan dimaksudkan agar memberikan jaminan kepastian, di antaranya terkait jangka waktu pelayanan, sehingga walaupun pelayanan tidak dilakukan secara tatap muka namun tetap menjamin kepastian waktu. Hal ini juga penting untuk mengantisipasi mood pelaksana pelayanan yang dapat berujung kepada perbuatan maladministrasi dalam bentuk penundaan berlarut.

The New Normal yang menekankan penerapan protokol kesehatan, di antaranya menjaga jarak antara individu untuk mencegah penularan, kenyataannya kontraproduktif dengan kondisi pelayanan publik yang masih diwarnai penumpukan antrean. Hal ini patut menjadi perhatian, khususnya untuk jenis pelayanan langsung seperti layanan kesehatan dan jenis pelayanan yang memerlukan verifikasi dan validasi seperti pelayanan e-KTP yang memiliki tahap perekaman, dan pelayanan pembuatan SIM Baru yang memiliki tahap ujian simulasi. Maka ke depannya jika the new normal diterapkan, instansi penyelenggara pelayanan publik diharapkan sudah harus mempunyai mekanisme pelayanan yang dapat meminimalisir penumpukan antrean. Metode yang dapat digunakan salah satunya adalah melakukan pengambilan nomor antrean secara online dilengkapi dengan perkiraan waktu kapan masyarakat harus ke instansi tersebut untuk mendapatkan pelayanan langsung, dengan demikian masyarakat tidak perlu menumpuk di instansi pelayanan publik hanya untuk sekadar menunggu giliran. Sebab mustahil menerapkan protokol kesehatan di tengah keramaian akibat banyaknya antrean dalam ruangan yang terbatas.

Kondisi ini juga sama saja dengan instansi yang membatasi jumlah pengguna layanan yang dapat menunggu di dalam ruangan, dan selebihnya diarahkan untuk menunggu di halaman, namun di luar/halaman instansi tersebut tetap terjadi bludakan antrean. Alih-alih mencegah penumpukan di dalam ruangan untuk mencegah risiko penularan COVID-19 situasi seperti ini justru menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat sebagai pengguna layanan, selain tetap rentan oleh risiko penyebaran virus akibat berdesak-desakan. Model seperti ini tak lain hanya memindahkan kerumunan masyarakat pengguna layanan bukan menghilangkan, yang juga berarti hanya memindahkan tempat terjadinya resiko penularan virus dari ruangan ke halaman.

Praktik antrean online seperti ini sudah diterapkan di beberapa fasilitas kesehatan, di mana masyarakat cukup melakukan pendaftaran/pengambilan antrean secara online, selanjutnya petugas akan menyampaikan nomor urut antrean sekaligus prakiraan jadwal giliran pasien yang bersangkutan untuk mendapatkan pelayanan. Hal tersebut dilakukan agar minimalisir penumpukan orang di ruang tunggu. Sehingga ke depannya diharapkan setiap instansi penyelenggara pelayanan publik seluruhnya telah menerapkan sistem antrean yang serupa.

Selain pengambilan nomor antrean secara online untuk jenis pelayanan langsung, di situasi pandemi ini seharusnya penyelenggara pelayanan publik dapat melakukan kerjasama antara instansi penyelenggara untuk beberapa jenis pelayanan administrasi tertentu agar pemberian layanan lebih efektif dan efisien. Misalnya pelayanan pembuatan Akta Kelahiran, semestinya orangtua bayi baru lahir tidak perlu lagi membawa diri beserta dokumen-dokumen berupa surat pengantar/keterangan lahir dan'tetek bengeknya' ke Instansi Pencatatan Sipil untuk sekedar menyerahkan permohonan penerbitan Akta Kelahiran. Sekiranya jika data kelahiran di fasilitas kesehatan sudah terintegrasi dengan dinas terkait, mengingat pula dokumen yang diperlukan untuk permohonan dan verifikasi di antaranya Kartu Keluarga dan KTP adalah produk Intansi Pencatatan Sipil itu sendiri, sehingga tentu data meliputi dokumen tersebut telah terarsip di instansi terkait. Selanjutnya apabila telah selesai, instansi pencatatan sipil cukup menjadwalkan pengambilan Akta Kelahiran oleh orangtua guna menghindari kerumunan akibat anteran, dengan menerapkan ini sekaligus telah mengantisipasi putus catat kelahiran di situasi pandemik, yang juga tentu akan berdampak positif terhadap kontinuitas pencatatan data kependudukan.

Kita berharap di tengah pandemi ini performa pelayanan publik tidak jauh merosot, sebaliknya justru menjadi momentum untuk percepatan penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik demi memenuhi hak-hak masyarakat secara efektif dan efisien. Adapun untuk instansi yang telah memiliki pelayanan antrean secara online agar dapat lebih masif melakukan sosialisasi, contohnya untuk pelayanan Pembuatan Paspor dapat dilakukan antrean secara online melalui Aplikasi Pendaftaran Paspor Online (APAPO), Pelayanan Pembuatan SKCK dapat dilakukan melalui skck.polri.go.id.

Untuk pengaduan pelayanan publik sendiri, selain menyampaikan pengaduan secara langsung di Kantor Ombudsman, masyarakat dapat memaksimalkan penyampaian pengaduan melalui layanan telepon pada 137, melalui pesan ke 082137373737, melalui email ke pengaduan@ombudsman.go.id atau menggunakan layanan pengaduan melalui website Ombudsman pada https://ombudsman.go.id/pengaduan. Walau situasi saat ini membatasi ruang gerak kita, namun batas sesungguhnya adalah sifat malas. Mari tetap produktif di masa pandemik, efektif dan efisien melayani, mewujudkan pelayanan prima.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...