Tantangan Pilkada 2020: Sebuah Tinjauan Pelayanan Publik
Beberapa kalangan akademisi dan praktisi cenderung menaruh perhatian terhadap pemilihan umum 2020, seperti penyelenggaraan pilkada di era new normal, figur ideal kepala daerah, dugaan dinasti politik, peluang calon petahana dan sebagainya. Akan tetapi, ada salah satu perbincangan yang layak mendapatkan tempat di publik, yaitu pelayanan publik.
Semangat reformasi mendorong agar penyelenggaraan pemerintah daerah dapat menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat secara baik dan bersih (good and clean governance). Dalam laporan tahunan Ombudsman RI tahun 2019, pemerintah daerah merupakan instansi terlapor yang paling banyak diadukan oleh masyarakat sebesar 41,62 persen. Tentu ini menjadi perhatian serius masih lemahnya kualitas pelayanan publik di daerah. Tindakan maladministrasi masih membelenggu hingga hari ini sehingga terus menjadi duri yang sulit dicabut pada mental penyelenggaraan pelayanan publik.
Dari catatan ini, sudah selayaknya masyarakat membunyikan lonceng aspirasi agar calon kepala daerah menjadikan agenda perbaikan dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik sebagai visi dan misi pembangunan daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Seorang ilmuwan sosial, Robert A. Greenleaf mengatakan pemimpin yang baik terlebih dahulu mesti menjadi pelayan yang baik.
Lemahnya Implementasi UU 25 Tahun 2009
Beberapa pandangan akademisi menilai bahwa penyelenggaraan pelayanan publik pasca otonomi daerah masih belum sesuai dengan harapan pengguna layanan sehingga menghambat tujuan pembangunan nasional. Tentu ini memiliki sebab salah satunya belum diimplementasi secara utuh UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Perhatian pertama tertuju pada kewajiban penyelenggara yang tercantum pada pasal 15 yang cenderung kurang optimal. Transparansi dan pemenuhan standar pelayanan merupakan bagian yang mutlak yang mesti dipenuhi, seperti biaya pelayanan, alur pelayanan publik, dan tenggat waktu pelayanan. Padahal ini merupakan dasar utama bagaimana suatu instansi menyediakan pelayanan secara baik dan bersih kepada masyarakat. Tidak hanya di situ saja, penyelenggara maupun pelaksana pelayanan publik tampak belum memahami peran mereka untuk mengedukasi masyarakat terkait hak dan tanggung jawabnya. Ditambah lagi, pemberian pelayanan yang belum berkualitas bahkan cenderung mengabaikan peraturan yang ada masih menjadi momok yang dapat memicu tindakan maladministrasi.
Masih leluasanya tindakan maladministrasi juga menunjukkan kurang optimal pengelolaan pengaduan masyarakat. Ini merupakan masalah klasik, tetapi belum pernah menjadi perhatian serius oleh pemerintah daerah. Tentu ini dapat diargumentasikan, jika pengelolaan pengaduan masyarakat optimal, tentu aduan masyarakat cenderung sedikit atau tidak ada sama sekali. Pengelolaan pengaduan memiliki tugas yang bersifat wajib untuk menindaklanjuti keluhan masyarakat masyarakat sekaligus menjadi katalisator perbaikan pelayanan publik di suatu institusi. Tidak berfungsinya sarana pengaduan mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat sehingga mereka lebih memilih untuk berkonsultasi maupun mengadukan keluhan pelayanan publik ke Ombudsman RI.
Oleh karena itu, seorang kepala daerah merupakan pelayan bagi masyarakat. Memang itu esensi yang sebenarnya secara demokrasi. Seorang pemimpin harus tegas memerintahkan pelaksana dan penyelenggara pelayanan publik agar memenuhi komponen standar pelayanan yang tercantum dalam Pasal 21 UU Nomor 25 Tahun 2009. Tidak dipenuhinya komponen tersebut menjadi peluang yang dapat menyebabkan penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara maupun pelaksana layanan sehingga merugikan masyarakat. Apalagi kurang optimalnya pengawasan internal oleh Inspektorat Daerah, berujung pada laporan masyarakat ke Ombudsman RI.
Penguatan Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP)
Aparatur Sipil Negara telah dibekali nilai-nilai Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) guna mendukung penyelenggaraan pelayanan publik, tentu ini berkaitan erat dengan reformasi birokrasi yang digagas oleh pemerintah. Namun, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, penyelenggaraan pelayanan publik di daerah tersisa banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Hal ini juga bersinggungan dengan masih lemahnya pengawasan internal di masing-masing pemerintah daerah.
Sorotan tajam tertuju pada lemahnya independensi pengawas internal, seperti Inspektorat Daerah. Pemerintah telah melakukan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2018 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah. Landasan dasar perubahan ini disebabkan Inspektorat Daerah masih belum melaksanakan tugas secara independen dan objektif dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga menghambat tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik. Adanya laporan masyarakat atas dugaan maladministrasi di pemerintah daerah, membuktikan pembinaan maupun pengawasan oleh Inspektorat Daerah belum berjalan sesuai dengan harapan pemerintah. Tentu hal ini berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik yang tersedia di masyarakat.
Tidak berjalannya sistem pengawasan
internal sekaligus pengelola pengaduan pada instansi pemerintah daerah dapat
menjadi penyebab utama banyaknya masyarakat menyampaikan aduan kepada Ombudsman
RI. Tentu kapasitas Ombudsman RI dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik menerima aduan masyarakat terkait penyimpangan maupun
belum diperbaiki pelayanan publik.
Oleh karena itu, tantangan bagi Calon kepala Daerah tidak sekedar pada persoalan kesejahteraan masyarakat dalam konteks sosial ekonomi, tetapi juga kesejahteraan masyarakat konteks pelayanan publik. Dalam pemilukada 2020, masyarakat memiliki hak untuk menyuarakan peningkatan dan perbaikan pelayanan publik pada masing-masing calon kepala daerah di daerah pemilihannya.