• ,
  • - +

Artikel

Tata Niaga Sapi di NTT
• Rabu, 16/01/2019 • Darius Beda Daton, S.H.
 
Seorang peternak sedang membawa sapinya untuk dijual di Pasar Lili-Camplong, Kabupaten Kupang, 20/12/2017. (KOMSTRAT/ Victor William Benu)

Efisiensi kegiatan distribusi komoditas sangat dipengaruhi oleh panjangnya mata rantai distribusi dan besarnya margin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap mata rantai distribusi. Semakin pendek mata rantainya, dan semakin kecil selisih keuntungan margin antar pelaku pemasok, maka kegiatan distribusi menjadi efisien. Pun demikian dengan daging sapi. Ketersediaan daging sapi, baik impor maupun lokal, sangat terkait dengan ketahanan pangan. Jadi jangan heran kalau di Indonesia ketersediaan daging sapi sama pentingnya dengan ketersediaan beras, gula, jagung, telur, unggas, kedelai dan sebagainya. Daerah penghasil (suplier) sapi potong yang kapasitasnya tinggi antara lain adalah Nusa Tenggara Timur. Coba tengok data Badan Pusat Statistik (BPS) berikut ini: data tahun 2010 berjumlah 599.279, tahun 2011 berjumlah 778.633, tahun 2012 berjumlah 814.450, tahun 2013 berjumlah 823.134, dan pada tahun 2014 jumlahnya menjadi 865.731. Pada tahun 2015 terus meningkat menjadi 899.577, dengan perbandingan populasi antar kabupaten untuk yang tertinggi terdapat di Kabupaten TTS dengan jumlah 187.740, diikuti Kabupaten Kupang dengan jumlah 154.814. Angka tersebut menjadi faktor yang menentukan Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu produsen besar untuk sapi, disamping kerbau dan kuda.

Beberapa Permasalahan

Sebagai produsen sapi untuk pasar nasional, Nusa Tenggara Timur mengirimkan sapi keluar dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, diantaranya ke pula Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun demikian, penjualan sapi keluar dari Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak semata bebas mengikuti tingginya populasi sapi yang ada.  Pada tahun 2017, berdasarkan Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor: 29/KEP/HK/2017 tentang Alokasi Pengeluaran Ternak Besar Potong Sapi, Kerbau dan Kuda Asal Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2017, ditentukan alokasi untuk sapi dengan jumlah 66.300 ekor. Adapun dasar pertimbangan dari pembatasan dalam bentuk alokasi ini, ialah untuk mengatur keseimbangan antara kepentingan peningkatan penjualan sapi dengan kepentingan pelestarian sumber daya (populasi) sapi.

Kajian sistemik reviuw Ombudsman RI Perwakilan NTT pada bulan Juni 2017  menemukan beberapa permasalahan sebagai berikut, pertama; penentuan alokasi pengeluaran ternak sapi setiap tahunnya yang dilakukan melalui keputusan gubernur tidak dilandasi dengan standar waktu. Pada tahun 2017, Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor: 29/KEP/HK/2017 tentang Alokasi Pengeluaran Ternak Besar Potong Sapi, Kerbau dan Kuda Asal Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2017, ditetapkan pada tanggal 03 Februari 2017 dan realisasinya efektif pada bulan Maret 2017. Terhadap hal tersebut, kebutuhan penjualan/pengeluaran ternak sapi dari NTT tidak dapat terpenuhi dalam beberapa bulan di awal tahun. Selain itu, ketiadaan standar waktu penyampaian ketersediaan dan kebutuhan pengeluaran ternak sapi dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi juga menjadi bagian dalam keterlambatan penentuan alokasi oleh pemerintah provinsi pada awal tahun. Kedua; adanya syarat Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) dari Dinas Peternakan Provinsi NTT untuk memperoleh "Rekomendasi Pengeluaran Ternak Potong" dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, merupakan duplikasi SKKH. Hal tersebut dikarenakan, setiap ternak sapi dimaksud sebelumnya telah memiliki SKKH dari Dinas Peternakan kabupaten/kota. Adapun ternak sapi yang akan dikeluarkan dari wilayah Provinsi NTT, nantinya juga akan dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang dengan produknya berupa Sertifikat Kesehatan Hewan. Syarat SKKH dari Dinas Peternakan Provinsi NTT menimbulkan potensi maladministrasi dalam bentuk paperasserie/ memperbanyak formulir. Ketiga; pengurusan "Izin Pengeluaran Ternak Potong dari Wilayah Provinsi" di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi NTT, yang mensyaratkan adanya SKKH dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, telah memperbanyak syarat dalam pelayanan. Hal demikian menjadi satu kesatuan dengan adanya pembuatan SKKH pada Dinas Peternakan Provinsi NTT. Adanya syarat tersebut menimbulkan potensi maladministrasi dalam bentuk paperasserie/ memperbanyak formulir. Keempat; Tidak adanya formula khusus yang digunakan oleh kepala dinas peternakan kota/kabupaten guna pembagian kuota pengeluaran sapi bagi pengusaha/pemohon. Kewenangan kepala dinas peternakan untuk membagi alokasi pengeluaran sapi bagi pengusaha yang mengurus rekomendasi belum berdasarkan kesepakatan yang melibatkan kepala dinas peternakan kota/kabupaten beserta tim teknis di dinas peternakan dan pengusaha/himpunan pengusaha sehingga pembagian tidak merata/ diskriminatif  hanya kepada pengusaha tertentu. Kelima; Ketidaktersediaan holding ground. Hal demikian mengakibatkan pemanfaatan kandang milik Balai Karantina Kelas I Kupang tidak sesuai prosedur pengeluaran ternak sapi dan jangka waktu pengandangan yang lama melebihi waktu pemeriksaan khusus oleh Balai Karantina Kelas I Kupang.  Keenam; Pelayanan pasar hewan belum optimal karena belum tersedianya alat timbang yang dapat dimanfaatkan penjual/pembeli guna menemukan ketepatan bobot berat badan sapi. Ketujuh; Peternak belum memiliki akses pada informasi harga di pasaran. Hal ini mengakibatkan posisi tawar peternak menjadi rendah. Apalagi saat peternak menjual karena dilatarbelakangi kebutuhan mendesak, serta teknik penentuan harga jual sapi masih berdasarkan teknik taksasi.

 Alternatif Solusi

Beberapa alternatif solusi berikut ini ditawarkan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengurai benang kusut tata niaga sapi di NTT antara lain, pertama; Pemerintah Provinsi NTT agar menyusun dan menetapkan standar pelayanan terkait waktu penerbitan keputusan gubernur mengenai alokasi pengeluaran ternak sapi asal Provinsi NTT. Standar waktu tersebut akan menjadi pedoman waktu bagi pemerintah provinsi dan masyarakat peternak/pengusaha dalam melaksanakan tata niaga sapi setiap tahunnya. Kedua; Pemerintah Provinsi NTT agar berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam wilayah NTT guna menyusun dan menetapkan standar pelayanan waktu penyampaian dari pemerintah kabupaten/kota kepada Pemerintah Provinsi NTT mengenai ketersediaan dan kebutuhan alokasi pengeluaran ternak sapi. Karena standar pelayanan waktu ini berkaitan dengan standar waktu penerbitan keputusan gubernur mengenai alokasi pengeluaran ternak sapi asal Provinsi NTT. Ketiga; Dinas Peternakan Provinsi NTT agar menghapus syarat SKKH dari Dinas Peternakan Provinsi NTT bagi pengeluaran ternak sapi asal Provinsi NTT. Dengan demikian, ternak sapi cukup dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh Dinas Peternakan kabupaten/kota, dan kemudian dilakukan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut oleh Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang. Ini dilakukan guna memangkas prosedur pelayanan yang panjang dan mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, murah, transparan, pasti dan terjangkau. Terhadap hal ini, dapat diikuti oleh DPMPTSP dengan menghapus syarat SKKH dari Dinas Peternakan Provinsi NTT dalam pengurusan "Izin Pengeluaran Ternak Potong dari Wilayah Provinsi". Keempat; Pemerintah Provinsi NTT agar membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) DPMPTSP Provinsi NTT per wilayah guna mendekatkan pelayanan pengurusan "Izin Pengeluaran Ternak Potong dari Wilayah Provinsi". Terhadap hal tersebut, pelayanan rekomendasi pengeluaran ternak sapi dari Dinas Peternakan Provinsi NTT juga disarankan agar diintegrasikan ke dalam pelayanan terpadu satu pintu oleh DPMPTSP/ UPT DPMPTSP Provinsi NTT. Hal ini bertujuan mendekatkan dan memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat. Kelima; Proporsionalitas pembagian kuota pengeluaran sapi oleh kepala dinas kota/kabupaten kepada pengusaha. Tidak adanya formula khusus yang digunakan oleh kepala dinas peternakan kota/kabupaten guna pembagian kuota pengeluaran sapi bagi pengusaha/pemohon menimbulkan potensi suap karena monopoli pengusaha tertentu. Kewenangan kepala dinas peternakan untuk membagi alokasi pengeluaran sapi bagi pengusaha yang mengurus rekomendasi disarankan agar berdasarkan kesepakatan yang melibatkan kepala dinas peternakan kota/kabupaten beserta tim teknis di dinas peternakan dan pengusaha/himpunan pengusaha yang terlibat dalam proses tata niaga sapi sehingga pembagian merata/tidak diskriminatif dan memenuhi kebutuhan dari bulan januari hingga desember. Hal ini juga berdampak pada tidak diperlukannya penambahan alokasi di akhir tahun. Selain itu, kewenangan kepala dinas peternakan untuk menandatangani rekomendasi pengeluaran sapi agar dapat dimandatkan. Hal demikian agar pelayanan tetap berjalan sekalipun kepala dinas tidak berada di tempat.    


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...