Tantangan P.O 26
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Ombudsman RI memerlukan perangkat aturan teknis yang bukan hanya komplit tapi juga suistanable atau cocok/seimbang dengan ritme pelaksanaan internal organisasi. Sesuai mandat Pasal 41 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan Pasal 46 ayat 7 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menghendaki adanya petunjuk teknis bagi Ombudsman untuk menspesifikasi alur proses bisnis apa yang harus dilakukan.
Untuk itu di tahun 2017 Ombudsman melakukan perubahan besar yakni mencabut Peraturan Ombudsman (PO) RI Nomor 2 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan dan menggantinya dengan Peraturan Ombudsman (PO) Nomor 26 Tahun 2017 yang kini kita sebut dengan istilah PO 26.
Bagi seluruh Insan Ombudsman, perubahan PO 26 ini cukup mengejutkan namun sekaligus menjadi jawaban evaluasi atas proses kerja dan kinerja yang selama ini dirasa belum maksimal. Dalam PO 26 ini setidaknya memberikan kejelasan pada titik alur bisnis penanganan dan tindaklanjut laporan di Ombudsman .
Misalnya dalam tahapan PVL (Penerimaan dan Verifikasi Laporan), kewajiban pada setiap laporan untuk dilakukan verifikasi formil dan materiil wajib disampaikan dalam rapat pleno atau rapat perwakilan. Jika bukan kewenangan Ombudsman, maka wajib memberikan penjelasan tertulis kepada Pelapor. Selain itu, diatur penugasan laporan dari dan ke perwakilan.
Dalam aturan ini juga dikupas enam hal bagian pokok yang berbeda dari sebelumnya. Pertama tentang maladministrasi, kedua pemeriksaan dokumen, ketiga klarifikasi dan pemanggilan, keempat pemeriksaan lapangan, kelima Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan dan keenam terkait Reaksi Cepat Ombudsman (RCO). Semua hal itu termaktub dalam Pasal 11-27 peraturan ini.
Perihal aturan RCO menjadi hal baru sebab penentuan kondisi darurat, mengancam keselamatan jiwa dan mengancam hak hidup di sebagian besar perwakilan memiliki tafsir dan mekanisme yang berbeda-beda. Ini tantangan pertama dalam PO ini
Selanjutnya dalam hal pemeriksaan, Asisten di lapangan diminta mengikuti proses tahapan dari persiapan, pelaksanaan dan pelaporan. Dapat dilakukan secara terbuka/tertutup dan yang menjadi pokok harus dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksan Lapangan (LHPL) dan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP)
Sebelumnya sejak PO 26 Tahun 2017 ini diterbitkan, hingga akhir 2019 masih banyak muncul banyak perdebatan di lapangan. Pasalnya mekanisme inisiatif Ombudsman belum tergambar penuh, apalagi menyangkut klasifikasinya. Dalam proses PVL registrasi, kode laporan juga masih belum secara detail diatur. Namun menjelang awal 2020, beberapa kondisi tersebut telah disikapi dengan merumuskan aturan teknis sehingga bisa diatasi.
Secara formal PO 26 merupakan bagian "paripurna" dari pelaksanaan tugas dan fungsi Ombudsman, Sebab, susunan administratif yang dibuat dan produk yang di wajibkan adalah bagian dari akuntabilitas, transparansi, dan evaluasi dari proses kinerja. Tapi sebagian insan Ombudsman berpandangan bahwa PO 26 seolah "mengikat begitu ketat" sehingga ruang otoritas positif dalam penanganan laporan dinilai akan terhambat.
Apalagi bagi sebagian rekan yang pernah menginduksi materi propartif (progresif dan partisipatif), PO 26 dianggap belum bisa menghadirkan rasa "nyaman", karena lebih mengarah pada keadilan prosedural bukan keadilan substansial. Ini menjadi tantangan kedua.
Disinilah PO 26 harus terus diawasi dan dikaji lebih lagi meskipun secara legalitas, aturan ini mempermudah laporan secara adminsitratif. Namun tentunya dalam pelaksanaanya memerlukan inovasi dan kreasi yang tetap dalam nilai aturan sehingga dalam segi penyelesaian tak hanya prosedural semata tetapi bisa cepat, tepat, berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabankan secara hukum.
Tantangan melakukan perubahan yang secara terus menerus sampai menemukan ritme yang cocok bagi sistem kerja menjadi satu keniscayaan dengan tidak meninggalkan prinsip hukum, akuntabilitas, transparansi, dan kualitas. Menurut Teori Manajemen Perubahan (Black and Gregersen 2003:176) bahwa taktik menentukan perubahan setidaknya ada tiga macam yakni anticipatory change, reactive change dan crisis change.
Kalau diobservasi, PO 26 adalah konsep masuk dalam tipe reactive change yakni pendekatan yang muncul karena reaksi atas situasi yang ingin diubah (jadi masih bisa dimaklumi). Akan tetapi, seyogyanya ke depan juga diperlukan pendekatan anticipatory change yakni pendekatan yang bermula atas pandangan untuk melihat ke depan lebih dahulu atau intinya harus menemukan wujud peta yang benar. Sehingga ke depan semua aturan tak hanya untuk ditaati dan dilaksanakan, tetapi menghadirkan keadilan dan melahirkan ruang motivasi menyenangkan dalam bekerja.
Akhirnya
suasana kerja tak hanya melihat dari sisi berkas pemenuhan administratif semata.
Namun, juga mampu menciptakan budaya kerja yang efektif, berkeadilan, nyaman,
dan antusias sebagaimana prinsip propartif yakni "membangun hubungan (suasana
kerja) yang menyenangkan".